Selasa, 18 September 2018

Opini: Diburu Hasrat

Opini, Setaranews.com - Secara materi hasrat tak terlihat indra mata. Tapi hasrat dapat bekerja sedemikian dahsyat. Kecepatan kerjanya dalam hitungan detik. Bahkan hasrat dapat melumpuhkan berbagai oraginsme vital tubuh lainnya seperti otak.  Tak lagi memperhitungkan baik dan buruk, kebutuhan atau keinginan, jangka panjang atau bersifat sangat sementara.

Hasrat dapat berinvasi dalam berbagai sektor dan sisi kehidupan. Seperti hasrat terhadap kuasa. Hasrat terhadap belanja. Hasrat terhadap makanan. Hasrat untuk mengendalikan dan menguasai manusia lainnya. Bekerja di semua sektor: politik, gaya hidup, kehidupan rumah tangga, bahkan percintaan.

Hasrat adalah sesuatu yang paling subtil-yang ada pada manusia  yang harus dikelola  secara baik oleh kesadaran. Hasrat harus ditempel oleh kekuatan moral dan etik. Agar dapat terus diarahkan pada tujuan-tujuan luhur manusia. Baik untuk dirinya sendiri maupun untuk kebaikan bersama. Dalam bidang apapun, kebudayaan, politik, rumah tangga, bahkan percintaan.

Implikasi Hasrat

Karena kita tahu, impilkasi hasrat begitu keras. Pada bidang politik, hasrat pada kuasa sulit sekali diarahkan pada jalur keadilan. Bahkan benturan antara moral politik dan egoisme individu itu seperti layaknya antara baja besi dan lengan tangan. Yang berakibat pada lebam, bonyok, hancur dan babak belurnya lengan tangan. Sungguh tak seimbang secara materi.

Kita menyaksikan hal itu dalam berbagai kebijakan publik, seperti keberpihakan anggran dan lain sebagainya.  Hasrat pada egoisme individu dan kelompok selalu tiba lebih dulu dibanding untuk kebaikan bersama. Dan sialnya, hal itu terkadang tidak dibarengi dengan argumentasi yang kokoh. Semua asal  bunyi, karena memang modalnya cuma dua, satu lidah tak bertulang, dua rasa tak tahu malu.

Dan pada moment lebaran, kita menyakiskan betapa hasrat begitu liar  berselancar. Manusia diburu hasrat secara habis-habisan. Sebelum uang ludes dan pusat perbelanjaan tutup, manusia memburu berbagai keinginnnya tanpa mempertimbangkan bahwa apa yang dibeli merupakan sesuatu yang penting sebagai kebutuhan atau sesuatu yang hanya disodorkan oleh system indutstri yang—berupaya menghisap laba sebanyak-banyaknya.

Pada suasana itu, di hadapan industri kesadaran tampak lumpuh tak berdaya. Karena pada moment itu nyaris tak ada suara dari seorang eduktor publik untuk memberikan pencerahan terhadap bijaknya dalam berkonsumsi. Sebaliknya, ruang public dikuasai iklan. Padahal kita tahu, betapa destruktifnya konsumersime pada system ketahanan ekonomi.

Karena begitu mobailenya hasrat pada semua ruang. Hasrat pun menggangu aktivitas pertumbuhan psikologis manusia.  Hasrat merangsek masuk pada sektor domestik dan privat, seperti kehidupan rumah tangga dan percintaan anak-anak muda. Hasrat pun berhasil mengusik apa yang dimaknai sebagai kesetiaan dan komitmen dalam berhubungan. Implikasi sosialnya, hasrat pun terus memproduksi kecemasan banyaknya manusia yang memutuskan untuk menjalin hubungan, entah itu pernikahan atau pacaran semata.

Bahkan salah satu pasangan bisa begitu tergoda pada yang lain hanya karena sebuah alasan yang tebalnya seukuran kulit manusia dan setipis kain. Akan tetapi, impilkasinya dapat menghancurkan sebuah hubungan. Yang akhirnya menghanguskan mimpi dan cita-cita—yang semula dibangun bersama. Yang selanjutnya dapat mengorban anak yang awalnya dilahirkan atas nama cinta dan komitmen yang agung.

Mengelola Hasrat

Begitulah hasrat bekerja sedemikian dahsyat dalam semua ruang, dari yang publik sampai ke yang privat, dari aktivitas psikologis sampai ke sosial. Oleh karena itu, hasrat harus dikelola sedemikian baik dan tertib. Hasrat harus terus disuntik oleh semacam pengetahuan. Demi menumbuhkan kesadaran. Yang selanjutnya mampu memproduksi kekuatan moral dan etik yang teguh pada manusia.

Hal ini bertujuan untuk melahirkan peradaban manusia yang menjungjung nilai kebaikan bersama. Bahwa atas nama hasrat, manusia tak boleh bersikap berutal dan semaunya, dan ini berlaku pada semua jenis sisi kehidupan, baik politik, kebudayaan, rumah tangga, bahkan percintaan.  Karena kebahagian dan kemewahan hidup tak bisa diperoleh dengan menyakiti yang lain.

*Penulis adalah Kris Herwandi, Alumni Mahasiswa Unswagati Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar