Jumat, 05 Februari 2016

Cirebon Bukan Kota Tilang

Opini-setaranews.com Akhir akhir ini media sosial di riuhkan dengan tagar Cirebon Kota Tilang. Kota yang sebelumnya dikenal sebagai kota udang ini tiba-tiba jadi sorotan publik. Hal ini terjadi lantaran tagar Cirebon Kota Tilang merangsek menjadi salah satu topik perbincangan yang betul betul marak di perbincangkan di modial sosial. Hal ini tentu menjadi pro kontra di kalangan publik. Termasuk publik Cirebon sendiri.

Sebetulnya ramai tagar Cirebon Kota Tilang ini dimunculkan oleh para pendatang yang kebetulan melintas kota udang ini, dan apesnya para pendatang ini menemui razia polisi yang banyak orang bilang ‘tidak wajar’. Loh kenapa tidak wajar? Sejumlah tagar di media sosial seperti twitter dan instagram menyebutkan bahwa, ada masyarakat  yang kena tilang lantaran platnya bernomer luar Cirebon, ada yang kena tilang sebab menaruh tas diantara kaki di motor matic. Ada juga yang kena tilang lantara menggendong tas dengan berat 4 kilo. Ada lagi yang karena barang bawaanya di ikat di jok bagian belakang lalu kena tilang. Dan sederet kasus lain yang membuat banyak netizen tergelitik.

Nah, ramainya tagar kota tilang kemudian sedikit banyak mengapungkan nama Cirebon ke permukaan. Banyak orang yang kemudian bertanya apa betul sebegitunya polisi di Cirebon? Sampai tutup pentil yang tidak ada atau karena tengok kanan kiri saat lampu merah dianggap kesalahan lalu lintas?

Sejumlah pertanyaan ini yang akhirnya harus di jawab segenap jajaran kepolisian di Cirebon entah Kota maupun Kabupaten. Atau mungkin Satlantas polres Cirebon Kota dan Kabupaten yang harus benar-benar mengklarifikasi. Apa sudah benar dan sesuai perundang-undangan kah yang dilakukan oknum polisi tersebut? Atau memang itu sebuah tindakan yang salah, yang dilakukan si oknum untuk menambah uang rokok?

Seperti yang penulis ungkapkan diatas, ketika tagar Cirebon Kota Tilang mencuat, polemik antara yang pro dan kontra pun juga ikut melambung, sebagian yang kontra beralasan, bahwa  terlalu jahat jika hanya karena oknum polisi yang menilang dengan konyol membuat satu kota di cap sebagai kota yang identik dengan tilang. Padahal sejak dari dulu Cirebon sudah kadung diketahui publik se-Indonesia dengan julukan Kota Udang ataupun Kota Wali, masyarakat Cirebon  sedari dulu juga sangat akrab dengan sebutan Cirebon Kota Berintan. Jangan hanya karena segelintir oknum membuat image yang sudah di bangun ini hilang begitu saja, berganti dengan julukan yang negatif.

Sedangkan yang pro degan tagar tersebut biasanya datang dari para korban yang punya pengalaman ‘dikerjai’ oleh oknum-oknum polisi tersebut. Mereka yang pro sampai membuat meme yang akhirnya meramaikan tagar Cirebon Kota Tilang.

Melihat ini penulis rasa ada sesuatu yang bagus dalam dinamika kebabsan berpendapat di masyarakat. Sebelum ini penulis tahu betul bagaimana banyak sekali orang terutama masyarakat Cirebon yang ingin menggaris bawahi kinerja kepolisian dalam hal razia kendaraan. Ini terbukti dengan besarnya arus di media sosial yang seakan ingin menunjukan bahwa banyak orang yang prihatin dengan situasi Cirebon saat ini.

Begini, penulis sebagai wagra Cirebon tahu betul di setiap harinya ada saja razia entah itu resmi, gabungan atau terkait tema-tema tertentu yang ada di wilayah Cirebon baik kotamadya maupun kabupaten. Tidak salah memang menggelar razia semacam itu, namun yang penulis sesalkan adalah mengapa dibanyak razia justru menyebabkan kemacetan? Di daerah pegambiran Kota Cirebon misalnya, jika ada razia kendaraan di daerah itu dan itu dilakukan pada pagi hari, maka sudah hal lumrah jika ruas jalan pegambiran menjadi macet. Padahal itu terjadi di jam rawan, artinya di jam yang sedang ramai-ramainya dilewati anak sekolah dan para pegawai. Pada akhirnya timbulah pertanyaan dari penulis, bukan kah tugas Polantas salah satunya melerai kemacetan? Mengapa justru membuat kemacetan?

Beberapa pihak menyatakan bahwa banyaknya gelar operasi razia adaah sebuah bentuk antisipasi dari maraknya teror geng motor yang kerap terjadi beberapa waktu belakangan. Ada juga yang bilang sebab Cirebon tengah di sorot karena belakangan banyak pelaku terorisme yang berasal dari daerah paling barat di Jawa Barat tersebut. Jika memang alasanya begitu, penulis rasa geng motor selama ini lebih bertindak di malam hari, sedangkan razia biasanya dilakukan pada pagi dan sore hari. Ini berarti polisi dan geng motor tidak berjodoh, dan soal terorisme, penulis rasa pelaku terorisme tidak akan banyak bepergian, fakta yang didapat dimasyarakat juga demikian. Selama ini rata-rata terduga atau tersangka teroris di kenal di masyarakat sebagai orang yang tertutup. Jadi, penulis rasa dua hal diatas tidak terlalu kuat untuk jadi alasan maraknya razia, ingat masyarakat juga punya hak kenyamanan untuk berkendara. Penulis berani bertaruh sekalipun pengendara memiliki surat lengkap dan memenuhi tatacara berkendara yang benar, tetap saja tidak nyaman ketika harus diberentikan apalagi dengan intensitas yang sering.

Lalu yang membuat penulis tidak habis pikir adalah, mengapa orang yang menggendong tas seberat empat kiloditilang, menaruhnya di antara kaki juga ditilang, dan mengikatnya di jok motor belakang juga ditilang? Jika begitu berarti perundang-undagan kita tidak membolehkan seseorang membawa tas dengan posisi ditaruh dimana pun. Lalu bagaimana dengan tukang pos yang setiap hari membawa gembolan besar di jok belakang? Kena tilang juga kah?

Ini kita belum bicara soal polantas yang terkadang mahir bermain’petak umpet’ untuk kemudian tiba-tiba hadir di depan pelanggar. Belum bicara juga soal pos-pos polisi yang dibanyak sudut kota tidak berpenghuni. Atau kita juga belum bicara soal aksi suap yang pastinya selalu mewarnai operasi lalulintas. Bukan kah aksi suap atau istilah bapak polisinya ‘titip’ itu bukan lagi sebuah hal yang tabu untuk di bicarakan gamblang di masyarakat. Penulis yakin Kapolres, Kapolda sampai Kapolri pasti tahu soal ada oknum polantas yang kerap menjadi ‘tempat penitipan uang tilang’, lalu kenapa tidak di tindak padahal aksi ini sudah menjadi lumrah dimasyarakat. Jika tidak tahu, maka patut dipertanyakan ada tidaknya evaluasi di tubuh kepolisian kita. jika alasanya tidak ada laporan dari masyarakat, berarti kepolisian kita menunggu bola untuk sebuah penilaian terhadap instansi sendiri. pun kalau ada laporan penulis ragu apakah si oknum benar-benar ditindak atau tidak.

Penulis rasa semua ini memang tidak melulu salah sang penegak hukum. Pengguna jalan juga nakal. Masih banyak pengendara yang tak punya SIM dan STNK, banyak pula yang tak pakai helm sampai melawan arus. Ini tentu harus ditindak. Hanya saja yang ingin penulis tekankan disini adalah tindaklah pengendara sesuai perundang-undangan. Kita semua tidak tahu ada di pasal berapa tak punya tutup pentil adalah sebuah pelanggaran lalu lintas, kita juga tidak mengerti berapa berat maksimal barang yang boleh dbawa oleh pengendara sepeda motor. Itu artinya perlu ada edukasi semisal penyuluhan pada masyarakat agar paham dan kemudian patuh pada aturan lalu lintas. Karena dewasa ini banyak orang bisa berkendara tapi tak banyak yang bisa berlalulintas. penyuluhan juga dapat menjadi sebuah pencegahan tindak kekerasan yang dilakukan geng motor yang makin hari makin alay. Ini yang harus di galakan sekarang. Agar tidak ada lagi tagar-tagar yang bersifat negatif pada institusi kepolisian kita.

Akhirnya apakah tepat sebutan Cirebon Kota Tilang? Teman penulis pernah bercerita, ketika dirinya mudik dari Jakarta menuju Kabupaten Cirebon sepanjang jalan dirinya sama sekali tidak bertemu dengan operasi razia kendaraan bermotor. Hingga ia masuk Kabupaten Cirebon dari mulai masuk gapura selamat datang Kabupaten sampai berhenti di rumah, terhitung ada empat gelaran razia operasi kendaraan bermotor yang ia lintasi sepanjang Kabupaten dan Kota Cirebon! (Cirebon memiliki Kota dan Kabupaten. Kota Cirebon terletak di tengah-tengah Kabupaten Cirebon)

Dengan cerita dari teman penulis tadi, biar pembaca yang menyimpulkan bagaimana maraknya operasi razia di wilayah Cirebon. Penulis harap dengan maraknya tagar Ciebon Kota Tilang seharusnya bisa jadi bahan evaluasi untuk segenap instansi dan masyarakat agar pandangan masyarakat luar Cirebon menjadi kembali baik, Kota Bekasi ketika mendapat bully di media sosial beberapa waktu lalu kini mulai berbenah, Cirebon?

Jika semua sudah ter evaluasi dengan baik. Lalu ada perubahan yang nyata yang dirasakan oleh masyarakat Cirebon maupun luar Cirebon, barulah kita bisa bilang bahwa memang Cirebon bukan kota tilang.

 

Penulis Muhamad Wildan (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Tingkat empat Unswagati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar