Jumat, 26 Mei 2017

Surat Cinta untuk Paduka yang Sedang Sakit Jiwa

Opini, setaranews.com - Kepada seluruh lembaga pemerintahan di Kota Cirebon baik eksekutif, legislatif dan yudikatif sebuah catatan ini saya persembahkan. Isi ceritanya tidak jauh dari persoalan yang sedang hangat belakangan ini, yakni mengenai dugaan terjadinya Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam pelaksanaan mega proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) 96 M untuk pembangunan infrastruktur publik daerah seperti jalan, betonisasi, trotoarisasi dan drainase. Tulisan ini memuat bagaimana saya sebagai rakyat biasa menentang keras, mengecamnya, sekaligus membantah seluruh keterangan (pernyataan) para paduka (Walikota, DPUPR, DPRD, dan Kejari ) tersebut.  Apakah saya (Baca:rakyat) harus dengan mudah begitu saja mempercayai paduka, tuanku yang terhormat itu? Tentu saja tidak!

Seorang seperti paduka atau lembaga pemerintahan yang telah diberikan mandat (tugas dan tanggungjawab) untuk memperjuangkan cita – cita rakyat dan konstitusi  sudah tentu beliau mengetahui betul beberapa poin sebagai berikut:

  1. Lebih mengerti baik dan busuknya nasib bumi putra dibandingkan orang lain jika yang namanya wewenang disalahgunakan

  2. Lebih memahami bagaimana memaknai cinta kepada seluruh mahluk yang menghuni bumi pertiwi (manusia, tanah dan airnya)

  3. Lebih dari cukup tentunya pengetahuan paduka daripada kita sebagai rakyat biasa tentang segala perkara, apalagi menyoal korupsi


Tetapi bagaimanakah keadaan rakyat pada umumnya? Seperti apakah nasib mereka?  Banyak diantara kita hanya sebagai orang kecil, tidak pernah menginjak rumah sekolah, kurang lebar pemandangannya atas sebuah perkara.

Meskipun begitu kita semua masih bersyukur, Tuhan dengan murah hati memberi kita dua mata, dua telinga, dan dua tangan, serta satu kepala, satu mulut, sebagaimana orang pada umumnya.  Kedua mata rakyat kecil yang tertindas dan terampas hak-nya ini tidak berbeda dengan seorang jebolan Universitas di negeri menara efel di Paris. Tidak pula berbeda dengan orang yang menempati jabatan strategis di pemerintahan seperti paduka sekalian.

Jadi kalau rakyat melihat barang berwarna merah, tentu barang itu menampak di mata paduka juga berwarna merah. Begitu seterusnya.  Sama halnya juga ketika rakyat dengan matanya bisa melihat berbagai penyimpangan pada pelaksanaan megaproyek DAK 96 M tersebut. Sejatinya pasti mata paduka juga melihat hal yang serupa. Jikalau kita termasuk, paduka juga buta, cobalah melihat dengan mata hati kita semuanya, dengan nurani.

Seperti yang sudah saya sebutkan diatas bahwa paduka lebih tahu tentang nasib rakyat dengan prangkat birokrasi dan perangkat politiknya dari pada seorang rakyat biasa. Apakah paduka sudah menyaksikan sendiri bila hidup orang – orang kecil didalam kesusahan? Pembangunan sejatinya untuk meningkatkan taraf hidup orang banyak. Akan tetapi, akibat kelalaian paduka dan mungkin juga saya, cita-cita itu belum terjadi sampai tulisan ini saya buat untuk paduka semuanya.

Hidup seperti apakah yang bisa dibilang senang, selamat, bahagia, sentosa, adil dan makmur?  Cobalah paduka tanya kepada orang-orang kecil itu.  Cukup pertanyakan kepada mereka seperti apakah sesungguhnya keadaan hidupnya? Bisa makan sehari satu kali saja walupun hanya dengan secentong nasi dan garam sudah cukup membuatnya bersyukur. Begitu baiknya rakyat itu paduka. Mereka dengan sukarela memeras keringatnya untuk bangsa dan tanah airnya, sekalipun paduka tidak memberikan hak mereka seutuhnya.

Sekarang saya akan membicarakan poin yang kedua, paduka beserta institusinya yang memiliki peranan penting dalam menjungjung tinggi nilai-nilai konstitusi pastinya memiliki cinta terhadap cita-cita bangsanya. Pertanyaan sederhana kemudian muncul, mana yang lebih dicintai oleh paduka sekalian, badan sendiri atau badan orang lain? Saya amat yakin paduka memiliki cinta kepada orang-orang kecil, tetapi masih terlalu teramat sangat cinta kepada diri sendiri dan kelompoknya.

Saya pun terlalu cinta dengan diri sendiri, maka dari itu saya selalu berteriak saban hari ketika hak saya direnggut, kemerdekaan saya dirampas, dan juga kesejahteraan saya dihisap. Sebab kalau teriakan saya ini dikabulkan, saya ikut senang dan tentunya rakyat kecil lainnya pula mengalami hal yang serupa dengan saya.

Kalau difikir-fikir, paduka itu ibarat dokter (Dukun). Sedangkan kita, rakyat kecil yang menjadi penghuni terbanyak adalah orang-orang yang sudah sakit payah.  Siapakah yang meminta lebih keras sembuh dari sakit? Dokter kah, apa yang sakit kah? Wajar saja jika yang sakit meminta kepada dokternya untuk disebuhkan dan dijauhkan dari bahaya penyakit-penyakit laten. Justru Yang berbahaya itu ketika si dokternya ikut sakit dan tak ada obat untuk mewaraskannya, maka rakyatlah yang kemudian akan semakin jatuh sakit, terpuruk dan terkapar tak tertolong.

Kemudian di poin nomor tiga,  saya berkata bahwa paduka lebih cukup pengetahuannya daripada rakyat kebanyakan. Untuk hal ini saya kira tidak perlu panjang lebar di terangkan, pembaca sekalian telah mengerti sendiri.  Tetapi dalam hal ini saya berani berkata, paduka tidak pernah bercampur gaul, berbaur, dan memikirkan nasib rakyatnya. Bagaimana bisa memperjuangkan cita-cita bangsanya dan juga cita-cita konstitusinya jika terpikirkan saja tidak? Bagaimana bisa mengobati rakyat jika paduka tidak bisa mengobati sakitnya sendiri? Lantas, siapa yang sakit sebanarnya, Paduka atau kami rakyat kecil?

Terakhir, sebagai rakyat kecil saya hanya ingin mengingatkan kembali sebuah lirik lagu kebangsaan yang tidak henti-hentinya kita nyanyikan, dan tidak henti-hentinya juga kita lupakan makna perjuangannya.

“Hiduplah tanahku, Hiduplah negriku, Bangsaku Rakyatku semuanya.

BANGUNLAH JIWANYA, Bangunlah badannya, Untuk Indonesia Raya”

Membangun badan terlebih dahulu, tidak diiringi dengan membangun jiwanya, maka seperti sekarang yang kita saksikan bersama dimana-mana, korupsi merajalela. Bukannya begitu Paduka?.

*Penulis adalah Epri Fahmi Aziz, Anggota Luar Biasa Lembaga Pers Mahasiswa Semua Tentang Rakyat (LPM Setara) Unswagati.

 

 

Minggu, 21 Mei 2017

Kecewa, Narasumber Seminar Tiba-Tiba Mengundurkan Diri

Cirebon, Setaranews.com - Lembaga Pers Mahasiswa Semua Tentang Rakyat (LPM Setara) menggelar seminar bertajuk "Peran Lembaga dalam Pembangunan Kota Cirebon yang Bersinergi dan Terintregrasi" di Berlian Convention Hall Hotel Zamrud Cirebon pada Sabtu (20/5).

Seminar ini sebagai tindak lanjut LPM Setara dalam mengawal pembangunan Kota Cirebon yang menimbulkan banyak polemik dan dinilai tidak sesuai spesifikasi.

Narasumber yang dihadirkan dalam seminar ini adalah Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) yang diwakili sekretaris DPUPR Yudi Wahono, Kabid Litbang Perkotaan dan Inovasi Daerah yang diwakili oleh Dede Ahmadi. Dihadiri pula oleh perwakilan dari Polresta Cirebon, kejaksaan negeri kota cirebon, praktisi hukum Agus Prayoga, akademisi Khaerudin Imawan dan Agus Dimyati.

Namun dikatakan oleh Ketua Umum LPM Setara, dirinya merasa kecewa karena adanya beberapa narasumber yang secara mendadak mengundurkan diri sebagai narasumber seminar. Seperti dari Pemerintah Kota Cirebon dan Komisi B DPRD kota cirebon.

"Jauh hari kita udah ngirim surat untuk jadi pembicara, dari DPRD sudah menyanggupi namun H-5 pelaksanaan mereka ngasih kabar tidak bisa jadi pembicara dikarenakan ada agenda bimtek dari sekretariat" tegasnya.

Sedangkan dari Pemkot Cirebon, dirinya bersama panitia sudah mendatangi Pemkot secara langsung dengan membawa surat pernyataan agar pihak Pemkot Cirebon bersedia menjadi narasumber. Walikota Cirebon, Nasrudin Aziz sudah menyepakati akan mendatangkan perwakilan Pemkot yaitu dari staf ahli pembangunan sebagai narasumber. Namun, ketika H-1 Pemkot tidak ada kepastian akan kesepakan tersebut dengan berbagai alasan.

Acara seminar tersebut merupakan salah satu rangkaian acara Diesnatalis LPM Setara yang ke-7dengan mengusung tema Gemilang Kreasi Setara. (Trusmiyanto).

Minggu, 14 Mei 2017

Korupsi Mengubah Niat Mulia Pembangunan Menjadi Ketimpangan Ekonomi


  • Penyalahgunaan wewenang, Mark Up, Laporan Fiktif, Gratifikasi, Suap, mengisi sederet Modus Korupsi paling banyak di Indonesia

  • Korupsi paling sering dilakukan pada pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur

  • Korupsi Membuat Pembangunan Menghasilkan Efek domino berupa Ketimpangan Ekonomi


Cirebon, setaranews.com - Dalam rangka mewujudkan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), pemerintah pusat menggelontorkan bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) ke daerah, yang bersumber dari Anggaran Pembelanjaan Negara (APBN) untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Dalam kedudukannya, pemerintah daerah berperan sebagai pelaksana dalam penggunaan DAK yang di transfer pemerintah pusat kedalam kas daereah (DPPKAD. Red). Dalam implementasinya, pengeloalaan DAK banyak menimbulkan hambatan dan persoalan, dari masalah teknis dan non-teknis. Sedangkan yang diharapkan dalam tata kelolanya bisa tepat sasaran, efektif, efisien, dan akuntabel.

Cirebon adalah calon Kota metropolitan selanjutnya di Indonesia yang tentunya akan menjadi kota tujuan banyak orang  untuk sekedar berpergian sampai mencari penghidupan. Dengan kalimat lain, tantangan untuk meminimalisasi ketimpangan sebagaimana kota - kota lain, termasuk di Kota Cirebon lebih besar, kalau bukan yang paling besar. Disitulah kemudian letak esensi pembangunan yaitu bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi,  dengan harapan mengurangi kemiskinan, pengangguran dan problem sosial, ekonomi , dan budaya lainnya.

Akankah harapan itu terjadi? Sudah bukan lagi menjadi rahasia umum bahwa korupsi kerap menjangkiti proses pembangunan, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pusat maupun daerah. Imbasnya yakni semakin menjauhkan cita – cita dan tujuan awalnya kenapa pembangunan itu mutlak diperlakukan. Korupsi dalam pembangunan tersebut justru semakin menambah parah ketimpangan ekonomi yang ada, dan akan berimbas pada problem sosial, politik, dan budaya masyarakat Kota Cirebon pada umumnya.

Kualitas penegakan korupsi di kota cirebon memang masih rendah, dari beberapa kasus yang masuk dan di tangani hanya beberapa saja yang diselesaikan. Dari sejumlah kasus - kasus yang ada di Kota Cirebon, tidak sedikit yang dikategorikan mangkrak atau tidak jelas penanganannya. Dengan kata lain, tidak ada keterangan resmi apakah kasus-kasus itu telah masuk pada tahap penuntutan atau masih dalam proses penyidikan atau bahkan dihentikan.

Jika merujuk pada hasil  survei yang dilakukan oleh ICW 2015 menyebutkan bahwa modus korupsi yang sering dilakukan yaitu seperti   penyalahgunaan anggaran,  penggelapan, Mark Up, penyalahgunaan wewenang, laporan fiktif suap dan gratifikasi. (Sumber: Antikorupsi.org)

Buruknya sistem penegakan hukum di Indonesia, dinilai menjadi biang keladi praktik korupsi tetap berjalan. Oknum di lembaga penegak hukum tidak akan kapok dan terus mengambil keuntungan dari lemahnya sistem. Catatannya, selama semua pihak yang terlibat di dalamnya mendapatkan keuntungan, maka korupsi pun akan terus bergulir.

"Variabel lain, penyuapnya sendiri masih terbuka lebar karena masih ada harapan, ini bisa disuap. Jadi ada ranah di lembaga penegak hukum," beber Dadang dari Lembaga Transparansi Internasional Indonesia.

Tidak hanya ICW dan TI saja yang memberikan hasil peneilitiannya, World Bank (WB) pun tidak mau ketinggalan. Dalam penelitian yang dilakukan WB tersebut menyebutkan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih sangat rendah. Disebutkan pula bahwa mencari keadilan hukum masih sulit. Kalaupun ada pemberantasan korupsi yang dilakukan sampai tuntas masih seperti Oase di padang pasir. Adanya lansian dari WB tersebut tentunya mencoreng wajah Indonesia di mata dunia internasional sebagai negara yang tidak hanya angka ketimpangan yang tinggi, indeks persepsi korupsinya pun sangat tinggi.

Dengan kata lain, jika merujuk data dan fakta yang ada maka korupsi infrastruktur dalam program pembangunan semakin memperparah kondisi perekonomian, dimana ketimpangan justru semakin menjulang tinggi, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terjungkal miskin. Korupsi pembangunan juga semakin memperlebar jurang angka ketimpangan ekonomi. Indonesia menduduki peringkat 4 negara paling timpang sedunia (menurut laporan Credit Suisse yang terkenal itu. Red) dengan 4 orang terkayanya menguasai kekayaan lebih dari yang dimiliki 100 juta orang termiskinnya (berdasarkan laporan Oxfam. Red) (Sumber: Tirto.id).

Lalu, kalau sudah begitu Pembangunan Untuk Siapa?  Penegakan Hukum Untuk siapa?

Korupsi dibiarkan saja? Pray For Cirebon yang tinggal menunggu kematiannya!

Selanjutnya Klik Link dibawah Ini:

LAPORAN 1: Lapsus: Pemberantasan Korupsi DAK 96 MANGKRAK, Aparat Diboyong Piknik Ke Singapore

LAPORAN 2: Ini Dia Kronologis Dugaan Korupsi DAK 96 M Sebelum Addendum

LAPORAN 3: Semakin Memanas, Ini Dia Kejanggalan Indikasi Korupsi Proyek DAK 96 M Setelah Addendum yang

LAPORAN 4: Rentetan Peristiwa Unik Dugaan Korupsi DAK 96 M Berujung Indikasi Gratifikasi

lAPORAN 5 : Korupsi Mengubah Niat Mulia Pembangunan Menjadi Ketimpangan Ekonomi, Hukum dan Sosial

 

*Penulis adalah Epri Fahmi Aziz, Mahasiswa FE Unswagati yang juga Anggota Luar Biasa (Alubi) Lembaga Pers Mahasiswa Semua Tentang Rakyat (LPM SETARA) dan juga penulis lepas di berbagai media.

Ini Dia Kronologis Dugaan Korupsi DAK 96 M Sebelum Addendum



  • Studi kelayakan dalam perencanan proyek DAK 96 M dinilai di ada - ada



  • Konsultan Pengawas memberikan Surat peringatan kepada kontraktor atas pengerjaan yang tidak sesuai spesifikasi



  • Mengakui adanya kejanggalan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Kota (Pemkot) untuk menghentikan pengerjaan dan melelang ulang



  • Tidak konsisten dan melanggar UU Jasa Kontruksi, Addendum dinilai menabrak  aturan



Cirebon, Setaranews.com - Pemerintah Kota Cirebon (Pemkot) mendapatkan kucuran dana segar yang bernama Dana Aloksi Khusus (DAK) senilai 96 miliar untuk pembangunan infrastruktur publik daerah. Mega proyek tersebut sudah dianggarkan dan tercantum dalam Anggaran Pembelanjaan Daerah Perubahan (APBDP) sejak tahun 2015 silam. Namun, hingga akhir tahun anggaran tersebut tidak terserap, sehingga DAK tesebut kembali dianggarkan pada APBD 2016. Adanya temuan kejanggalan yang menuai polemik  yaitu pada saat   memasuki tahapan lelang.  Publik menilai pelaksanaan proyek tersebut syarat akan pengkondisian. Pemenang tender berujung dilaporkan kepada pihak kepolisian oleh pihak yang kalah dalam proses lelang ke tiga.

Seperti yang dilansir gragepolitan.com, pada saat memasuki tahap lelang yang dengan ketiga kalinya baru selesai,  publik Kota Cirebon menyoroti persoalan yang tampil kepermukaan dengan tajam. Bahkan masyarakat memprediksikan  pelaksanaan proyek tersebut bisa dipastikan bakal menuai banyak permaslahan yang berujung pada  mangkraknya pengerjaan proyek.  Kehawatiran publik tersebut harus dibayar mahal oleh Pemkot, pasalnya kegelisahan warga Kota Cirebon tersebut benar - benar terjadi.

Selain itu, Tempo.com pernah melansir  pengerjaan proyek tersebut dibagi kedalam Tiga paket besar yang disusun berdasarkan Daerah Pilihan (Dapil). Harjamukti (Dapil I. Red), Kesambi - Pekalipan (Dapil II. Red), dan Kejaksan - Lemahwungkuk (Dapil III. Red). Belum lagi, pengerjaan mega proyek DAK 96 M banyak yang di sub - kontrakan pada pengerjaannya. Fakta ini pun kemudian  mengisi sederet kejanggalan yang berimbas pada kualitas hasil proyek tersebut.

Komisi B DPRD Kota Cirebon yang membidangi Ekonomi dan Pembangunan menemukan adanya pengerjaan yang tidak sesuai spesifikasi. Hal tersebut seolah - olah baru diketahui  saat para wakil rakyat tersebut melakukan investigasi dadakan (Sidak) ke beberapa titik pekerjaan, misalnya di jalan Katiasa, jalan Kalijaga dan Perumnas. Dewan melihat adanya pengerjaan betonisasi tidak sesuai dengan spesifikasi, begitupun dengan pengerjaan lainnya seperti aspal, drainase, jembatan dan trotoarisasi.  Dewan sangat pesimis terkait pengerjaan perbaikan infrastruktur Kota Cirebon ini bisa tepat waktu, melihat pengerjaan yang belum mencapai target progres sampai batas waktu kontrak memasuki detik - detik akhir.

"Proyek ini terkesan tanpa perencanaan yang matang dan terkesan asal - asalan. Ada yang belum di beton, ada yang sudah, ada yang pecah, ini karena pengusaha atau kontraktor mengerjakan proyek ini dengan di kerjakan pihak lain atau dishub, dampaknya pengerjaan tidak merata dan tidak memperhatikan waktu pengecoran, " ungkap Watid Syahriar selaku Ketua Komisi B DPRD  seperti dikutip dari  Cirebon Radio, Rabu (23/11/2016).

Menjelang akhir - akhir kontrak pertama sampai tanggal 21 Desember 2016 polemik DAK 96 M semakin memanas, dinamika politik di tataran Eksekutif dan Legislatif menjadi pemandangan yang semakin menambah kejanggalan dalam pelaksanaannya. DPRD Kota Cirebon mengakui adanya pekerjaan yang jauh dari harapan (tidak sesuai spek. Red) sehingga mengeluarkan produk politiknya berupa surat rekomendasi kepada Pemkot untuk memutus kontrak pada kontraktor "nakal", memperbaiki pengerjaan yang tidak sesuai spesifikasi dan melaksanakan lelang ulang.

“Saya masih menunggu laporan hasil rapat Komisi B dengan DPUESDM dan para kontraktor yang digelar sejak tadi siang. Jadi apakah nanti akan ada audit BPK atau retender belum diketahui pasti. Namun yanng jelas semuanya akan diinventarisir dulu terkait pekerjaan DAK tersebut,” kata Ketua DPRD Kota Cirebon, Edi Suripno dikutip dari portal online gragepolitan.com, Kamis (22/12).

DPRD mengakui adanya peringatan konsultan pengawas kepada kontraktor untuk memperbaiki pengerjaan yang tidak sesuai spesifikasi. Dalam laporan konsultas pengawas jelas disebut berbagai pelanggaran yang tidak sesuai dengan dokumen kontrak awal yang diindikasikan melanggar UU Jasa Konstruksi dimana pengerjaan proyek harus sesaui dengan perencanaan, tepat sasaran, tepat waktu, efektif, efisien dan transparan.

"Jika merujuk pada UU Jasa Kontruksi dan peraturan-peraturan yang lain, jelas polemik DAK 96 M ini melanggar aturan tersebut. Ditambah lagi dengan adanya masa perpanjangan kontrak (addendum), ini bukti kongkrit bobroknya sistem pemerintahan yang bisa dikatakan adanya penyalahgunaan wewenang, laporan fiktif dan Mark Up dalam proses pembangunan DAK 96 M tersebut, wajar jika diduga adanya tindakan korupsi didalam pelaksanaannya," ujar Mumu Sobar Muklis, Kordinator Kajian Data Stretegis Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) Cirebon kepada setaranews.
Gelontoran anggaran mega proyek 96 M tersebut dalam rangka mewujudkan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN),  yang bersumber dari APBN untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan perioritas nasional. Sangat disayangkan seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa pelaksanaan pembangunan tersebut menuai banyak kejanggalan, bahkan dari tahap kajian sampai pelaksanaan, dan hasil akhirnya.

Misalnya mulai dari studi kelayakan yang terkesan dibuat - buat, perencanaan, RAB, dan lelang menjadi contoh polemik yang membelitnya. Tak heran jika dalam pelaksanaan pun lebih parah, ketidak sesuaian dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB), tidak sesuai spesifikasi, menabrak kontrak, hasil pengerjaan yang miris karena banyak titik hasilnya tidak sesuai harapan, hancur. Itu semua menjadi pemandangan yang nyata dan kasat mata.

Berikut rincian kronologisnya


  • • DAK mega proyek Rp96 miliar dianggarkan sejak 2015, tapi saat itu tidak bisa teralisasi.

  • DPUPESDM meminta ke Kementerian Pekerjaan Umum agar proyek itu bisa ditunda dan dilelang tahun 2016

  • Memasuki anggaran 2016 dan DAK tersebut kembali di anggarkan. Namun sampai termin pertama tidak kunjung ada pemenang tender

  • • Permintaan itu kemudian disetujui, kemudian dilelang di 2016 dengan catatan tidak boleh tertunda lagi hingga 2017

  • • Lelang pertama Maret 2016 dinyatakan gagal karena tidak ada peserta yang mampu memenuhi syarat kualifikasi.

  • • Lelang kedua Mei 2016 juga kembali gagal, karena peserta tidak ada yang mampu memenuhi kualifikasi.

  • Juni Dilakukan Lelang ketiga yang berujung adanya laporan kepada pihak kepolisian oleh perusahaan peserta lelang yang merasa dirugikan

  • • Agustus 2016, ada pemenang lelang tetapi di saat bersamaan digugat karena disinyalir perusahaan pemenang mencatut ahli K3 milik perusahaan lain.(sumber: radar Cirebon)

  • September - Oktober Konsultan Pengawas menemukan temuan adanya pengerjaan hampir disemua titik Dapil terdapat pengerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi

  • Bersamaa dengan temuan itu yang tidak diindahkan oleh Kontraktor akhirnya Pengawas memberikan surat peringatan kepada kontraktor

  • Desember DPRD Mengluarkan Surat Rekomendasi Kepada Pemkot yang juga tidak diindahkan

  • Isi Surat rekomendasi tersebut yaitu soal sangsi terhadap kontraktor nakal yang kemudian harus diputus kontraknya, kemudian Pemkot direkomendasikan untuk melakukan tender ulang

  • • Kontrak proyek DAK saat itu sampai 21 Desember 2016, dan kontraktor tidak bisa menyanggupinya, pada kenyataannya proyek hanya rampung 56 % (data dari media lokal) dan hanya sebagian yang sesuai spesifikasi

  • • Per 21 Desember tidak ada laporan progress harian dari pengerjaan proyek di lapangan sehingga menyulitkan dalam memanajemen pencapaian proyek dan kurangnya transparansi kepada publik dan laporan diduga fiktif.


Selengkapnya, klik link dibawah ini:

LAPORAN 1: Lapsus: Pemberantasan Korupsi DAK 96 MANGKRAK, Aparat Diboyong Piknik Ke Singapore

LAPORAN 2: Ini Dia Kronologis Dugaan Korupsi DAK 96 M Sebelum Addendum

LAPORAN 3: Semakin Memanas, Ini Dia Kejanggalan Indikasi Korupsi Proyek DAK 96 M Setelah Addendum yang

LAPORAN 4: Rentetan Peristiwa Unik Dugaan Korupsi DAK 96 M Berujung Indikasi Gratifikasi

lAPORAN 5 : Korupsi Mengubah Niat Mulia Pembangunan Menjadi Ketimpangan Ekonomi, Hukum dan Sosial

Lapsus: Pemberantasan Korupsi DAK 96 Mangkrak, Aparat Diboyong Piknik Ke Singapore

 

- Berikut laporan khusus mengenai pembongkaran benang merah adanya dugaan upaya proses politik dalam menghentikan proses hukum megaproyek DAK 96 M.

Proses Hukum Dugaan Korupsi DAK 96 M Mangkrak.

- Mulai dari PPHP yang ramai – ramai mengundurkan diri, aksi protes subkontrak, mutasi Kasi Intel dan Kasat Intel, Pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) (KABID) mengajukan pensiun dini, sampai Kunjungan Kerja (Kunker) forkomuspida ke batan dan represing ke singapura
- Korupsi Mengubah Pembangunan Menghasilkan Ketimpangan

Cirebon, setaranews.com – Dalam dugaan korupsi kasus DAK 96 M terdapat rentetan peristiwa yang sangat menarik untuk dicermati, lantaran latar belakangnya yang terasa janggal dan tak masuk akal. Berbagai kejadiaan ini memiliki kronologis yang berkaitan satu sama lainnya, dan memiliki konsekuensi logis memperkuat opini publik akan adanya kejanggalan dalam penegakan proses hukum. Fatka menyebutkan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengerjaan akhir mega proyek DAK tersebut menuai polemik, terutama mengenai dugaan korupsinya. Sayangnya, sampai  sejauh ini proses hukum yang ditangani Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon tersebut   mangkrak.

Seperti yang diberitakan oleh fajarnews.com akhir tahun 2016 silam, bahwa Kepala Kejari mengatakan pada tahun 2017 pihaknya akan lebih intensif mengawasi pembangunan yang ada di Kota Cirebon. Kajari menuturkan, Kejaksaan akan terus melakukan pemantauan pembangunan, termasuk pembangunan infrastruktur yang menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai 96 miliar.

“Jangan sampai kita dibohongi oleh rekan sejawat, dengan adanya Adendum, menjadi hal yang diawasi serius oleh kami, kita terus fokuskan pengawasan pada DPUPR,” jelas Kepala Kejari Kota Cirebon, Hariyanto, Selasa, (31/12) 2016 silam.

Sementara itu, Kasi Intel Kejari Gusti mengakui bahwa sesaui dengan Keputusan Presiden mengenai pembentukan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D), Kejari telah membentuk tim tersebut sebagaimana tanggung jawab yang diembannya yaitu mengupayakan optimalisasi penyerapan anggaran, penggawalan,  pengamanan daerah, pendampingan. Selain itu tugas tim tersebut yang paling utama sebagai konsultan hukum dari tingkat perencanaan, pelaksanaan pembangunan, pemanfaatan pembangunan, pengawasan pembangunan, monitoring dan evaluasi sebagai upaya preventif atau pencegahan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang kerap terjadi dalam program pembangunan infrastruktur.

"Ia kami sudah membentuk tim tersebut, untuk memastikan pembangunan tetap sesaui trek, tidak berbenturan dengan hukum," ujarnya saat menemui aksi unjuk rasa seperti yang diberitakan radar cirebon.

Pembanguan infrastruktur publik daerah yang menggunakan dana DAK memakan uang yang bersumber dari keringat rakyat senilai 96 M. Proyek DAK  ini merupakan yang paling besar sepanjang sejarah pembangunan infrastruktur di Kota Cirebon.  Sayangnya, pelaksanaannya menuai polemik, dugaan  perbuatan melawan hukum yang terindikasi mengakibatkan kerugian atas keuangan negara mengiringi pelaksanaannya.

“Kejaksaan sudah menindak lanjuti terkait kasus DAK 96 M dan Kepala Kejaksaan sudah mengeluarkan surat perintah untuk menindak lanjuti adanya indikasi terhadap pelanggaran dan berpotensi adanya kerugian yang dialami oleh negara. Artinya, kalau sudah seperti ini berarti sudah ada suatu tindakan yang mengarah ke proses hukum,” ujar Gusti pada Setaranews.com saat ditemui di Kantor Kejari Kota Cirebon, Kamis 30 April 2017.

BACA: Kejari Akui Adanya Indikasi Kerugian Uang Negara di Proyek DAK 96 M

Seperti yang pernah dilaporkan sebelumnya dalam Laporan Khusus (Lapsus) dengan tajuk “Menolak Lupa, Ini Dia Sederet Kasus Korupsi di Kota Wali” disebutkan bagaimana berbagai macam laporan atas dugaan – dugaan korupsi mengisi halaman depan media massa dan sekaligus memasuki kantong Aparat Penegak Hukum (APH). Sederet kasus tersebut antri menunggu giliran untuk diadili,. Namun seperti biasanya, Aparat Penegak Hukum (APH) di Kota Cirebon lemah syahwat dalam menegakan hukum sebagai panglima demokrasi dan juga konstitusi.

BACA: Laporan Investigasi: Menolak Lupa, Ini Dia Daftar Sederet Kasus Korupsi di Kota Wali

Hal tersebut dibuktikan dengan perbandingan antara Kuantitas Versus Kualitas. Dimana jumlah laporan yang masuk tidak berbanding lurus dengan penanganannya. Seperti yang diungkapkan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gajah Mada (UGM) Refli Harun pada saat mengomentari ketimpangan penegakan hukum atas kasus - kasus korupsi di Indonesia.
“Kpercayaan publik atas penegak hukum dilihat dari sejauh mana penegak hukum berhasil menyelesaikan suatu kasus, bukan dari banyaknya kasus yang ditangani. Kualitas itu dilihat dari hasil akhir penyelesai sampai diadili,” ujarnya.

Fakta diatas mengatakan bahwa dari banyaknya pemasukan kasus hanya beberapa yang menjadi pengeluaran (Output), dalam hal ini bisa selesai dituntaskan. Bahkan tidak sedikit kasus - kasus  yang entah pergi kemana proses hukumnya, tenggelam begitu saja. Dalam laporan tersebut sedikit atau banyaknya bisa dijadikan bukti kongkrit  bagaimana hukum masih sulit ditegakan di bumi caruban nagari, dan juga di bumi pertiwi.
Sedikitnya ada dua kasus yang akhir – akhir ini (periode 2016 – 2017. Red) yang sedang panas dan menjadi sorotan tajam publik di Kota Cirebon, yaitu soal dugaan korupsi pada mega proyek pembangunan infrastruktur publik yang menggunakan Dana DAK 96 M, yang diperuntukan untuk pengerjaan jalan raya, betonisasi, troarisasi dan drainase.

Pembangunan terebut bertujuan amat mulia yaitu untuk membenahi akses agar dapat menunjang perekonomian sebagaimana Kota Cirebon merupakan wilayah yang masuk dalam zona ekonomi Indonesia yang bisa menunjang perekonomian nasional secara keseluruhan.
Tampaknya tekstual selalu bertolak belakang dengan konstekstual (realitas) bukan lagi hal yang aneh,  bahkan sudah menjelma menjadi seperti kutukan. Dalam polemik DAK 96 M pun dirasa sama persis, harapan tinggal harapan yang semakin jauh untuk tercapai. Alih – alih untuk memajukan perekonomian, pembangunan tersebut malah menambah borok yang mencoreng wajah Kota Cirebon, dugaan korupsi lagi – lagi menjadi subab musababnya. Berikut kronologis dugaan perbuatan melwan hukum yang diindikasikan mengakibatkan adanya kerugian atas keuangan negara dalam pembangunan mega pryek DAK 96 M:

Selanjutnya Klik Link dibawah Ini:

LAPORAN 1: Lapsus: Pemberantasan Korupsi DAK 96 MANGKRAK, Aparat Diboyong Piknik Ke Singapore

LAPORAN 2: Ini Dia Kronologis Dugaan Korupsi DAK 96 M Sebelum Addendum

LAPORAN 3: Semakin Memanas, Ini Dia Kejanggalan Indikasi Korupsi Proyek DAK 96 M Setelah Addendum yang

LAPORAN 4: Rentetan Peristiwa Unik Dugaan Korupsi DAK 96 M Berujung Indikasi Gratifikasi

lAPORAN 5 : Korupsi Mengubah Niat Mulia Pembangunan Menjadi Ketimpangan Ekonomi, Hukum dan Sosial

 

Rentetan Peristiwa Unik Dugaan Korupsi DAK 96 M Berujung Indikasi Gratifikasi



  • Tiga Orang Tim Panitia Penilaian Hasil Pekerjaan (PPHP) Mengundurkan Diri



  • Beberapa Pejabat Pekerjaan Umum dan Penataan Ruan (PUPR) Mendadak Pensiun Dini



  • Kasi Intel Kejari dan Kasat Intel Polresta di Pindahkan.



  • Dugaan Gratifikasi dalam Kunjungan Kerja (Kunker) Pemerintah Kota (Pemkot) Bersama Forum Komunikasi Musyawah Pimpinan Daerah (FKMPD).



Cirebon, setaranews - Tak kurang hampir setiap minggunya ada saja aksi demonstrasi dari berbagai kalangan sebagai bentuk tekanan publik yang menunut proses penegakan hukum atas dugaan korupdi DAK 96 M dilakukan. Awalnya, kelompok masyarakat yang memiliki inisiatif utuk mengawal kasus yaitu dari Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) Cirebon, yang kemudian berkonsolidasi dengan elemen mahasiswa lain dan beralih menggunakan nama Aliansi Mahasiswa Cirebon (AMC). Target yang pernah dan sering menjadi sasaran aksi tersebut yaitu Pemkot, DPRD, DPUPR, dan Kejari. Tampaknya, tekanan publik tersebut cukup mempengaruhi psikologis aparatur yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kejadian unik pertama, yaitu ketika polemik semakin panas dan semakin nampak ke permukaan pada saat tim PPHP melakukan pengecekan ulang dimana hasilnya yang akan menjadi rujukan diterima atau tidaknya proyek tersebut. Jika melakukan penilian dengan sembarang, maka tidak sedikit yang menilai bahwa PPHP akan menjadi tumbal pertama yang akan dijebloskan masuk jeruji besi.

Baca: AMC: PPHP Itu Artinya Panitia Pemberi Hasil Palsu

Akibat ancaman dari publik tersebut disambut dengan reaksi pengunduran diri  tiga orang dari lima anggota tim PPHP  dengan alasan beban kerja yang terlalu berat. (sumber: radarcirebon). Reaksi cepat dari tim yang mengundurkan diri tersebut bisa dibilang terkena serangan psikologis yang menempel dibenak akibat bayang – bayang jeratan hukum yang sudah menantinya didepan mata. Pasalnya, sebelum mengundurkan diri terjadi terlebih dahulu serangkaian demonstrasi ke Kejari atas dugaan korupsi yang semakin memanas.

Pengunduran diri dari PPHP itu justru semakin menambah panas dinamika politik yang ada. Tekanan publik semakin masif dengan berbagai agenda pelawanan pemberantasan korupsi. Misalnya, tidak sedikit Organisasi Kemasyaratan (Ormas) ikut menggelar demonstrasi menuntut Kejaksaan menegakan hukum. Gerakan Mahasiswa Bawah Indonesia (GMBI) meluruk kantor Kejaksaan dengan membawa ratusan massa aksinya. Tuntutannya sama, penegakan proses hukum dugaan kprupsi DAK 96 M. Kemudian Forum Ormas dan LSM pun turut serta menggelar aksi demonstrasi sampai dua kali menggeruduk DPRD yang dinilai sarangnya mafia proyek termasuk pada kasus DAK 96 M (sumber:gragepolitan)

Suasana panas dan tegang tidak hanya pada aksi – aksi dijalanan, hawa yang sama terasa pada saat gelaran diskusi publik yang diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa Semua Tentang Rakyat (LPM Setara) di Auditorium Unswagati Cirebon. DPRD, Pemkot, Kejari dan Keplosian diserang bertubi – tubi dengan berbagai argumentasi dan menjadi bulan – bulanan mulai dari praktisi hukum, akademisi dan mahasiswa. Memiliki firasat tidak enak, perwakilan dari Pemkot Wahyo, yang merupakan Asisten Daerah meninggalkan forum (Walk Out) terlebih dahulu dengan alasan ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan. (sumber: redaksi setaranews.com)

Ketiga, seperti biasanya, tekanan politik memang kerap terjadi dan dialami para penegakan hukum setiap menangani perkara dugaan korupsi. Modus proses politik ini tidak jarang, justru menghambat bahkan seolah menjadi legitimasi (pengakuan) atas mangkraknya berbagai proses hukum dugaan korupsi. Proses politik dengan melakukan mutasi pejabat penegak hukum baik Kejaksaan atau pun Kepolisian kerap terjadi pada saat berbagai dugaan korupsi mencuat dan sedang ditangani, termasuk yang menimpa DAK 96 M.

Berdasarkan informasi dari internal Kejari dan Polresta bahwa Kasi Intel yang sedang menangani dugaan korupsi DAK 96 M tersebut tidak lagi bertugas dwilayah hukum Kejari Kota Cirebon. “Betul, Pak Kasi Intel memang sudah dipindahkan keluar kota,” ujarnya yang enggan disebutkan identitasnya ketika ditemui di ruangannya. Berdasarkan dari sumber yang sama informasi bahwa Kasat Intel pun ikut dipindahkan ke luar kota. Pada saat dikonfirmasi, salah seorang dilingkungan Polresta pun membenarkan informasi tersebut. “ Belum lama ini, kurang lebih seminggu Pak Kasat memang sudah pindah,” ucapnya, yang juga tak mau disebutkan namanya.

Baca: Kejari Akui Adanya Indikasi Kerugian Uang Negara di Proyek DAK 96 M

Keempat, setelah  para APH yang dipindahkan. Kejadian serupa yang unik dan menarik menimpa lembaga teknis yang melaksanakan pengerjaan megaproyek DAK 96M yaitu Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat (DPUPR). Menariknya membuat kejanggalan semakin mencuat, pasalnya beberapa pejabat esselon III yang merupakan Kepala Bidang (Kabid) mendadak mengundurkan diri alias mengajukan pensiun dini dengan alasan yang klasik yaitu beban kerja  terlalu berat (sumber: cirebonpos)

Baca:  Soal Pengunduran Diri Pejabat DPUPR, Ini Kata Walikota Cirebon

Kelima, peristiwa terahir ini yang kembali menyulut emosi publik di Kota Cirebon. Penilaian yang belum selesai, pengerjaan yang carut marut, dan penegakan hukum yang tak jelas Pemkot kembali bertingkah diluar akal sehat dan menciderai nurani dengan agenda Kunjungan Kerja (Kunker) dan Piknik ke Singapura dengan dalih dalam rangka meningkatkan pembangunan dalam berbagai sektor harus ada komparasi ke daerah lain yang pembangunannya baik dan amat kondusif.

Lawakan yang mirip dengan jalan – jalan ini mengajak semua pejabat Musyawah Pimpinan Daerah (Muspida) mulai dari Walikota, Ketua DPRD, Kepala Pengadilan Negri, Kepala Kejari, Komandan Kodim (Dandim), Komandan Rayon Arhandud dan Komandan Denpom.  Uniknya lagi tidak hanya forum muspida yang diajak, beberapa pejabat Pemkot pun mengisi daftar agenda tersebut seperti Kadis PUPR, Direktur PDAM, yang difasilitasi atau sebagai pelaksana Kantor Wilayah Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) dengan menggunakan anggaran APBD senilai Rp 132 juta.

Tema Kunjungan Kerja dan juga mereka yang mengikuti agendanya sangat tidak masuk akal. Ditambah lagi sesuai data dan informasi yang diperoleh dari daftar Acara Kunjungan Kerja tersebut yang memakan waktu empat hari mulai dari tanggal 18 – 21 Mei 2017 (Kamis - Jumat. Red)  agenda Kunker ke Pemda Batam hanya memiliki waktu luang satu jam setengah yaitu pada hari Jumat pukul 13.00 – 14:30 .

Menurut Aliansi Mahasiswa Cirebon (AMC), agenda tersebut justru bisa dikategorikan gratifikasi yang bertentangan dengan aturan perundang – undangan tentang pemberantasan korupsi. Pasalnya, saat ini sedang mencuat dugaan korupsi DAK 96 M, kemudian dengan serta merta Forum Muspida dengan menggunakan uang rakyat menggelar piknik ke luar negri.

“Tidak sembarang yang namanya Forum Muspida bisa berpergian, apalagi ini, rombongan piknik sampai ke luar negeri. Bisa tabrakan dengan hukum dan juga sangat bisa terjerat pasal gratfikasi Pasal 12 UU No. 20/2001,” pungkas Arif, Jubir AMC.

Berdasrkan kajian dari AMC Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 yaitu Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi  pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Selanjutnya di Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001 disebutkan setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Jika Forum komunikasi muspida yang akan melakukan agenda Kunker dan Melancong ke Singapore tersebut tidak melaporkan ke KPK maka bisa terkena sanksi hukum sesuai dengan Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001 pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Selanjutnya Klik Link dibawah Ini:

LAPORAN 1: Lapsus: Pemberantasan Korupsi DAK 96 MANGKRAK, Aparat Diboyong Piknik Ke Singapore

LAPORAN 2: Ini Dia Kronologis Dugaan Korupsi DAK 96 M Sebelum Addendum

LAPORAN 3: Semakin Memanas, Ini Dia Kejanggalan Indikasi Korupsi Proyek DAK 96 M Setelah Addendum yang

LAPORAN 4: Rentetan Peristiwa Unik Dugaan Korupsi DAK 96 M Berujung Indikasi Gratifikasi

lAPORAN 5 : Korupsi Mengubah Niat Mulia Pembangunan Menjadi Ketimpangan Ekonomi, Hukum dan Sosial

Semakin Memanas, Ini Dia Kejanggalan Indikasi Korupsi Proyek DAK 96 M Setelah Addendum



  • Walikota dan DPUPR Pasang Badan Terkait Addendum



  • Addendum melanggar adminsitrasi keuangan daerah dan UU Jasa Kontruski,



  • Pelaksanaan Addendum tanpa Konsultan Pngawas



  • Adendum menabrak dokumen kontrak



  • Bukan soal dibayar atau tidak, tapi mengapa bisa terjadi pengerjaan yang tidak sesuai spesifikasi



Cirebon, Setaranews.com - Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon, dalam hal ini Walikota Nasrudin Aziz tidak konsisten dengan ucapannya. Sebelum kontrak awal selesai pada tanggal 21 Desember 2016, Aziz panggilan akrabnya  pernah mngeluarkan pernyataan  akan memberikan sanksi pada kontraktor yang bandel, dan tidak akan memperjang kontrak serta tidak akan membayar pengerjaan diluar komitmen awal  sesuai dengan dokumen kontrak.  Namun, pada pelaksanaannya Pemkot malah memberikan Perpanjangan masa kontrak (Addendum), kebijakan walikota tersebut mendapat kritik dan kecaman keras dari berbagai kalangan;  mulai dari praktisi, akademisi  sampai mahawasiswa.

Radar Cirebon pernah memberikan informasi kepada publik bahwa Walikota Cirebon tersebut pasang badan atas polemik yang timbul setelah perpanjangan kontrak mega proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp 96 miliar. Walikota beralasan, Addendum merupakan  jalan terbaik. Addendum adalah istilah dalam kontrak atau surat perjanjian yang berarti tambahan klausul atau pasal yang secara fisik terpisah dari perjanjian pokoknya, namun secara hukum melekat pada perjanjian pokok itu.

Meski perpanjangan kontrak tersebut merupakan pengajuan dari kontraktor. Tapi, setelah dipertimbangkan, Ia mengklaim bahwa addendum tersebut mengutamakan kepentingan masyarakat, akhirnya pihak Pemkot menyetujui adanya Addendum selama 90 hari.

“Kita hitung-hitung kalau diperpanjang untungnya apa, ruginya apa. Kalau diputus juga untung ruginya apa. Ini yang terbaik,” kata Azis, saat ditemui di ruang kerjanyana, Jumat 23 Desember 2016.

Akademisi  Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati (Unswagati) Cirtebon,  Agus Dimiyati ikut angkat bicara atas polemik Addendum DAK 96 M tersebut. Menurut Agus, meski ada undang-undang yang mengatur tentang Addendum, tetapi persoalannya bukan pada perpanjangan lama waktunya, melainkan titik pesoalan yang jadi fokus yaitu hasil pengerjaan pembangunanannya. Addendum dilakukan bertujuan untuk memperbaiki bangunan yang tidak sesuai dengan spesifikasi.

”Jika tidak ada perbaikan maka pemkot melalui PU harus mencabut SPK guna menghindari kerugian anggaran dana, kejaksaan harus cepat bertindak. Hasil audit wajib dipublikasikan demi kepentingan banyak orang. Penandatanganan SPK juga sebenernya itu harus disaksikan oleh KPK jika tidak ini akan memungkinkan terjadinya kebocoran dana,” jelas Agus.

Menurutnya, alasan kontraktor menunda proyek karena faktor cuaca sangat tidak masuk akal. Karena logikanya, di Bandung saja yang intensitas cuacanya lebih tinggi, semua pelaksanan pembangunan berjalan baik. Kenapa cirebon tidak bisa? Tapi jika dikerjakan sesuai dengan Undang-Undang (UU) saya yakin semua proyek pembangunan infrastruktur kota pasti akan berjalan dengan baik. Jika memang pemerintah tidak mampu melakukan tugasnya kita harus ganti ketua dinasnya.

"Pengawasan yang dilakukan harus by system, jika sudah terlihat adanya penyimpangan langsung lakukan pemanggilan kepada instansi terkait,” kata Agus.

Dilain pihak, Gaerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) Cirebon seperti yang dikutip dari portal online lokal Demosmagz.com mengungkapkan Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 38 tahun 2015 Tentang Kerjasama Pemerintah dengan Bada Usaha Penyedia Infrastruktur (KBPU), dinyatakan dalam pasal ke - 3 poin (b) disebutkan penyediaan infrastruktur harus memenuhi standar kualitas, efisien, tepat sasaran, dan tepat waktu.

Kualitas yang dimaksud yaitu pembangunan infrastruktur harus berjalan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) dan sesuai dengan spesifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI), kemudian tepat sasaran yaitu bisa dilihat dari studi kelayakan diawal sebelum pelelangan tender. Apabila masih layak jangan dimasukkan, tidak layak ini yang dimaksud adalah tidak efisien.

"Pengerjaan yang ada tentunya berdasarkan skala prioritas agar tepat sasaran. Tepat waktu, ini bisa dilihat dari perencanaan sampai time schedule pengerjaan." Ujar Jubir Gemsos, Mumu Sobar Muklis yang juga mahasiswa Teknik Sipil Unswagati, Kamis 16 Februari 2017.

Lebih lanjut Mumu menuturkan berdasarkan peraturan lainnya, yaitu Perpres nomor 122 tahun 2016 tentang Percepatan  Penyediaan Infrastruktur prioritas (PPIP). DAK yang dialokasikan untuk pembangunan Jalan, Trotoar, Drainase masuk dalam kategori prioritas. Maka dari itu dibentuk Komite  PPIPD, yang salah satunya adalah Kejaksaan.

“Bukan soal dibayar atau tidaknya, tapi mengapa pengerjaan bisa tidak sesuai dengan spesifikasi? Kejaksaan dalam hal ini ikut juga bertanggung jawab, karena masuk dalam komite pengawas, agar pengerjaan lebih dipercepat tanpa menyalahi aturan yang ada. Sayangnya ini tidak optimal, dugaan penyimpangan tetap terjadi. Sampai kontrak selesaipun masih saja ditabrak aturannya” pungkasnya.

Adanya Addendum tersebut menuai polemik diinternal Pemkot Cirebon, dimana pihak DPUPR dalam hal ini Kabid Bina Marga, Sumargo, mengatakan tidak tahu menahu soal adanya Addendum yang dilakukan oleh Pemkot Cirebon. Sebagai lembaga teknis yang melaksanakan pengerjaan sangat aneh tentunya jika pihak dpupr tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan addendum tersebut.

"Tidak ada rapat kordinasi atau informasi kepada kami terkait Addendum tersebut," ujar Sumargo kepada setaranews.

Sementra itu Walikota Cirebon berani pasang badan dimana Ia mengakui sendiri bahwa Addendum tersebut sepenuhnya tanggungjawabnya sebagai pembuat kebijakan tersebut. Atas intruksinya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang juga selaku Sekretaris Dinas PUPR, Yudi melakukan perpanjang kontrak tersebut. Namun, tanpa pengawasan dari konsultan pengawas atau pengawas independen lainya diluar Pemerintahan.

"Soal Addendum itu tanggung jawab saya," ujar Nasrudin Aziz, Walikota Cirebon kepada awak media.

Untuk lebih rinci mengenai kronologis adanya Addendum agar lebih mudah untuk dipahami oleh publik di Kota Cirebon berikut ini kami lampirkan urutan benang merah Addendum tersebut:

  • Walikota tidak konsisten dengan ucapan tidak akan memperjang kontrak dalam proyek DAK 96 M

  • Atas interuksinya Lalu, PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) yang dalam hal ini merupakan dinas teknis daerah mengeluarkan addendum untuk memperpanjang kontrak hingga 21 Maret 2017.

  • Addendum tersebut menuai kontroversi karena tidak diketahui oleh lembaga teknis dan pejabat teknis. Walikota mengakui addendum tersebut sepenuhnya tanggungjawabnya

  • Addendum Dilakukan bukan untuk memperbaiki pengerjaan yang tidak sesuai spesifikasi melainkan melanjutkan pengerjaan yang tidak sesuai target awal.

  • Tidak ada tim pengawas dalam masa addendum, eksekutif dan legislative mengakui adanya kejanggalan karena ditemukan banyak yang tidak sesuai spesifikasi dan tidak sesuai dokumen kontrak

  • Sampai batas akhir addendum (21 maret 2017) bahkan seminggu setelahnya pengerjaan masih saja belum selesai. Kontraktor mengklaim pengerjaan 100 %

  • Panitia Penerima Hasil Pengerjaan (PPHP) Tidak Sedikit yang mengundurkan diri lantaran takut terkena proses hukum

  • Kejaksaan menyatakan bahwa ada dugaan perbuatan melawan hukum dan indikasi merugikan keuangan negara. Kasus memasuki tahap penyidikan dan sudah ada pejabat yang diperiksa

  • Sampai bulan mei 2017 PPHP tak kunjung usal melakukan penilaian dan serah terima hasil. Kemudian pejabat eseleon III PUPR (KABID) diketahui ada beberapa yang mengundurkan diri alias pensiun dini lantaran beban kerja yang terlalu berat

  • Kasi Intel Kejari Kota Cirebon dan Kasat Intel Polresta Cirebon di Mutasi

  • Pemkot mengagendakan Kunjungan kerja ke batam dan liburan ke Singapore bersama Ketua DPRD, Kapolresta, Kajari, PN, dandim, danrem, arhanud, (FORKOMUSPIDA) dan jajaran pejabat pemkot lainnya seperti Kepala Dinas PUPR, Kabid Anggaran DPPKAD, Direktur PDAM. Agenda ini diduga gratifikasi sekaligus suap dalam kaitanya dengan kasus dugaan korupsi DAK 96 M lantaran tekanan publik tak kunjung usai untuk menegakan proses hukum tersebut.


Selanjutnya Klik Link dibawah Ini:

LAPORAN 1: Lapsus: Pemberantasan Korupsi DAK 96 MANGKRAK, Aparat Diboyong Piknik Ke Singapore

LAPORAN 2: Ini Dia Kronologis Dugaan Korupsi DAK 96 M Sebelum Addendum

LAPORAN 3: Semakin Memanas, Ini Dia Kejanggalan Indikasi Korupsi Proyek DAK 96 M Setelah Addendum yang

LAPORAN 4: Rentetan Peristiwa Unik Dugaan Korupsi DAK 96 M Berujung Indikasi Gratifikasi

lAPORAN 5 : Korupsi Mengubah Niat Mulia Pembangunan Menjadi Ketimpangan Ekonomi, Hukum dan Sosial

Sabtu, 13 Mei 2017

Puisi: Seperti Burung Kecil yang Murung

Kau seperti langit
Menyerahkan diri untuk dinikmati tapi menolak untuk dimiliki
Aku seperti burung kecil yang murung
Bersusah payah merangsak sangkar
Membebaskan diri dari kesunyian

Kau ialah satu kesatuan utuh yang pernah patah
Merekat lama untuk kuat dan tak terbantah
Aku ialah kesatuan utuh yang nyaris patah
Merawat sedemikian rupa untuk kuat dan tak terbantah

Dosa dan doa berjalan beriringan
Sementara lengan pendek manusia terus menjangkau keinginan yang panjang
Dihitam matamu ku membaca riku
Dihitam mataku tidak kah kau menerka risau?
Senja pun tak pernah ragu menunjukkan romansa mesra pada semesta

Kita diseret-seret waktu
Berjalan terus melewati landai atau terjal
Tak pernah tahu kemana ujung
Mengkokohkan keluh
Menggenapkan resah
Bersama tembok yang usang
Bersama perasaan yang tak kunjung menjelma ucapan

Jumat, 12 Mei 2017

Soal Pengunduran Diri Pejabat DPUPR, Ini Kata Walikota Cirebon

Cirebon, Setaranews.com – Kota Cirebon yang kini sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan melalui dinas terkait, yaitu Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR). Namun, yang mengejutkan sejumlah pejabat eselon III di DPUPR mengundurkan diri.

Walikota Cirebon, Drs Nasrudin Azis angkat bicara mengenai hal tersebut. Dirinya mendapat kabar bahwa pejabat eselon III yang mengundurkan diri merupakan Kepala Bidang (Kabid).

Azis mengatakan, pejabat eselon III tersebut mengundurkan diri dikarenakan masalah kesehatan. Oleh karena itu, pejabat tersebut sudah tidak dapat menjalankan pekerjaan yang berat, sehingga mengundurkan diri dari jabatan Kabid.

“Kalau memang iya tidak bisa mengerjakan pekerjaan di DPUPR maka kita akan pindahkan ketempat yang paling ringan, yang cuma nulis-nulis doang,” kata Azis seperti yang dikutip radarcirebon.com, Selasa (9/5/2017).

Azis mengungkapkan, dirinya tidak ingin alasan pengunduran diri ini dilakukan bukan karena menghindari pekerjaan yang sedang dilakukan oleh DPUPR. “Jangan sampai pas kita menghadapai resiko, kita jadi enggan menjalankannya. Dan semoga mereka tidak berpikir seperti itu,” pungkas Azis.

Pedati Pustaka, Perpustakaan Keliling di Kabupaten Cirebon

Cirebon, Setaranews.com – Berawal dari kesenangannya membaca, Robianto atau kerap disapa Robi, warga Desa Bayalangu Lor, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon membuat gerobak yang menyatu dengan sepeda motor. Gerobak tersebut terbuat dari rangka kayu dan atap rumbia yang berisi 150 buku bacaan. Ia pun menamainya Pedati Pustaka.

Robi berkeliling di beberapa titik Desa Bayalangu Lor, serupa perpustakaan keliling. Mendatangi pusat-pusat keramaian anak-anak untuk menawarkan buku-bukunya agar dibaca.

"Koleksi saya memang baru 150 buku, hasil donasi dari beberapa teman dan pihak lain yang sebelumnya tak saya kenal. Saya sendiri memang hobi baca," ungkapnya yang biasa melakukan kegiatan dengan Pedati Pustaka hingga malam hari, dikutip dari daerah.sindonews.com

Robi berharap koleksi bukunya bisa bertambah, maka ia terus berusaha mengumpulkan buku-buku. Menurutnya, masyarakat bisa menambah wawasan dengan koleksi yang banyak dan beragam.

Kegiatan yang dilakukan Robi dilatarbelakangi oleh keprihatinan melihat anak-anak yang menyingkirkan buku dan lebih senang berkutat dengan gadget.

Lewat Pedati Pustaka, sedikit demi sedikit minat baca anak-anak mulai tergugah. Meski terkadang untuk memancing anak-anak membaca, Robi harus menggunakan aneka permainan kegemaran mereka.

"Misalnya saya pancing dulu dengan kegiatan mewarnai. Lama-lama saya sodorkan buku untuk dibaca dan akhirnya mereka mau membaca," katanya.

Robi berkisah pengalamannya bertemu seorang anak kelas 4 SD yang ia suruh menuliskan namanya sendiri diselembar kertas, yang mengejutkan anak tersebut tidak bisa melakukannya.

Selain untuk melawan kebodohan dengan membaca, berangkat dari kisah tersebut Robi berinisiatif membuka kelas berhitung, membaca dan lainnya. Serta menyediakan aneka permainan tradisional, seperti congklak, dan lainnya. Dengan harapan anak-anak bisa bermain sewajarnya.

Senin, 08 Mei 2017

Sebagai Bukti Pertanggung-Jawaban, AMC minta PPHP Transparansikan Hasil Penilaian

Cirebon, setaranews.com – Panitia Penerima Hasil Pekerajaan (PPHP)  sudah selesai melakukan penilaian di semua Daerah Pilihan (Dapil) proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai 96 miliar. Perihal tersebut langsung diutarakan oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Budi Raharjo.

Mega proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 96 M diperuntukan untuk pembangunan infrastruktur publik daerah seperti Jalan raya, Betonisiasi, Drainase, dan trotoarisasi menjadi polemik, dikarena dalam pelaksanaannya diduga adanya perbuatan melawan hukum yang diindikasikan berakibat pada kerugian keuangan Negara.

Adanya fakta tersebut diakui oleh sejumlah lembaga pemerintahan , dalam hal ini DPRD, Pemkot, Kejaksaan dan Pihak Pelaksana teknis yaitu DPUPR.  Salah satu bentuk penyimpangannya yaitu pelaksanaan pengerjaan proyek tersebut terdapat ketidaksesuaian dengan spesifikasi yang disepakati bersama dan juga tercantum dalam peraturan perundang – undangan.

“Makanya yang tidak sesuai ya tidak dibayar, hasil penilaian dari tim PPHP akan menjadi rujukan dalam pembayaran proyek termasuk audit dari Badan Pembuat Komitmen (BPK), “ ujar Yudi selaku pejabat Pembuat Komitmen (PPK)  dan juga sekretaris DPUPR kepada setaranews ketika ditemui diruangannya.

Sedangkan tanggapan lainnyapun diungkapkan oleh Kepala DPUPR sebagai kuasa anggaran yaitu Budi Raharjo. Ia mengatakan bahwa tim PPHP sudah menyelesaikan seluruh proses penilaian di tiga Dapil dalam pembangunan infrastruktur jalan menggunakan anggaran DAK 96 M.

“PPHP sudah selesai melakukan penilaian, untuk bisa atau tidaknya dipublikasi ke publik silahkan tanya langsung ke PPHP” katanya kepada setaranews diruang kerjanya beberapa waktu yang lalu.

Sementara  itu Aliansi Mahasiswa Cirebon (AMC) mengatakan bahwa hasil dari penilain tim PPHP wajib untuk dipublikasikan kepada masyarakat Kota Cirebon.  Jubir AMC, Arif  mengatakan bahwa transparansi mutlak dilakukan oleh penyelanggara pemerintahan sesuai dengan amanat undang-undang keterbukaan informasi publik.

“Apalagi ini anggaran yang  bersumber dari uang rakyat. Makannya  harus ditranparansikan sebagai bentuk pertanggung jawaban kepada rakyat.  Pasalnya dengan anggaran sebesar itu tidak signifikan memberi manfaat langsung kepada masyarakat Kota Cirebon” tukasnya.

Lebih lanjut Aarif menyebutkan bahwa persoalan sesungguhnya bukan perkara dibayar atau tidaknya. Tetapi yang lebih subtansial dan esensi yaitu kenapa pengerjaannya bisa tidak sesuai dengan kontrak awal.

“ Kenapa bisa tidak sesuai spesifikasi dan juga dokumen kontrak yang merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah, kontraktor dan pengawas. Ini yang jadi akar persoalannya, maka dari itu,  untuk mengetahui letak kesalahannya, penegak hukum harus segera bertindak untuk membongkar praktik yang diduga korup tersebut,” pungkasnya.

 

Rabu, 03 Mei 2017

Laporan Investigasi: Menolak Lupa, Ini Dia Daftar Sederet Kasus Korupsi di Kota Wali

Cirebon, Setaranews.com – Cuaca itu terasa panas, entah siang maupun malam. Suasana yang memang menjadi ciri khas wilayah pesisir pantai. Cirebon, berada tepat dijalur pantura yang menghubungkan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letaknya secara geografis memang sangat strategis, tidak heran jika kemudian dijadikan salah satu wilayah yang bisa mendongkrak perekonomian secara nasional maupun regional. Akibatnya, Cirebon saat ini memang menjadi daerah tujuan, baik itu wisatawan maupun pengusaha, dan juga penguasa. Adapula citra negatif yang mengikuti dibelakangnya, yang ini begitu menyayat hati dan akal sehat rakyat yang menghuninya, yaitu sempat mendapat gelar dan dianugrahi sebagai Kota Terkorup dan ternyaman bagi para Koruptor.

Paska tumbangnya Orde Baru yang disimbolkan dengan lengsernya Presiden Soeharto menjadi babak baru bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dimana setelah itu lahirlah suatu dekade yang disebut era Reformasi. Segala sesuatu yang bersifat sentralistik, otoriter, dan anti-demokrasi yang memusatkan kekuasaan ditangan presiden mengakibatkan kuatnya praktik korupsi dilingkaran kekuasaan. Reformasi dianggap lebih baik karena kekuasan terdistribusi secara desentralisasi, akuntabel, transparan dan lebih demokratif (Baca: Demokrasi Konstitusi Karya Adnan Buyung Nasution). Akan tetapi, seiring berjalannya waktu berbagai kelemahan dan kejanggalan mulai tampak, terutama mengenai praktik korupsi yang semakin massif dan menjalar hampir diseluruh daerah, tidak terkecuali dengan Kota Cirebon. Alhasil harapan atas cita – cita bangsa dan negara semakin jauh tak terjangkau.

Secara tekstual dan kontekstual adanya era reformasi yang ditandai dengan adanya pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif sesuai teori Montesque lebih baik ketimbang masa sebelumnya yang memusatkan kekuasaan secara penuh ditangan presiden. Adanya pemerintahan daerah yang diatur dalam UU merupakan si jabang bayi yang lahir dari Rahim reformasi dengan demokrasi sebagai ibu kandungnya. Namun, lambat laut sistem tersebut menggerogoti tubuhnya sendiri, hal ini dibuktikan dengan menjalarnya praktik penyalahgunaan kekuasaan yang cenderung korup menjalar sampai ke pelosok negeri. Tidak sedikit kepala daerah yang menjadi penghuni tetap jeruji besi. Bahkan tidak hanya eksekutif, anggota DPRD dan para aparatur penegak hukum (Kejaksaan dan Kepolisian) ikut menemani karena terjerembab pada kasus yang serupa.



Gelar Kota Terkorup

Hari itu, suasana di daerah Cirebon begitu panas. Bukan karena matahari yang begitu menyengat hingga ke ubun – ubun. Atau karena derai kendaraan yang mengeluarkan polutan yang semakin tak tertahan oleh resapan – resapan ruang terbuka hijau yang memang sangat minim. Melainkkan akibat adanya informasi yang menghebohkan, masyarakat tumpah ruah dengan amarah karena mendengar daerah tercintanya itu mendapat anugerah sebagai daerah yang berpredikat Terkorup.

Gelar sebagai Kota Terkorup itu datang dari sebuah lembaga bernama Transparency International Indonesian (TII). Media online Kompas.com pernah melansir pada tanggal 9 bulan 11 tahun 2010, bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Cirebon sama dengan Pekanbaru yaitu sebesar 3,61.

"Pemberitaan media lokal ataupun nasional memang dipenuhi oleh kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh aparat di sana," kata Manajer Tata Kelola Ekonomi Transparency International Indonesia (TII), Frenky Simanjuntak, Selasa (9/11/2010) di Jakarta.

Frenky menjelaskan, korupsi di kedua kota tersebut masih lazim terjadi dalam sektor-sektor publik. Pemerintah daerah dan penegak hukum sendiri tampak kurang serius memberantas korupsi.

"Hal demikian menyebabkan persepsi para pelaku bisnis di Pekanbaru dan Cirebon menjadi rendah," ujar dia.

Tidak hanya pada tahun 2010, empat tahun setelah itu, Cirebon kembali digemparkan dengan kabar yang serupa. Pada saat itu, media lokal Radar Cirebon tertanggal 22 November 2014 mengeluarkan pemberitaan bahwasannya Kab/Kota Cirebon kembali menempati jajaran teratas sebagai kota terkorup versi Indonesia Corruption Watch (ICW).

Menurut pemaparan Kepala Kejaksaan Negeri Sumber Dedie Triharyadi SH MH dalam konferensi pers, Cirebon merupakan kabupaten/kota terkorup kedua se-Indonesia. Anehnya, selama ini tidak ada pejabat tinggi daerah yang tersentuh oleh hukum. “Penindakan tindak pidana korupsi hanya pada tataran kuwu, sebab pejabatnya untouchable,” tuturnya.

Kasus Dugaan Korupsi Tahun ke Tahun di Cirebon (2010 – 2017).

Jika merujuk pada hasil penelitian TII sebelumnya yang dimana salah satu acuan penelitiannya dilihat dari pemberitaan – pemberitahaan media lokal mengenai dugaan – dugaan korupsi maupun yang sudah ditetapkan sebagai tersangka menjadi tidaklah heran memang jikalau mendapatkan gelar terkorup. Berdasarkan hasil pantauan tim redaksi kami sepanjang tahun 2010 – 2017 tidak sedikit pemberitaan mengenai dugaan – dugaan korupsi yang mengisi halaman utama entah cetak maupun elektronik.

Sedikitnya jika merujuk pada database tim redaksi setaranews terdapat 10 perkara dugaan korupsi yang melanda Cirebon, entah kota maupun kabupaten. Untuk mengingatkan kembali ingatan publik atas kasus – kasus yang pernah melanda kami akan menyajikan (review) sebagai berikut:

Pertama (periode 2008 – 2013), Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sempat menjadi sorotan publik Kota Cirebon. Dimana, ramai pemberitaan mengenai dugaan penyalahgunaan wewenang, sampai pembohongan publik. Polemik ini bermulai dari kenaikan tarif karena pihak PDAM mengklaim bahwa perusahaan BUMD tersebut mengalami kerugian yang cukup besar. Alasan tersebut menjadi legitimasi untuk menaikan tarif, yang dimana masyarakat mengeluh karena tidak di iringi dengan kualitas maupun kuantitas pelayanannnya.

Polemik semakin mencuat nanjak ke publik dimana Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) merilis bahwa PDAM mengalami keuntungan yang cukup signifikan. Hasil audit BPK ini yang kemudian membuat rakyat Kota Cirebon semakin amarah. Karena PDAM diduga melakukan pembohongan publik. Berbagai reaksi pun bermunculan. Aksi unjukrasa atas kasus ini tidak bisa dihindarkan, mahasiswa mengecam atas praktik yang tidak adil tersebut.

Berkas dugaan korupsi di tubuh PDAM sudah masuk pada Kejari Kota, Kepolisian Kota, bahkan sampai kepada KPK. Seperti diketahui bersama, memang sudah tidak aneh adanya berbagai kasus dugaan korupsi di PDAM, karena BUMD yang satu ini digadang – gadang menjadi “ATM BERSAMA” mafia - bajak uang rakyat. Namun, sampai sejauh ini tidak ada kejelasan hukum, apakah diberhentikan atau dilanjutkan. Pada periode ini pula sebetulnya tidak hanya menimpa PDAM, lembaga lain pun tidak mau kalah dengan ikut – ikutan membajak. Misalnya yaitu soal dugaan korupsi proyek renovasi rumah dinas wali kota Subardi, proyek rehabilitasi Gedung Wanita, pengadaan pompa air PDAM, dan korupsi dana jaring aspirasi masyarakat (Jasmara) DPRD tahun 2008.

Kedua (periode 2014 - 2015), mungkin masih teringat di beberapa kepala masyarakat Kota Cirebon sebuah tindak tanduk yang kembali menodai demokrasi dan konstitusi. Pada tahun 2014 silam, pemerintahan di Kota Cirebon kembali menorehkan catatan hitam bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik, akuntabel, transparan dan reformasi birokrasi dimana tidak ada perbuatan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Sayang prinsip tersebut hanya isapan jempol belaka. Dugaan penyalahgunaan wewenang dan gratifikasi kembali menjangkiti tubuh aparat Negara. Dalam kasus ini yaitu soal pembelian mobil dinas berupa Nisan X- Trail untuk pimpinan Musyawarah Pemimpin Daerah (MUSPIDA) yaitu Walikota, Ketua DPRD, Kepala Kejari, Kapolres, Dandim, dan Kepala Pengadilan Negeri Kota Cirebon.

Kasus tersebut mencuat lantaran pembelian mobil dinas tersebut tidak sesuai dengan nomenklatur yang ada dalam APBD. Dimana didalamnya tercatat untuk pembelian mobil bus Pemkot, namun pelaksanaannya untuk membeli mobil dinas dengan alasan pinjam pakai. Kali seperti yang sudah – sudah menjadi bahan amarah masyarakat. Demonstrasi kerap dilakukan oleh mahasiswa untuk menuntut proses hukum karena dinilai adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dan gratifikasi yang merugikan keuangan Negara (Korupsi).

Ketiga (periode 2014-2015), selanjutnya yaitu pada tahun ini pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tidak sesuai dengan kuota rombel yang tertera dalam Perwali yang merujuk pada perda PPDB. Unsur suap dan penyalahgunaan wewenang kuat sekali dalam kasus yang satu ini. Akibatnya tidak sedikit sekolah unggulan yang overload. Sebaliknya, beberapa sekolah swasta hampir gulung tikar lantaran tidak kebagian murid baru. Ketidakadilan dalam pelaksanaannya menjadi salah satu ciri pelaksanaan pemerintahan di Cirebon jauh dari konsep bersih.

Keempat (periode 2014-2015) dan kelima yaitu mengenai kasus adanya mark up dalam pengadaan tanah untuk RTH dan pengadaan tanah untuk pengembangan Kampus II yang menimpa salah satu perguruan tinggi negeri. Dalam kasus ini Kadis DKP menjadi tersangka, dan Mantan Rektor juga menjadi tersangka. Keenam, tidak terlewatkan pula kasus korupsi Bansos APBD Kabupaten Cirebon yang menjerat wakil bupati.

Ketujuh (periode 2015 – 2016), kasus yang ini dalam waktu berdekatan kalau tidak bersamaan, yaitu soal kunjungan kerja DPRD yang diduga fiktif. Polres Cirebon Kota pada saat itu telah melakukan penyelidikan lebih jauh mengenai laporan adanya dugaan perbuatan melawan hukum oleh oknum DPRD Kota Cirebon. Dimana terdapat oknum yang diduga mencairkan dana Kunker tidak tepat waktu dan malah diduga fiktif karena memang tidak mengikuti kunker.

Kedelapan dan Kesembilan (Periode 2016 – 2017), kasus yang masih hangat dan mungkin masih teringat oleh publik di Kota Cirebon yaitu mengenai pungutan liar (pungli) dalam kasus dugaan rekrutmen ilegal anggota Badan Penanggulangan Kebakaran (Balakar) pada Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Kota Cirebon. Dikabarkan bahwa mereka yang ingin diterima sebagai honorer harus mengeluarkan kocek minimal Rp 25 juta per orang. Tidak sedikit yang termakan bujuk rayu kasus ini, menurut informasi yang beredar luas di media sdikitnya 200 orang tertipu.

Selanjutnya yaitu kasus yang kembali mencuat dan hangat di pemberitaan dengan "turun gunungnya" Komisi Pemberantasan Korupsi (Kasus Tanah Cipto). Kasus tersebut bermula dari penjualan sebidang tanah seluas 1770 meterpersegi (m2) di Jalan Cipto Mangungkusumo Kota Cirebon. Penjualan tanah yang berada di jalur strategis itu dilakukan melalui PD Pembangunan hanya saja alam pelaksanaannya didugà banyak kejanggalan. Penjualan tanah tersebut, Pemkot melalui PD Pembangunan hanya mendapat kompensasi yang tak sebanding dengan luas dan lokasi yang strategis itu membuat pertanyaan sejumlah pihak, karena PD Pembangunan hanya mendapat kompensasi sebesar Rp. 4 Miliar secara bertahap. Sumber internal pemkot yang enggan disebutkan mengatakan, tanah yang statusnya sebagai aset itu ada kejanggalan pada proses pelepasannya.

Terakhir kesepuluh (periode 2017), kasus terakhir yang paling fenomenal selama kurun waktu diatas, karena nilainya yang sangat besar. Kasus yang satu ini merupakan sejarah di Kota Cirebon, lantaran baru kali ini mendapatkan kucuran Dana Alokasi Khusus untuk Infrastruktur publik dari APBN senilai 96 M.

Kejari Kota Cirebon telah mengendus adanya perbuatan melawan hukum yang diindikasikan dapat merugikan keuangan Negara dalam pelaksanaannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai hasil akhir laporan pertanggungjawaban pengerjaan (tahun 2017). Kasus megaproyek DAK ini kembali panas jadi sorotan publik. Uang dengan nominal yang tidak kecil itu hampir sama sekali tidak bisa dirasakan manfaatnya oleh warga. Tidak sedikit pengerjaan proyek yang sudah hancur, rusak, dan tidak berfungsi. Hampir disetiap titik (Dapil I, 2, 3) pengerjaannya tidak sesuai dengan spesifikasi.

Ditambah lagi dengan adanya Addendum (pepanjangan kontrak) karena pembangunan sempat mangkrak. Sampai masa addendum usai pun, tetap saja pengerjaan masih belum berhenti. Baru setelah kurang lebih satu minggu kontrak habis, akibat dorongan publik, pengerjaan dihentikan. Kontraktor mengklaim pengerjaan sudah selesai semua (100%). Namun hal itu dibantah oleh warga, yang menurutnya sudah menjadi rahasia umum bahwa pelaksanaan proyek tersebut gagal total. Menurut warga kejanggalannya bisa terlihat kasat mata.

Dugaan korupsi dalam kasus ini mengundang reaksi keras, tidak sedikit elemen warga mulai dari Ormas, LSM, Komunitas Motor sampai mahasiswa turun kejalan melakukan aksi demonstrasi menggugat Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon untuk melakukan proses hukum dan mengusut hingga tuntas. Mafia dan para koruptor harus ditangkap dan diadili, begitulah kiranya tuntutan masyarakat di Kota Cirebon akhir-akhir ini. Mereka mengatakan sudah muak dan melek selalu disuguhkan dengan kasus-kasus dugaan korupsi di kota tercintanya.

Kejaksaan Sebagai Alat Negara untuk Penegakan Hukum

Sejalan dengan visi-misi pemerintahan dan cita-cita bangsa, maka setiap program yang akan dilaksanakan harus sesuai dengan garis besar haluan Negara. Misalnya dalam hal ini kebijakan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan juga pengentasan kemisikinan di daerah-daerah terpencil, terdepan dan terluar. Namun sayangnya niatan baik tersebut, sebagaimana otonomi daerah justru kontraproduktif. Praktik korup justru semakin merambat dengan membabi buta ke setiap daerah. Tidak terkecuali dengan Cirebon. Tidak sedikit kasus dugaan-dugaan korupsi menghiasi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan hampir tiap tahun.

Jika dilihat dari sitem tersebut maka jelas orientasi Kejaksaan pada kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan rakyat. Padahal, sejatinya Kejaksaan menjungjung tinggi hak asasi rakyat sebagai pedomannya dalam melakukan penegakan hukum sebagaimana Negara hukum (The Rule of Law). Bagi para penegak hukum yang tidak memiliki kepentingan memperjuangkan rakyat memang sulit sekali untuk melaksanakan penegakan hukum, yang kemudian secara tidak sadar perlahan demi perlahan bukan menjadi lembaga yang melindungi rakyat, justru sebaliknya menjadi lembaga pelanggar HAM terbesar.

Maka dari itu, yang tidak kalah penting dalam era reformasi dengan otonomi daerahnya harus diimbangi dengan supremasi hukum. Para penegak hukum secara harfiah harus menempatkan posisinya sebagai alat Negara, bukan alat pemerintahan. Pasalnya, jika hanya menjadi alat pemerintah maka proses tekanan politik kekuasaan akan semakin kencang melakukan interfensi dan intimidasi kepada para penegak hukum. Konstitusi dan UUD jelas menyebutkan bahwa Kejaksaan fungsi utamanya adalah melaksanakan penegakan hukum yang berurusan dengan kepentingan publik, dalam hal ini yaitu mengenai korupsi.

Sejarah Pemberantasan Korupsi Di Cirebon

Seperti yang sudah dipaparkan diatas, hampir setiap tahun dalam periode tersebut selalu saja ada dugaan – dugaan korupsi yang melanda pemerintahan di Kota Cirebon yang melibatkan trias politika si pilar demokrasi yaitu Eksekutif (Pemkot), Legislatif (DPRD) dan Yudikatif (Kejaksaan, Pengadilan dan Kepolisian). Kasus – kasus tersebut dilihat dari laporan – laporan yang sudah masuk di Kejaksaan Kota dan Polres Kota. Hanya saja sejauh ini yang sampai ke tahap meja hijau dan ditetapkan sebagai tersangka belum seberapa, ketimbang dengan laporan yang masuk.

Berbagai dugaan korupsi tersebut ada yang ditangani oleh Kejari, dan ada juga yang ditangani oleh Polres Kota. Namun seperti kasus – kasus sebelumnya, baik itu Kejari ataupun pihak kepolisian hanya sesumbar dan mengobral janji – janji dengan mengatakan bakal mengusut kasus sampai tuntas. Sayangnya klaim tersebut hanya sebatas omong kosong yang tidak diiringi dengan sikap dan perbuatan nyata. Buktinya beberapa oknum yang memang terlibat hampir disemua dugaan korupsi tersebut masih berkeliaran dengan bebas seraya menikmati hasil dari usahanya membajak uang rakyat. Korupsi merupakan kejahatan luar bias, tindak pidana khusus, yang memang perlu penanganan yang lebih khusus dan focus. Jika dilihat dari segi kemanusiaan, pelaku korupsi jelas merupakan penjahat kemanusiaan yang paling keji. Penjahat yang menghancurkan demokrasi. Rakyat yang taat membayar pajak dengan kerja keras dan keringatnya yang paling dirugikan. Karena akibat ulah koruptor tersebut hak – hak yang seharusnya didapkan oleh rakyat tidak kunjung terpenuhi. Secara tidak langsung, korupsi menggerogoti rakyat yang lama kelaman bisa membunuhnya.

Jika Kejaksaan menjalani Tugas Pokok dan Fungsi (tupoksi) sebagai alat negara untuk menegakan hukum maka harus menjadi pilar demokrasi yang kokoh, dan menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Sama halnya dengan Kejaksaan, Kepolisian pun sama. Polisi jika dilihat dari strukturnya yang langsung dibawah presiden memang sangat riskan terjadinya konflik kepentingan. Alhasil, polisi tidak bisa leluasa menegakan hukum. Termasuk didaerah pun sama, terkena imbas dari sistem tersebut. Polisi sendiri padahal memiliki sendiri tupoksinya sebagai penegak keadilan dan melindungi kepentingan publik.

Terlihat pula dari deretan kasus tersebut bahwa hukum sulit sekali ditegakan di kota wali. Politik jadi panglima, sedangkan hukum jangankan jadi panglima, jadi acuan penyelenggaraan pemerintahan pun tidak diindahkan. Wajar saja jika para koruptor betah dan nyaman tinggal di Cirebon, karena memang hukum tidak berlaku. Padahal, sebelumnya Cirebon pernah memiliki sejarah luar biasa dalam membentuk NKRI sampai sejarah pemberantasan korupsi. Seperti dalam pendirian NKRI Cirebon memproklamasikannya terlebih dahulu pada tanggal 15 Agustus 1945. Cirebon dan sewilayah tiga merupakan tempat strategis yang dimana sedari dulu jadi salah satu simpul utama pergerakan rakyat melawan kolonial. Dalam hal penegakan hukum pun, belum terlalu usang kiranya setelah reformasi, tepatnya periode 1999 – 2004 Kejari Kota Cirebon pernah menorehkan tinta emas dengan pengungkapan kasus korupsi yang menyeret seluruh anggota DPRD dan beberapa pejabat di Pemkot pada kasus APBD Gate 2004.

Era itu meupakan catatan positif bagi penegakan hukum yang tidak pandang bulu dalam mengusutnya sampai tuntas ke akar-akarnya. Namun, tidak dipungkiri pula keberanian penegak hukum mengungkap kasus korupsi lantaran adanya dorongan yang sangat kuat dari mahasiswa yang tidak pernah lelah mengawal proses hukum bertahun-tahun dalam kasus tersebut. Berbagai macam demonstrasi terus dilakukan di depan kantor Kejari. Bahkan mahasiswa pada waktu itu, untuk mendorong Kejari menuntaskan kasus sampai melakukan aksi mogok makan yang sampai menggemparkan jagat nasional. Perjuangan mahasiswa tidak sia-sia, akhirnya kasus APBD Gate masuk meja hijau, terdakwanya pun merupakan tokoh-tokoh elit politik di Kota Cirebon.

Peranan Mahasiswa dalam Menjaga Demokrasi dan Merawat Konstitusi

Praktik korup yang semakin massif di era otonomi ini sangat merugikan rakyat yang berada di daerah-daerah. Karena korupsi tentu telah merusak mental birokrat yang kemudian berimbas pada kualitas pelayanan publik yang sangat buruk. Korupsi harus kita ketahui secara seksama merupakan tantangan terbesar para penegak hukum di era reformasi. Tidak ada jaminan, entah itu rezim otoriter ataupun rezim demokratis jika dikaitkan dengan supremasi hukum. Justru yang semakin memprihatinkan sudah banyak penegak hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum. Adanya alat Negara untuk memberantas korupsi sebagi panglima dalam menyelesaikan penyakit yang sudah akut tersebut. Malah si penegak hukm tersebut menjadi masalah utama, bukan lagi sebagai penyelamat.

Dalam kasus DAK 96 M ini pun, mahasiswa terus menggelorakan suara anti korupsi ke Kejari. Aliansi mahasiswa dibentuk untuk menghancurkan dan merobohkan dinding tebal kekuasaan yang semakin sewenang-wenang. “Demonstrasi merupakan ritual sekaligus tradisi untuk merawat demokrasi, sekaligus menjamin hak warga Negara untuk tetap terpenuhi. Terutama membongkar kasus korupsi yang menyengsarakan rakyat banyak," ujar Mumu Sobar Muklis, Jubir Aliansi Mahasiswa Cirebon.

Menurut mahasiswa, jika ingin mengembalikan citra positif Cirebon sebagai kota religi, kota udang, kota berintan, perlu adanya pembuktian kepada publik. Salah satunya dan yang paling utama yaitu penegakan hukum harus berjalan sesuai amanat konstitusi. “Jika tidak, wajar saja jika kota terkorup dan kota yang paling aman dan nyaman bagi koruptor kembali menjadi ciri khas. Citra ini sangat buruk, karena anti-demokrasi dan anti-konstitusi yang berpegangan kepada supremasi hukum dan harkat martabat kemanusiaan dimana hak rakyat harus terpenuhi,” pungkasnya.

Tidak hanya penegak hukum, mahasiswa sebagai kelompok yang bisa mengimbangi kekuasaan dan sekaligus penyambung lidah rakyat kepada pemerintah juga harus tetap menjaga solidaritas. Pasalnya, pada saat membongkar kasus APBD Gate peranan mahasiswa begitu besar. Tanpa dorongan dari mahasiswa penegakan hukum pada saat itu tidak akan menorehkan sejarah baik bagi Cirebon.

“Peranan mahasiswa begitu strategis. Kita pernah juga menorehkan tinta emas. Politik nilai untuk menjaga konstitusi dan demokrasi harus terus diperjuangkan oleh mahasiswa. Jika diantara nilai-nilai Keadilan, Kesetaraan, Kemanusiaan, Solidaritas, Demokrasi ada yang dikhianati maka sudah menjadi tanggung jawab moral mahasiswa sebagai intelektual berada di garda terdepan untuk melawannya. Para penegak hukum pun sama, fondasi konstitusi berada dipundakya. Akankah sejarah bisa kembali terulang? Mari kita perjuangkan bersama,” tandasnya.

Ancaman serius matinya negara hukum terus menghantui kehidupan rakyat Indonesia yang sedang dan terus memperbaiki diri agar sejalan dengan nilai demokrasi, rule of law, HAM dan konstitusionalisme. Fokus utamanya tidak lain yaitu penegakan hukum mengenai korupsi dari pusat sampai pelosok daerah. Namun, fakta yang kembali menyakiti hati nurani dan akal sehat lantaran kasus-kasus korupsi yang ada justru digagas oleh birokrat, polits, dan juga penegak hukumnya sendiri. Adanya intervensi kekuasaan atau dalam kaitan kepentingan politis penguasa justru melemahkan penegakan hukum ketimbang ruhnya sebagai alat untuk mengatur.

Jika sudah seperti ini, memang sulit sekali mencari keadilan, kemanusiaan dan demokrasi. Seperti apa yang pernah disampaikan oleh Soedjatmoko yang menjadi fenomenal dan sebuah pesan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwasannya Demokrasi, Kontitusi, HAM, supremasi hukum tidak akan pernah tercapai jika tidak melibatkan komponen-komponen elemen sosial untuk mendorong dan mengawal proses-proses tersebut. Kelompok sosial yang mampu mengimbangi kekuasaan sepanjang sejarah umat manusia di dunia, hanya kelompok menengah atas yang memiliki tanggung jawab moral intelektual, khusunya dalam hal ini yaitu mahasiswa. Sejarah mencatatnya demikian, entah nasional maupun lokal. Mahasiswa memiliki peranan penting sebagai agen perubahan dan kontrol sosial dari kesewenang – wenangan, dan penindasan manusia terhadap manusia. Akankah torehan emas sejarah itu kembali berulang?

*Penulis adalah Epri Fahmi Aziz, Anggota Luar Biasa Lembaga Pers Mahasiswa Semua Tentang Rakyat (LPM SETARA) dan Penulis Lepas di Berbagai Media

Notes: Tulisan ini diambil dari berbagai sumber referensi, baik media cetak, elektronik, online, dan wawancara-wawancara kepada pelaku dan saksi sejarah.

Selasa, 02 Mei 2017

Opini: Pendidikan Sebagai Ajang Komersil

Opini, Setaranews.com - Era modernisasi tentang pendidikan sebagaimana sebagian kalangan menganggap bahwa sistem pendidikan kita saat ini telah terjebak pada praktik komersialisasi dan kapitalisasi. Telah terjadi mirkantilisme (perdagangan) pengetahuan di dalam pendidikan. Ilmu pengetahuan telah menjadi objek komersialisasi yang diperjualbelikan. Pertanyaannya kemudian adalah, betulkah sistem pendidikan kita telah terseret pada komersialisasi? Benarkah lembaga pendidikan kita kurang mendapatkan perhatian serius dan dikurangi subsidinya oleh pemerintah? Terakhir, benarkah dunia pendidikan kita telah terjangkit nalar kapitalis?

Pada hakikatnya makna pendidikan ialah “alat untuk memanusiakan manusia”, statement oleh Paulo Freire (tokoh pendidikan berkebangsaan brazil) ini berarti melalui pendidikanlah kita menjadi manusia yang seutuhnya, yaitu dapat mengenali diri kita sendiri dan fungsi kita dalam tatanan masyarakat yang ada hari ini sebagai makhluk sosial. Dan ini hanya dapat terwujud dari “pendidikan yang gratis, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan." Begitu pentingnya, karena dengan pendidikanlah sebuah bangsa bisa merdeka 100%. Hari ini kita lihat tempat-tempat pendidikan di Negara ini yang dulu katanya ingin membantu Negara dalam mencerdaskan bangsa kini sekarang sudah berorientasi profit yang terus menghisap darah dan keringat kita.

Setelah badan hukum pendidikan (BHP) tidak jadi disahkan maka timbul lagi suatu kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, yaitu Rancangan Undang-Undang perguruan tinggi (RUU-PT) yang sedang digodog di Senayan. Sebenarnya isi dari RUU-PT tidak jauh beda dengan BHP, hanya berbeda kemasan saja. Dan setelah kita analisis pasal demi pasalnya, maka setiap perguruan tinggi wajib untuk mandiri tanpa ada lagi dana bantuan dari pemerintah, dan pastinya perguruan tinggi akan membuka gerbang untuk para investor asing agar bisa membantu ke setabilitasan perguruan tinggi dan pastinya akan ada peningkatan untuk pembayaran uang untuk pendidikan, dengan kata lain pendidikan sudah seperti barang dagangan. Ini lah yang dinamakan komersialisasi pendidikan, di mana yang berhak mendapat pendidikan ialah orang yang mampu atau kalangan menengah ke atas. Pertanyaannya, bagaimana dengan orang kalangan bawah (anak dari buruh, tani, nelayan, dll)?. Apakah mereka tidak berhak mendapatkan pendidikan? Dan di mana amanah UUD 1945 yang katanya setiap bangsa Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan?.

Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa, pendidikan kita telah menyimpang dari hakikat pendidikan itu sendiri, dan telah menyimpang dari UUD yang telah disepakati seluruh rakyat Indonesia. Dalam praktek penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan kita mestinya berpedoman pada prinsip-prinsip: otonomi, akuntabilitas, transparansi, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, serta partisipasi atas tanggung jawab negara. Dengan prinsip-prinsip ini, pengelolaan sistem pendidikan formal di Indonesia ke depan, diharapkan makin tertata dengan baik, makin profesional dan mampu membuat satu sistem pengelolaan pendidikan yang efektif dan efisien untuk meningkatkan mutu, kualitas dan daya saing.

Peraturan sistem pendidikan nasional memang telah memberikan otonomi dan kewenangan yang besar dalam pengelolaan pendidikan pada masing-masing lembaga dan satuan pendidikan, baik yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun masyarakat. Pada tingkat satuan pendidikan, diberikan peluang adanya otonomi pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi. Otonomi di sini bermakna bahwa setiap lembaga pendidikan formal dituntut lebih memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik.

Otonomi pengelolaan pendidikan bukan berarti bahwa lembaga pendidikan harus membiayai dirinya sendiri. Melainkan tetap ada peran dan tanggung jawab pemerintah dan partisipasi dari masyarakat dalam pendanaannya. Sebab pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat yang wajib ditunaikan.

Berkaitan dengan masalah pendanaan pendidikan, mestinya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan pada lembaga dan satuan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat. Pendanaan pendidikan yang mesti ditanggung pemerintah mencakup biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal demi mencapai standar nasional pendidikan.
Bahkan, dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, pemerintah mestinya memilki kebijakan bahwa pendidikan dasar untuk tingkat SD dan SMP bebas dari pungutan. Sementara untuk pendidikan menengah tingkat SMA/SMK/MK dan pendidikan tinggi, pemerintah boleh mengambil sumbangan dari masyarakat seminimal mungkin. Peserta didik pada pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sebaiknya hanya ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya.
Bukti jelas, penyimpangan terjadi pada Kota Cirebon sendiri. Dua tahun kebelakang terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang telah mengalami snomali peran dan fungsinya. Panitia yang banyak memasukan para titipan dari anak pejabat, dan bagaimana bisa Standarisasi otak yang tidak mampu untuk masuk pendidikan berkualitas, mereka dipaksa oleh orangtuanya agar masuk ke dalam sekolah yang berkualitas. Maka yang terjadi bukan lagi anomali, melainkan output yang tidak akan maksimal dalam segi sumber dayanya. Penyimpangan dalam PPDB jelas, bukti nyata yang telah melanggar Konstitusi Negara. Artinya, mereka telah menggunakan asas komersil dalam tata kehidupan yang memanusiakan manusia, juga mereka telah membantu adanya gaya Pendidikan yang pragmatis dan antagonis.

Sejalan dengan itu, Komersil dalam dunia pendidikan sudah tidak lazim dan bukan baru-baru ini saja. Praktik daripada ajang komersil selalu terjadi dikala momentum tahun ajaran baru. Umumnya pada pendidikan yang berjenjang SMP, SMA/K, dan ranah Universitas. Tidak seharusnya dimomentum itu digunakan sebagai ajang komersil.

Untuk itu dimomentum Hari Pendidikan Nasional ini, baik kiranya agar Pemerintah yang dalam hal ini sebagai penyenggala pendidikan dapat membantu dalam hal pendidikan juga harus memikirkan kalangan kelas bawah urgensinya.
Penulis: Riski Surazat Nopandi

Fakultas Ekonomi Unswagati

Senin, 01 Mei 2017

Klise Unswagati Gandeng KLJI Cirebon Adakan Workshop Pada Peringatan KLJ Sedunia

Cirebon, Setaranews.com - Kelompok Studi Mahasiswa KLISE Fotografi (KSM KLISE Fotografi) Unswagati Cirebon dan Komunitas Lubang Jarum Indonesi (KLJI) cabang Cirebon menggelar Workshop Kamera Lubang Jarum (KLJ) di area Car Free Day (CFD) Jalan Siliwangi, Kota Cirebon.

Workshop tersebut dilaksanakan guna untuk memperingati Hari Kamera Lubang Jarum Sedunia atau yang dikenal dengan sebutan Word Wide Pin Hole Photography Day  2017, Minggu (30/4).

Ketua Pelaksana (Ketuplak) acara tersebut, Wulan mengatakan tujuan diselenggarakan workshop ialah untuk mengungkap sejarah, "Tujuannya sih lebih diutamakan untuk masyarakat setempat agar bisa tahu sejarah dari kamera lubang jarum tersebut, berikut cara pembuatan dan pencucian kertas hasil jepretannya," ujarnya saat ditemui oleh Setaranews.com.

Wulan juga menambahkan, KLJ diperingati setiap akhir bulan April, "Pada akhir bulan april kami selalu peringati, dan kebetulan sekali di tahun ini peringatannya jatuh di hari minggu, maka dari itu kami gelar di CFD, Siliwangi. Selain itu juga kami melakukan hunting foto bersama, gelar karya, dan membuat kamera bareng."

Di sisi lain, Ramadhan, selaku Ketua KLJI Cirebon, mengungkapkan acara ini merupakan kampanye terkait KLJ kepada masyarakat.

"Secara, jaman sekarang benar-benar dimanjakan dengan dunia yang serba instan. Perayaan ini juga ingin mengkampanyekan, bahwa barang-barang bekas bisa digunakan dan bernilai bendanya menjadi kamera seperti kardus bekas dan kaleng bekas,” ungkapnya.

Kemudian, Ray Bachtiar, selaku pelopor KLJ yang turut menghadiri acara tersebut memberikan harapan kepada masyarakat sekitar untuk berinovasi terhadap barang-barang bekas yang dapat dimanfaatkan menjadi media.

"Mudah-mudahan, dengan adanya kegiatan ini, bisa lebih mengenalkan kepada masyarakat tentang kamera lubang jarum dan bisa memanfaatkan barang bekas sebagi media kamera," tutupnya.