Senin, 28 Mei 2012

Makin Banyak Mahasiswa Pehobies

Oleh: Dede W.

Mahasiswa hari ini, dimanapun cenderung untuk mewarnai aktifitas keseharian mereka dengan kegiatan-kegiatan bersifat rekreatif dan kurang guna. Semakin banyaknya mahasiswa pehobies  ini dapat disamakan sebagai penyakit, virus endemik atau borok yang akan menyebar ke banyak mahasiswa lainnya apabila dibiarkan. Orientasi atau sebut saja motivasi mahasiswa pehobies macam ini, selalu tidak jauh dari tiga hal yaitu eksistensi diri, pemuasan diri dan gaya hidup. Seringkali aktifitas mahasiswa pehobies tersebut mendasarkan pada beberapa dalih yang bagi mereka cukup rasional dijadikan pembenar bagi aktifitas mereka. Mereka pun hobi mengucapkan kata ‘Proses’, ‘Eksplorasi Diri’,  ‘Tahap Belajar’ hingga kata-kata lainnya yang sebenarnya bagi mereka cukup asing dan rumit untuk dimengerti makna substansinya.

Keberadaan UKM-UKM  yang cenderung melakukan kegiatan rekreatif bagi mahasiswa dalam rekaman sejarah diciptakan ketika era Orde Baru pada tahun 1985. Dimana UKM maupun organisasi mahasiswa yang lebih bersifat rekreatif adalah bentuk representasi rezim Suharto kala itu untuk meng-akali aktifitas mahasiswa di kampus-kampus agar tak lagi sibuk mengurusi/memprotes perubahan social , politik dan budaya yang cukup menggangu jalannya kekuasaan. Pada tahun 1978 pemerintah dengan Menteri Pendidikan kala itu Daoed Jusuf mengeluarkan SK tentang pelarangan adanya DM (Dewan Mahasiswa) di seluruh kampus se Indonesia dan berganti menjadi Senat atau yang kita kenal saat ini sebagai BEM, dengan membentuk badan/lembaga yang bertugas untuk mengawasi dan memantau segala aktifitas mahasiswa di setiap kampus agar tidak lagi meneror kekuasaan kala itu, yang hingga saat ini kita kenal dengan sebutan Pembantu/Wakil Rektor III. Dimana segala acara kegiatan dan aktifitas mahasiswa harus melalui sepengetahuan, seijin dan sepengawasan pembantu/wakil Rektor III. Dengan dalih pemerintah kala itu, agar kegiatan mahasiswa lebih terarah dan terakomodir padahal sesungguhnya itu adalah sebagai metode pemerintah untuk dapat membatasi dan menekan ruang gerak mahasiswa.

Namun, sejak tahun 1978 hingga 34 tahun kemudian tepatnya 2012, kondisi kultur dan kehidupan kampus di Indonesia sudah sangat jauh berbeda. Baik kualitas maupun kuantitas. Apabila dahulu (sebelum dan di tahun 1974) belum banyak kampus-kampus berdiri dengan jumlah yang sangat terbatas, namun kini dengan banyaknya jumlah kampus di seluruh daerah di Indonesia (ibarat jamur yang mekar di musim hujan) tidak sedikit putra-putri bangsa yang tidak dapat menikmati jenjang perkuliahan karena ketiadaan biaya. Ditambah dengan kualitas mahasiswanya yang sudah terkontaminasi virus penyakit dan indikasi keracunan akut berbagai rutinitas, kebiasaan hingga kebudayaan yang lazim kita temui sehari-hari dengan sebutan budaya hedonisme dan budaya pop akhirnya menghasilkan mahasiswa yang pandai bermarturbasi dalam aktifitas rekreatif mereka seringkali dijadikan dalih antara lain music, fotografi, sastra, otomotif dll yang akhirnya dapat  menjadikan diri mereka tersebut makhluk eksis millennium (Saras 008 dan Panji Milenium?)

Terlihat sarkas saya menggambarkan mahasiswa pehobies semacam tadi, namun ya itulah realita yang sedang terjadi. Sekalipun pahit untuk kita ketahui, namun itulah faktanya. Berapa banyak lagi mahasiswa onani yang akan menjadi racun dalam kehidupan di kampus-kampus? Mahasiswa semacam itu harus kita obati (ayo ramai-ramai kita bawa ke ahli kejiwaan). Kegiatan mereka yang lebih bersifat rekreatif dan cenderung autis harus diminimalisir (tidak berarti dilarang). Ditambah lagi dengan perubahan metoda kurikulum dalam pendidikan di perguruan tinggi yang memaksa mahasiswa tekun dan giat dalam lomba menyalin berbagai artikel, tulisan orang lain dari internet untuk mereka jadikan tugas makalah/paper (modal pintar: Mbah google) dan di print mengatasnamakan nama mereka? Apakah hal ini tidak membuat kita para mahasiswa semakin cepat menjadi robot bersyahwat? Bukankah rutinitas semacam itu tak membentuk calon-calon koruptor di masa depan dengan adanya ‘mata kuliah’ (yang dilakukan di sepanjang semester) Plagiatisme?

Banyaknya mahasiswa pehobies yang menjalankan aktifitas rekreatifnya, seringkali menjadi manusia Galau yang akan menjadi distorsi peradaban (baca: mahasiswa beronani) dan menggangu kehidupan dan keberlangsungan pendidikan dalam mencapai fungsinya. Terakhir, saya mengajak setiap orang yang membaca artikel ini untuk beramal (amal bukan hanya di masjid atau di lampu merah) dengan memperbanyak lembar tulisan ini dan memberikan kepada sahabat, saudara, teman kita yang saat ini perlu kita tolong sebelum mereka benar-benar menjadi robot yang bersyahwat.

Kamis, 10 Mei 2012

Buku : Wanita dan Media Massa

Buku berjudul Wanita & Media Massa ini menjelaskan ketertarikan penulis tentang citra wanita dalam iklan di televisi yang menjadikan wanita sebagai  pelengkap the second class.


Stereotip wanita digambarkan sebagai mahluk lemah emosional,melakukan peran domestik  inferior dari pria dan selalu mengalah terhadap pria. Wacana kultural ini mampu bertahan  lama di masyarakat sebagai akibat dari proses sosialisasi di masyarakat. Salah satu agen sosialisasi tersebut adalah televisi yang memiliki peran stategis sebagai agent of change. Menu acara yang kuantitatif yang padat dengan pesan pesan iklan (sponsor) yang semakin menyudutkan wanita.

Buku ini berupaya menemukan mainstream pencintraan wanita yang selalu  menjadi objek produk yang  tidak hanya untuk menjadi bintang iklan yang sesuai kebutuhan wanita. Bahkan menjadi objek iklan yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kebutuhan wanita. Dan dalam jenis iklan yang menawarkan kebutuhan rumah tangga selalu menampilkan wanita sebagai objek, bahkan menjadi single player. Hal ini menarik karena kebutuhan rumah tangga tidak hanya monopoli kebutuhan wanita tetapi kebutuhan dasar setiap orang baik wanita maupun pria.


Dari fakta tersebut buku ini menjelaskan bahwa citra wanita sebagai  pilar rumah tangga. Wanita dijadikan sentral sebagai karakter bintang yang super mom, serba bisa menjadi ibu dan istri. Dan citra wanita yang sebagai pesolek. Citra ini terlihat dari iklan yang mengharuskan wanita tampil sempurna setiap saat. Seperti wanita sedih jika tidak bisa tampil sempurna, dan selalu ingin jadi pusat perhatian dan menjadi berperilaku konsumtif. Dan citra pada iklan terlihat sebagai sosok yang memikat, dengan cara berjalan tak sewajarnya dan cenderung berlebihan. Wanita akan merasa bangga dan puas jika memiliki badan yang langsing, bibir dan mata indah, rambut bagus sehingga pria selalu memperhatikannya.


Dengan gamblang buku ini mengatakan iklan di televisi menganut ekonomi kapitalis yang pro status Quo yang yang diwarnai dengan male dominated culture. Dan menjelaskan bahwa tujuan dasar iklan adalah menjual produk dan ada kepentingan ekonomis  dan iklan ditelevisi banyak mengekploitasi kaum wanita untuk kepentingan ekonomi kapitalis. Dan penulis menjelaskan bahwa fenomena kultural tentang penguatan stereotip adalah menumpang pada ideologi utama yang dijadikan panutan.



Judul                : Wanita dan Media Massa

Pengarang        : Hj. Siti Sholihati, MA

Penerbit           : Teras

Tahun             : 2007


Buku ini menjelaskan fenomena yang ada pada dunia periklanan indonesia, dan mengajarkan pada wanita bahwa mereka bukan hanya bisa berkutat pada ranah domestik saja dan menghilangkan stereotip tradisional yang sebagai pemuja pria.

Oleh Anisa Hakim

Cirebon Panas, Unswagati Perlu Pohon

Cirebon (Setara News) - Sebagai mahluk yang tinggal di bumi, sudah pasti kita merasakan perubahan suhu pada bumi kita ini yang akhirnya akrab kita sebut dengan sebutan Global Warming atau Pemanasan Global.

Apa Pemanasan global itu? Pemanasan Global adalah meningkatnya suhu bumi secara menyeluruh yang mengakibatkan melelehnya es di kutub utara dan selatan sehingga menyebabkan naiknya permukaan air laut. Banyak factor yang menyebabkan terjadinya Pemanasan Global diantaranya penggunaan peralatan rumah tangga yang tidak ramah lingkungan seperti, AC (Air Conditioner), polusi udara dari kendaraan bermotor dan limbah Industrialisasi serta berkurangnya hutan sebagai paru-paru dunia untuk menghasilkan udara bersih dan sejuk.

Jika dibiarkan terus-menerus, perlahan tapi pasti bumi akan semakin panas dan jika kemungkinan buruk itu terjadi Lalu, masih pantaskah bumi dijadikan sebagai tempat bepijak bagi seluruh mahluk hidup? Jika tidak, adakah planet lain yang mampu memberikan kehidupan layaknya seperti kehidupan di bumi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sering terlintas di pikiran kita.

Membutuhkan Pertolongan

Secara tidak sadar, kerusakan bumi merupakan akibat dari kelalaian dan kecerobohan manusia itu sendiri. Banyak diantara kita yang tega menggunduli hutan tanpa ada niatan untuk mengganti dengan pohon-pohon yang baru, eksploitasi besar-besaran sering dilakukan manusia tanpa memikirkan kelangsungan hidup bumi.

Anda tahu usia bumi kita berapa ? menurut sebuah sumber, usia bumi kita yaitu sekitar 4,6 Miliar Tahun, Wow ! Kebayang kan setua apa bumi kita ini? Mungkin benar kalau bumi kita sudah tua bahkan sangat tua dan mudah rapuh apalagi apabila kita yang termasuk mahluk hidup di dalamnya tidak bisa menjaga dan melestarikannya. Sebagai mahluk yang di bekali hati dan pikiran sudah seharusnya manusia dapat menjaga kelestarian bumi demi kelangsungan hidup seluruh mahluk yang ada di bumi. Kesadaran yang tinggi sangat diperlukan agar didalam setiap masing-masing individu tumbuh rasa cinta terhadap bumi sehingga ia enggan untuk melakukan pengrusakan pada planet ke-3 dari jajaran tata surya.

Di permukaan bumi segala aktifitas mahluk hidup berlangsung, semua kehidupan mereka bergantung kepada bumi tempat yang saat ini masih merupakan tempat yang tepat dan nyaman untuk semua mahluk hidup. Memberikan penghargaan kepada bumi kita merupakan langkah yang tepat untuk menjaga kelangsungan hidup bumi dan termasuk seluruh mahluk hidup yang berada didalamnya.

Kampus Unswagati

Tidak perlu berpikir ke ruang lingkup yang lebih luas contoh sederhana dan nyata adaqlah misalnya di lingkungan kampus kita yang hampir setiap hari kita berkutat disana. Kita bisa menilai adakah ruang hijau dikampus yang bisa melindungi mahasiswa dari teriknya matahari dan memberikan angin segar untuk para mahasiswa dalam menjalankan aktifitas kekampusannya.

Keberadaan ruang hijau di;ingkungan kampus itu sendiri cukup penting untuk menjaga keasrian kampus, dan untuk menciptakan udara yang bersih dan bebas polusi seperti yang diharapkan oleh Kris Herwandi Mahasiswa Ilmu Komunikasi “Penting Mba, kemaren rekomendasiin ko ke FISIP tapi iyaa itu. Ntar-ntar aja” itulah jawabannya ketika tim LPMS menanyakan tentang arti pentingnya ruang hijau dikampus

“tanaman-tanaman yang ditembok-tembok aja ngga ada”tambahnya.

Pembangunan gedung-gedung perkuliahan Unswagati tidak diimbangi dengan pengadaan ruang hijau yang sebenarnya tidak kalah penting dari gedung perkuliahan. Bahkan pembangunan gedung perkuliahan itu seringkali malah merusak atau menghilangkan ruang hijau “dulunya kan sebelum dibangun Kampus 3 itu banyak pohon, tapi karena pembangunan Kampus 3 terpaksa pohon-pohon itu ditebang. Tidak salah sih, Cuma akan lebih baik jika kita menanam ulang bibit-bibit pohon baru sebagai pohon pengganti” tutur salah seorang Dosen Ilmu Komunikasi, Tajudin Faza S.Sos.

Keberadaan ruang hijau di kampus sebenarnya merupakan harapan bagi para Mahasiswa dan seluruh Stakeholder yang ada di Unswagati. Mengingat, masih kurang banyaknya pepohonan yang mampu menciptakan berbagai manfaat antara lain estetika , kesehatan dan yang terpenting dapat menjadi ikon kampus dalam mendukung gerakan cinta lingkungan.

Reporter : Yunita Irina H

Editor : Kurniawan T Arief