Senin, 17 Desember 2012

Buruknya RTH Kota Cirebon (Bagian Satu)

Seiring perkembangan zaman menuju era globalisasi. Berbagai program pemerintah telah dilakukan dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera, kondusif, dan seimbang. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan berbagai lembaga negara yang berkaitan dengan hal tersebut mulai membangun berbagai fasilitas infrastruktur, pelayanan masyarakat, akses publik, dan sebagainya. kesemua itu harus didasarkan dengan nilai-nilai keadilan sosial yang termuat dalam idiil pancasila dan Undang-undang yang berlaku.


Namun, sejalan dengan perkembangan dunia usaha pada umumnya, pembangunan yang berorientasi pada bisnis dan ekonomi di wilayah perkotaan masih belum seimbang dengan penataan ruang terbuka hijau. Di  daerah kota Cirebon misalnya, masih belum maksimal dalam menjamin ketersediaannya ruang terbuka hijau.


Luas Kota Cirebon adalah 3.913,20 Ha yang terdiri dari penggunaan lahan terbangun seluas 2.240,24 ha (57,25%) dan  lahan tidak terbangun seluas 1.750,48 ha (42,75%). Luas Kota ini mengalami penambahan dari sebelumnya diakibatkan oleh tingginya tingkat sedimentasi di sepanjang pesisir pantai Kota Cirebon


Peralihan Ruang Hijau Menjadi Bangunan Komersial

Di lihat dari wilayah kota Cirebon yang memiliki banyak ruas-ruas jalan di sisi kota, dan mulai merebaknya pembangunan tempat perbelanjaan. Seolah kita mulai melupakan peran dari ruang terbuka hijau yang sedianya untuk mengimbangi tingkat polusi udara di perkotaan, Karena pembangunan gedung-gedung konvensional tidak diimbangi dengan pembangunan tata ruang hijau yang akan bermanfaat untuk menstabilkan kondisi efek pembuangan gas buang dari mobilisasi masyarakat dan kegiatan pabrikasi lainnya.


Kota Cirebon yang merupakan kota penghubung antara provinsi Jawa Barat dengan Jawa Tengah memiliki aktifitas ekonomi yang tinggi. Jalur trans regional yang dilalui oleh kereta api di Stasiun Kejaksan, Pelabuhan Muara Jati Kota Cirebon sebagai Pelabuhan Internasional di Pesisir, Terminal Harjamukti, dan Bandara Cakrabuana di daerah Penggung, hal tersebut apabila tidak di imbangi dengan tata ruang hijaun yang baik akan menjadi faktor pemicu polusi udara.


Kondisi jalanan di kota Cirebon juga semakin melebar karena kebutuhan akan arus pengguna jalan, maka satu persatu pepohonan seperti di ruas jalan Dr Cipto Mangunkusumo sedikit demi sedikit menghilang karena ditebang. Padahal, penebangan pohon tersebut selain dapat meningkatkan suhu udara di daerah sekitar lokasi, juga dapat mengakibatkan lambatnya resapan air di sekitaran lokasi (drainase). Hal ini dapat kita amati dari menurunnya ketinggian tanah di sekitaran jalan depan Cirebon Super Blok.


Saat ini, tren terbaru pada tahun 2012 adalah semakin menjamurnya pembangunan gedung-gedung komersial lainnya yang berdiri di atas tanah hijau, yang merupakan lahan yang diharapkan akan menjadi daerah resapan air, seperti di kawasan Bima yang dibangunnya (Giant Mall), dan kawasan barat Terminal Harjamukti, Pembangunan perumahan Pulau Intan di sekitaran utara Gedung Negara, kawasan by Pass yang dibangunnya Hotel Aston, dan lain sebagainya. Pembangunan komersial tersebut tentu akan merubah fungsi daerah resapan air dan daerah penyeimbang udara, menjadi rusak. Kerusakan keseimbangan system hijau di kota Cirebon dapat memicu bencana banjir yang diakibatkan oleh hilangnya daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Benar saja, akibat berkurangnya area drainase di Cirebon pernah terjadi banjir di awal tahun 2012, dimana saat itu 60 Persen wilayah Kota Cirebon terendam air bukan dikarenakan pasang air laut. Namun karena sampah yang menumpuk, saluran drainase yang menyempit, dan hilangnya fungsi lahan hijau di Kota Cirebon.


Maka dari itu, perlunya perlindungan terhadap keberadaan pepohonan sebagai pelaksanaan amanat UU tentang tata ruang hijau di dalam kota. Perlindungan terhadap kawasan lahan hijau bukan hanya atas perlindungan pepohonan saja, tetapi perlindungan juga atas perusakan batang pohon yang seringkali dirusak oleh papan iklan komersial yang sengaja menempatkan iklannya di batang tersebut dengan paku. Sehingga kesehatan dan keasrian dari pohon tersebut menjadi kurang baik. Hingga saat ini, sepanjang pinggiran jalan masih banyak dijumpai papan iklan terpaku di batang-batang pohon yang akhirnya dapat mengurangi nilai estetika bagi yang melihatnya.



Santosa

Mahasiswa FKIP - Ekonomi

Unswagati Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar