Selasa, 18 September 2018

Opini: Dominasi Negara Pertama dan Sistem Pendidikan Indonesia di Dalam Cengkramannya

Opini, Setaranews.com - Tergetar berdegup kagum melihat pemandangan di tiap-tiap daerah mulai dari tingkat kabupaten, kota hingga provinsi atas derasnya laju pertumbuhan pembangunan institusi-institusi pendidikan. Kelahiran wadah-wadah pendidikan ini yang akan melahirkan pula manusia-manusia kompeten membangun peradaban masyarakat. Perkembangan dunia pendidikan ada dan haruslah selaras pula dengan perkembangan kultur sosio-ekonomi masyarakat Indonesia.

Berdasarkan data dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) pada tahun 2017 jumlah unit perguruan tinggi yang terdaftar mencapai 4.504 unit. Angka ini didominasi oleh Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang mencapai 3.136 unit sedangkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) hanya 122 unit. Sisanya adalah perguruan tinggi agama dan perguruan tinggi dibawah kementerian atau lembaga dengan sistem kedinasan. Dan daerah yang sangat pesat pertumbuhan institusi pendidikan tingginya adalah Jawa Barat, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) grafik dari tahun 2003-2014 mencapai 1.605 perguruan tinggi.

Perlu diingat pula, pendidikan di negara berkembang seperti Indonesia tak bisa dipungkiri sangat terpengaruh dan bisa dikatakan berkiblat pada perkembangan dunia pendidikan Barat. Bahkan hubungan negara berkembang seperti Indonesia bukan hanya pada persoalan pendidikan melainkan pula di bidang militer, politik, ekonomi, dan aspek lainnya. Hal ini menempatkan negara maju menjadi dominan dalam berbagai aspek di tingkat internasional. Negara maju atau bisa dikatakan pula negara pertama menjadikan dirinya sebagai contoh parameter keberhasilan suatu bangsa, sehingga segala sistemnya dianggap dan dirasa perlu diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia untuk mencapai taraf perkembangan seperti yang telah dicapai negara maju.

Menurut M. Dawam Rahardjo pola hubungan seperti ini disebutnya sebagai structural domination yang ditandai oleh gejala hubungan dominasi tidak langsung antara pusat-pusat metropolitan dengan kota-kota satelitnya atau antara pusat dan pinggiran pada tingkat global maupun nasional. Hubungan tersebut tidak berada dalam posisi dan suasana yang saling menguntungkan melainkan menjadikan hubungan yang eksploitatif oleh negara maju. Memang seolah-olah negara berkembang ini perlahan merangkak maju, namun pada kenyataannya semakin tertinggal dari segi apapun.

Dominasi luar tidak akan berkaitan apabila tidak didukung dan ditunjang oleh kelompok-kelompok berkepentingan di dalam masyarakat negara berkembang itu sendiri. Mereka yang berkepentingan membalut kepentingannya dengan dalih pembangunan dan kemajuan negara. Dengan demikian, kaitan struktur global tidak hanya dalam aspek sosio-ekonomi, pendidikan, tetapi juga politiknya yang bisa mempengaruhi kebijakan-kebijakan dan peraturan di suatu negara berkembang.

Melihat sistem di negara berkembang yang saling berkaitan dengan sistem yang diciptakan dominasi global memperkaya kesadaran kita bahwa masalah-masalah ketimpangan sosial, ekonomi, kebodohan dan kerancuan kebijakan dilahirkan bukan hanya didapat dari faktor internal negara berkembang itu sendiri melainkan juga dari pengaruh eksternal negara berkembang tersebut. Dan semakin disadari dominasi global sangat berpengaruh kepada setiap sendi kehidupan negara berkembang seperti Indonesia termasuk sistem pendidikannya.

Sistem pendidikan di Indonesia sendiri dewasa ini pada dasarnya bukanlah refleksi kebutuhan masyarakat Indonesia melainkan sebuah sinkronisasi terhadap sistem pendidikan dunia global. Sehingga sangat tidak arif sekali sistem pendidikan diciptakan hanya untuk mendukung dan berupaya mensejajarkan diri dengan taraf yang telah diciptakan negara maju, jika seperti ini yang hadir adalah kompetisi untuk mencapai taraf kemajuan sistem itu sendiri padahal krisis fundamental bangsanya sendiri belum terselesaikan.

Lalu, apabila kita berbicara pendidikan adalah modal suatu bangsa untuk mencapai cita-citanya yang luhur maka haruslah ditinjau kembali sistem pendidikan suatu bangsa tersebut sampai ke akar-akarnya. Serta haruslah merubah pula stigma bahwa pendidikan bukanlah hanya sebagai bagian dari pembangunan, tetapi pula sebagai sarana utama untuk menyelamatkan bangsa dari kepincangan struktur sosio-ekonomi.

Realitas di negeri ini menanggapinya secara berbeda pula. Sistem pendidikan di Indonesia malah berdiri diatas krisis fundamental bangsanya. Dan tujuannya hanya berdasarkan kepada penunjang pembangunan negara di tingkat nasional. Tujuan pendidikan di Indonesia tidak menyentuh ranah sosio-ekonomi masyarakat dan hanya terbatas sebagai pelengkap agenda pembangunan. Dari sini pula terlihat, sangat terkesan sekali pendidikan di Indonesia hanya ingin menciptakan citra masyarakat modern seperti yang ada di negara maju.

Dalam proses pelaksanaannya, proses pendidikan di Indonesia benar dibutakan terhadap realitas yang ada di dalam masyarakat. Dibutakan disini maksudnya adalah mereka yang terdidik tidak sadar bahwa tujuan pendidikan sejatinya adalah untuk membebaskan dan memerdekakan manusia dari kemelaratan seperti yang ditulis Paulo Freire dalam Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan (1976). Mereka yang terdidik hanya berorientasi pada kemajuan dan kemerdekaan dirinya sendiri. Kaum terdidik dewasa ini banyak memikirkan bagaimana caranya agar bisa meneruskan hidup dengan menjadi robot-robot pekerja. Dan menganggap setelah meneruskan hidup menjadi tenaga pekerja perusahaan asing atau nasional ataupun perusahaan patungan asing-nasional adalah menjadi bagian dari kemajuan bangsa atas nama pembangunan.

Mereka yang terdidik tidak sadar bahwa sistem pendidikan yang dianggap sebagai bagian dari pendidik hanya menghasilkan pula jebolan-jebolan berpendidikan yang membentuk suatu lingkaran baru dalam masyarakat. Mereka yang berpendidikan adalah minoritas dibandingkan dengan mereka yang menjadi mayoritas yaitu mereka yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan. Dengan kata lain, kaum terdidik menjadi aristokrat baru dan memonopoli ilmu pengetahuan itu sendiri. Rantai kehidupan seperti ini terus berlanjut, dan menurut Freire ini disebut sebagai Culture of Silence (Kebudayaan Bisu).

Kebudayaan yang buruk seperti ini menciptakan jurang pemisah yang semakin lebar antara yang berpendidikan dan tidak. Yang berarti sistem pendidikan kita ini mengandung unsur penindasan dan melangsungkan kemiskinan structural. Sistem pendidikan kita bukanlah refleksi atas gejala-gejala sosio-ekonomi masyarakat Indonesia melainkan refleksi atas persaingan dan pertautan dunia global.

Kini, haruslah mereka yang terdidik memilih apakah ingin terus melangsungkan kebudayaan bisu seperti yang diungkapkan Freire atau menjadikan pendidikan sebagai media untuk membebaskan dan memerdekakan manusia dari kemelaratan?

*Penulis adalah Ginanjar Nitimiharjo, Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Sosialis (GeMSos) Cirebon

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar