Minggu, 06 Juli 2014

Marjinalisasi: Ketidakadilan Sosial Bagi Masyarakat Adat

MARJINALISASI : KETIDAKADILAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT ADAT


DI INDONESIA


Oleh : Danny Zulkarnaen


Ruang publik di Indonesia menyimpan begitu banyak ketidakadilan sosial. Salah satu korban dari marjinalisasi yang sangat akut yang terjadi di negara ini, eksklusi dan misrepresentasi dalam ruang publik di Indonesia dialami oleh komunitas masyarakat adat. Sampai saat ini pengakuan negara terhadap eksistensi masyarakat adat dan kedaulatan untuk mengelola sumber daya yang dimiliki oleh daerahnya masih menjadi persoalan utama yang belum dapat dipecahkan di Indonesia. Persoalan ketidakadilan redistributif dan keadilan rekognitif saling berjalan tumpang tindih mengancam eksistensi masyarakat adat.

Salah satu persoalan utama yang dihadapi oleh masyarakat adat saat ini adalah tidak adanya  pengakuan negara atas kelembagaan masyarakat adat dalam mengelola sumber daya yang ada di lingkungan mereka. Dalam perspektif keadilan sosial dari Nancy Fraser mengungkapkan persoalan utamanya bukanlah semata-mata tidak adanya pengakuan terhadap identitas kelompok dengan segenap tradisi dan pengetahuan lokal masyarakat adat semata.

Namun dengan demikian pertama-tama adalah bahwa kelembagaan masyarakat adat dengan segenap kearifan lokalnya harus dihormati karena penghormatan atas pengetahuan lokal dan kode-kode kultural tersebut memberi jalan bagi pemenuhan keadilan sosial bagi tiap-tiap orang sebagai anggota komunitas yang disebut “masyarakat”.

Saat ini sungguh sangat ironis yang dapat kita lihat, kearifan lokal dari pengetahuan dan tradisi masyarakat adat tengah dikepung oleh dua kekuatan besar yaitu oleh kekuatan negara yang mendesak modernisasi-deeplomentalisme yang memaknai pembangunan secara monolitik dan kepentingan ekonomi pasar bebas yang hanya mengejar keuntungan seluas-luasnya (profitabilitas), sangat tidak sepadan dengan apa yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat adat, hanya mendapat mentah dan pahit buah hasil ekonomi pasar bebas.

Sumber Daya Alam dan Masyarakat Adat

Pengelolaan sumber daya alam yang berasal dari kelembagaan masyarakat adat dan berdimensi sosial, budaya dan spiritualisme dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan pragmatisme ekonomi, politik dan keuntungan material baik dari pasar maupun negara. Kekuatan besar tersebut adalah negara dan ekonomi global, sehingga sangat mungkin 2-10 tahun mendatang sebuah pranata sosial, budaya dan spiritual akan tersingkir dari negara ini.

Persoalan kalahnya aspirasi masyarakat adat ketikan berhadapan dengan dominasi kepentingan pasar nampak jelas dalam kasus benturan antara korporasi global freepot dengan dengan Suku Amungme yang ada di Papua Barat. Suku Amungme melihat gunung-gunung dan segala isinya sebagai manifestasi ibu pertiwi. Alam menjadi bumi tempat mereka hidup, bercocok tanam dan mendistribusikan kekayaan alam untuk kelompok mereka sendiri. Sementara bertolak-belakang dengan kesadaran Suku Amungme, kepentingan korporasi global freeport memahami memahami eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam semata-mata keuntungan material yang berlimpah atas nama pembangunan (Airlangga pribadi 2009:33).

Dalam konflik tersebut negara yang semestinya menimbang, mendengarkan dan ikut memperjuangkan kepentingan publik (masyarakat adat), justru memihak pada kepentingan korporasi global dengan memperpanjang kontrak karya dengan PT Freeport dan menolak usulan peninjauan ulang dari publik.

Di sini negara telah kehilangan peran sebagai penjaga kesejahteraan umum dan sebagai institusi yang harus menjamin keadilan sosial. Peran negara sebagai wasit yang adil dan melindungi masyarakat dengan menjaga eksistensi kehidupan mereka terbukti tidak dipenuhi dalam kasus pengabaian terhadap kebutuhan masyarakat adat. Eksistensi pengetahuan lokal masyarakat adat yang berpotensi mendorong realisasi keadilan sosial justru terpinggirkan oleh kekuatan modal dan kepentingan ekonomi serta kekuatan negara yang pro asing.

Lagi-lagi ruang publik Indonesia pasca reformasi menunjukkan anti-demokrasi padahal menggunakan politik demokrasi, indah alamnya busuk politiknya itulah negara kita Indonesia. Pemain dan pelaku sistem politik di negara ini yang seharusnya dibrangus dan dimusnahkan dari bumi Indonesia. Bukan sistem demokrasinya yang  diberangus. Tetapi mereka para penguasa sistem politiknya yang bertingkah seperti A***** padang pasir yang tak pernah kenyang, yang wajib dibumihanguskan dari bumi pertiwi Indonesia.

Demokrasi proseduralis yang diperjuankan terbukti hanya menyembunyikan persoalan ketidaksetaraan dan penistaan terhadap rasa keadilan bagi tiap warga negara Indonesia. Pelaku sistem yang tidak memiliki moralitas sebagai manusia yang adil dan bijaksana. Ketika para politik memiliki moral pancasilais yang sebagaimana dicita-citakan pancasila maka akan berjalan sistem politik sebagaimana mestinya. Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Penulis adalah mahasiswa semester VII Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Ekonomi, Universitas Swadaya Gunung Jati yang saat ini menjabat sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa FKIP dan Ketua Aktivis Bina Masyarakat.

***


Redaksi menerima tulisan seperti naskah; opini, essai, puisi, pertanyaan umum (surat dari pembaca), dan cerita pendek dari alumni, mahasiswa, dan dosen Unswagati.

Kirimkan naskah Anda ke: lpm.setara@gmail.com dan sertakan identitas diri berikut nomor kontak handphone. Bagi yang naskahnya naik ke www.setaranews.com, kami sediakan bingkisan menarik dari Redaksi LPM Setara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar