Rabu, 21 Februari 2018

Opini : Sebuah Refleksi

Opini, setaranews.com - Masa jabatan menjadi dekan belum habis, tapi sudah dilantik menjadi rektor. Luar biasa, hal inilah yang banyak orang bicarakan. Bahkan ada yang menganalogikan prestasi ini seperti layaknya seorang Jokowi, belum kelar jadi Gubernur Jakarta sudah langsung jadi Presiden.

Konsekuensinya, asumsipun menjadi liar. Karir jebatan yang sedimikian kilat menimbulkan banyak presepsi, dari pribadi yang memang memilki ambisi, pribadi yang memiliki kompetensi, sampai pada pribadi yang hanya sebatas titipin dari yang paling berkuasa di universitas.

Tak berhenti di situ, perjalanan menuju kursi nomor satupun sama sekali tanpa hambatan. Beliau adalah calon satu-satunya pada Pemilihan Rektor tahun 2017. Tak ada yang berani menantangnya. Semua manut pada pilihan tunggal.

Mungkin proses pemilihan ini dianggap lebih buruk dibanding masa orde baru. Karena dulu Soeharto selalu memiliki lawan meski cuma bohong-bohongan. Tapi di sini, tidak sama sekali. Menang tanpa ada kotak suara.

Hal ini penting dibahas karena kepemimpinan tidak sembarang orang bisa raih dengan mudah. Jalannya terjal, harus melalui ujian dan tempaan yang sedemikian keras. Apalagi menjadi orang nomor satu di lingkungan akademis. Dimana satu-satunya peralatan yang berlaku adalah pikiran. Ujiannya adalah karya ilmiah, visi, ide, gagasan, daya tahan terhadap argumentasi dan kekebalannya terhadap kritik.

Tapi, sangat disayangkan, momentum Pemilihan Rektor beberapa waktu lalu sungguh tanpa euporia. Tak ada persaingan. Tak ada konstetasi gagasan. Tak ada ujian dan hantaman yang berarti terhadap visi yang disodorkan. Tak ada ujian etik dan moral secara terbuka. Semua berjalan kondusif seperti layaknya jargon pada masa orde baru.

Akibatnya kita mengalami defisit pergulatan ide dan konsepsi. Tak ada ketajaman analisis karena minimnya perselisihan argumentasi. Semua berjalan searah, seiya dan sekata. Tak ada intrupsi atas apa yang ditawarkan dan diedarkan.

Sebaliknya, tak sedikit persoalan yang ada di dalam kampus itu sendiri. Dan persoalannya menjadi seperti begitu permanen dari tahun ke tahun. Seolah kita menghadapi tembok yang begitu kuat dan tinggi. Sulit untuk dijebol dan dilompati. Atau seperti terjebak pada labirin, sulit untuk mencari jalan keluar.

Seperti tak meningkatnya mimbar-mimbar ilmiah. Tak optimalnya kerja-kerja organisasi kemahasiswaan. Buruknya kualitas pengajar. Kurangnya rangsangan iklim inteleketual. Minimnya transparansi pengelolahan anggaran kampus. Menurunnya minat mahasiswa baru dalam beberapa tahun terakhir. Kejujuran kampus terhadap status menjadi PTN yang belum dijawab sampai saat ini. Dan banyak lagi hal-hal yang tak bisa diterangkan satu persatu.

Dan setidaknya suasana itu terpelihara sampai dengan saat ini. Tak ada yang berupaya untuk membuka kotak pandora dengan tujuan mengetahui sebanyak-banyaknya persoalan yang dihadapi. Bahkan tiba sampai pada momentum Pemilihan Rektor beberapa waktu lalu. Akibatnya secara diam-diam keadaan ini dinikmati atas nama kondusifitas bagi sebagian pihak.

Untuk itu, persoalan tersebut tak bisa dijawab dengan sebatas jargon. Dengan memasang puluhan sepanduk di mana-mana. Bagi-bagi brosur. Jualan retorika ke sana kemari sebagai panggung promosi tapi faktanya jauh panggang dari api.

Ruangan itu memerlukan energy. Untuk itu memerlukan gejolak demi menciptakan efek domino terhadap gairah sivitas akademik dengan tujuan mengubah zona nyaman menjadi zona yang penuh dengan kemungkinan terhadap perubahan yang lebih baik.

Dalam keadaaan semacam ini, kita tak bisa terus menerus alergi terhadap gejolak. Karena bagaimanapun pikiran membutuhkan rangsangan untuk memantik sebuah perselisihan demi terciptanya transaksi gagasan satu sama lain.

Selain ini sebuah kekayaan intelektual, hal demikian pun merupakan sebuah kemewahan dari apa yang disebut dengan kebebasaan akademis.

Penulis : Kris Herwandi
Alumni Unswagati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar