Senin, 06 Juli 2015

Ramadhan Pertama dan Terakhir Aji

Cerpen, Setaranews.com-  Marhaban Ya Syahru Ramadhan, Marhaban Syahrushiyaam…       

Terdengar olehku suara Aji bersama teman-temannya yang sedang berlomba nasyid dalam rangka penyambutan bulan suci Ramadhan. Suara Aji yang paling dominan di antara mereka, walaupun aku tak melihat secara langsung penampilan putra tunggalku bersama teman-temannya itu, namun aku cukup merasa terhibur dan bangga karenanya.

“Ran, itu Aji anakmu ya? Bagus sekali suaranya.” Puji Rasta, rekan kerjaku sebagai kuli bangunan. Aku hanya tersenyum simpul mendengarnya, sudah banyak yang berkata seperti itu. Aji memang memiliki suara yang khas dan lembut, suaranya mampu mendamaikan hati bagi siapa saja yang mendengarnya.

Aji Arwilah nama lengkapnya, bocah berumur 7 tahun yang sudah tidak lagi mendapat kasih sayang dari seorang ibu sejak umur 3 tahun. Ibu Aji yang masih berstatus istriku mencoba mencari peruntungan di negeri orang, Saudi Arabia lebih tepatnya. Tapi sampai sekarang ia tak ada kabar berita. Tak pernah lagi ia mengirimkan uang atau sekedar berkirim surat ke Indonesia, tercatat sejak bulan ke 7 ia bekerja di sana sebagai TKI. Sampai sekarang Aji kecil masih selalu bertanya padaku tentang ibunya, kadang aku sendiri sampai harus berbohong demi menyenangkan hati Aji. Aku selalu berdoa pada Allah agar Aji diberikan yang terbaik dalam hidupnya karena aku sangat menyayangi Aji lebih dari apapun di dunia ini.

***

“Aji, mau sampai kapan menunggu ibu pulang? Ayo masuk.” Ajakku pada Aji yang sedang duduk di serambi depan sambil menenteng pialanya, ia menang juara 1 pada perlombaan nasyid tadi siang. Aji tetap menggeleng tanda tak mau. Begitulah setiap sore, Aji akan selalu duduk di serambi depan hanya untuk menunggu ibunya pulang. Usaha yang sudah dapat kupastikan akan berujung sia-sia karena ibunya tak mungkin akan kembali lagi.

“Aji belum shalat Maghrib? Ayo shalat dulu.” Aji bangun dan masuk kerumah. Seperti itulah Aji jika masalah agama, walaupun umurnya masih terbilang sangat kecil tapi jika sudah menyangkut urusan tersebut ia tak mau sampai tertinggal. Aku bersyukur Aji sangat getol mempelajari agama pada ustadz di desaku, mengingat pelajaran agama yang kudapat sangat minim. Aku belum terlalu fasih membaca Al-Qur’an dan biasanya Ajilah yang mengajariku, sungguh aku sangat bangga memiliki anak seperti dia.

“Ayah, nanti malam bangunkan Aji sahur ya Aji mau ikut puasa.” Subhanallah.. disaat teman-teman sebayanya yang masih belum mau untuk ikut berpuasa ia malah mengajukan diri untuk berpuasa. Sebenarnya aku ingin mengajaknya berpuasa demi mengurangi jatah jajan Aji tetapi Alhamdulillah Aji sendiri sadar ingin berpuasa. Dan inilah kali pertama Aji ikut berpuasa Ramadhan.

“Iya nak..”

***

Hari pertama puasa, sekolah Aji diliburkan untuk memperingati bulan suci ini. Hari ini pun aku sedang tidak bekerja karena sang pemilik bangunan sedang keluar kota. Hari kosong ini kumanfaatkan untuk belajar membaca Al-Qur’an, oh.. tidak bahkan aku belum sampai jenjang membaca Al-Qur’an aku masih sampai tahap membaca Iqro’ jild 6.

“Minal immanan watajida..”

“Ayah bacanya jangan immanan watajida, ini bacaan idgham bighunnah, tanwan bertemu dengan wawu. Seperti yang sudah Aji ajarkan minggu lalu yah..” Oalah.. lihat betapa pintarnya Aji, dan ya aku ingat sekarang bacaan idgham bigunnah yang sudah Aji ajarkan minggu lalu, aku tersenyum lalu cepat-cepat memperbaikinya.

“Minal immanawwatajida..”

Sudah jam 11 siang, itu tandanya sudah 3 jam aku belajar membaca Iqro’ bersama Aji dan sekarang Aji pamit padaku untuk pergi ke Musholla dekat rumah. Baru ketika selesai shalat Ashar ia pulang ke rumah. Melihat anak-anak lainnya yang selalu dimanjakan ketika berbuka puasa, aku pun juga ingin memanjakan Aji.

“Ji.. mau makan pakai lauk apa? Mau es buah?” tanyaku pada Aji walaupun aku sadar kantungku sangat tipis untuk diambil isinya.

“Tidak yah, hehe Aji mau makanan yang murah saja yah.” Aku tersenyum tipis betapa aku bersyukur mempunyai anak seperti Aji.

***

Hari demi hari terlewati dan ini merupakan hari kelima di bulan Ramadhan sedangkan aku masih belum mulai bekerja lagi dikarenakan sang pemilik bangunan masih berada di luar kota dan baru kembali nanti siang. Aku merogoh kantung celanaku berharap ada uang yang tersisa namun nihil. Aku tak mendapati lembaran rupiah dan yang kudapati hanyalah selogam koin bernominal lima ratus rupiah dan dua logam koin bernominal dua ratus rupiah, sungguh miris sekali. Aku melirik kearah Aji yang masih tertidur pulas, lebih baik aku kembali tidur dan berpura-pura lupa akan sahur.

“Ayah.. bangun yah. Sebentar lagi imsyak.” Teriak Aji setengah jam sesudah aku kembali terlentang di tempat tidur.

“Oh, iya sebentar nak.” Aku berlalu menuju dapur menatap nanar pada uang recehku dan berpura-pura keluar untuk mencari makan.

“Ayah mengapa baru pulang? Imsyak sudah setengah jam yang lalu.” Tanya Aji sekembalinya aku kerumah.

“Maaf ji, ayah mencari makan tapi hari ini banyak yang tidak berjualan.” Ucapku berbohong.

“Tidak apa-apa yah, Aji tetap puasa.” Ucap Aji. Sebenarnya aku mengharapkan Aji agar tidak berpuasa hari ini, toh nanti siang aku kembali bekerja dan pasti aku akan mendapat uang untuk makan Aji. Tapi ya sudahlah Aji keras kepala tentang urusan agama.

***

Pedih. Satu kata yang tepat untukku ketika melihat tubuh mungil Aji harus mengangkat batu-batu itu. Hari ini ia ikut aku untuk membantu bekerja sebagai kuli bangunan. Aku takut ia tidak kuat menghadapi teriknya matahari siang ini dan terjalnya bebatuan itu, mengingat ia masih keukeh untuk berpuasa.

“Aji pulang saja nak, Aji kan puasa.” Ucapku lembut sambil menepuk pundak Aji tapi Aji tetap menggeleng tanda tak mau. “Ji, ayah terima surat dari ibu kemarin. Katanya ibu akan pulang dalam beberapa hari ini, Aji lebih baik pulang mungkin saja ibu pulangnya hari ini. Tunggu ibu saja di rumah ya.” Ucapku lagi dengan kebohongan dan penyesalan dalam dada, tapi melihat binar ceria di mata Aji aku seperti tersihir ikut senang. Kebahagiaan Aji adalah seribu kali kebahagiaanku.

***

Hari ini aku pulang lebih awal dari biasanya, aku yakin Aji sedang menungguku di serambi depan. Sambil menenteng bungkusan berisi nasi dan lauk ayam kecap kesukaan Aji, aku berjalan riang. Hari ini aku sengaja membelikan makanan istimewa untuknya. Setibanya di rumah, kulihat rumahku kosong tapi aku tidak memiliki prasangka buruk sama sekali aku malah mengira Aji sedang di musholla dekat rumahku. Akupun menunggu Aji pulang sambil membaca koran harian yang kudapat dari mandorku.

“Ran, katanya istrimu hari ini pulang ya? Mana dia?” Tanya Rasta temanku yang sedang berjalan lewat di depan rumah.

“Kata siapa? Haha.” Menurutku itu adalah pertanyaan bodoh, istriku tidak mungkin secara tiba-tiba bisa pulang dan ingat anak-suaminya.

“Lah, kata Aji anakmu. Dia sampai menyusul ke bandara.” Aku langsung tersadar, Aji. Mana anakku? Benarkah ia menyusul ke bandara? Aku tak bisa berfikir lagi, keadaanku sangat kalap waktu itu dan segera kuberlari menyusul Aji ke bandara. Tuhan.. selamatkanlah Aji pintaku di tengah rasa khawatir yang menyelimuti hati dan fikiranku saat ini.

Empatpuluh lima menit kemudian aku sampai di bandara, langit sudah petang dan adzan Maghrib pun sudah tigapuluh menit yang lalu dikumandangkan tapi aku belum menemukan sosok Aji. Aku dan Rasta berpencar mencari Aji berharap kami dapat menemukannya dengan keadaan baik-baik saja.

Sudah satu jam kami mencari Aji, namun ia masih belum ditemukan. Aku mengitari pelataran bandara yang mulai lengang, dan.. Astaghfirullah…

“Aji!!!” Aku berteriak memanggil sesosok yang sedang terlentang di pinggir jalan, tangannya tersampir memegangi bagian perutnya sedangkan wajahnya pucat sepucat mayat. Sosok mungil itu tetap tak menjawab dan ketika kurasakan detak jantungnya yang sudah tak lagi menampilkan secercah harapan kehidupan, aku seperti terhantam batu-batu terjal yang setiap hari kupikul, sakit rasanya. Ribuan godam yang seakan memukulku, pedih rasanya.

Ya Rabb.. mengapa engkau berikan aku cobaan berat seperti ini, diselimuti rasa bersalah karena kematian anakku sendiri..

Ya Rabb ampunilah aku yang tak bisa menjaga amanahmu dengan baik, yang tak bisa menjaga mutiara terindah yang pernah Engkau beri..

Ya Rabb aku bersimpuh didepan-Mu, memintakan ampun untukku dan Aji anakku, terimalah Ia di kerajaan sorgamu..

Aji anakku.. maafkan ayah yang belum bisa menjadi ayah terbaik bagi Aji, maafkan ayah atas semua yang kau rasa bersama ayah.. Maafkan kebohongan ayah yang membuatmu celaka, maafkan Ayah, maafkan Ayah Aji.. Pergilah nak, di sana engkau akan jauh merasa lebih baik dari pada hidup bersama ayah di sini yang hidupnya dipenuhi kesusahan, terimakasih telah menjadi mutiara terindah yang tak ternilai harganya dan kaulah harta termahal yang ayah punya.

Selamat Jalan Aji Arwilah anakku tersayang..

 

Penulis : Anisa Mahasiswa Tingkat Satu Fakultas Ekonomi Unswagati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar