Jumat, 12 Februari 2016

KIAT – KIAT KULIAH SINGKAT, CEPAT KERJA

Sebuah kabar yang terdengar dramatis, hinggap di telinga menyampaikan sebuah pesan, dimana pesan tersebut mengisaratkan kepada seluruh penghuninya agar segera berlomba – lomba menjadi suatu sosok yang mengerikan, robot barangkali, atau binatang bisa jadi, dan apapun itu yang memiliki makna sama. Anehnya, kabar dan titah itu dikeluarkan dari dan oleh sebuah lembaga yang memiliki peran, fungsi dan tanggung jawab terhadap peradaban.  Sebut saja lembaga itu Kementrian Riset dan Perguruan Tinggi, sebuah kiblat yang menjadi patokan beribu kampus dari sabang sampai merauke.

Melalui sosial media seperti Facebook, saya melihat seorang teman memposting sebuah kabar berupa daftar urut (rangking) kampus – kampus di Nusantara. Dengan senonoh dan rasa bangganya ia berujar “Alhamdulilah, kampus saya ada di posisi 3, pertahankan dan terus tingkatkan.” Kebetulan teman saya itu kuliah di Institut Pertanian Bogor. Rasa penasaran terhadap kabar tersebut  tak terelakan, dengan hati yang menggebu saya ingin tahu diurutan berapakah Universitas Swadaya Gunung Djati (Unswagati) Cirebon – kampus biru tempat saya mandi, makan, ee, gosok gigi, sampai berstudi?

Ketika saya melihat daftar urut dari Kementrian ternyata Unswagati bertengger diposisi ke 652.  Tak luput, Alhamdulilah pun saya ucapkan seraya mengurut dada, dan memegangi kepala. Urutan tersebut dinilai melalui segi  kualitas (1)manajemen,(2) manusia, (3) kegiatan mahasiswa, (4)penelitian dan publikasi. Thri Dharma PT  - terutama poin pengabdian pada masyarakat- tidak menjadi tolak ukur penilaian, aneh.

Memang, dari penilaian diatas sangat jelas corak perbedaan yang begitu menganga  antara IPB dan Unswagati. Saya pun bertanya – tanya, apa yang menjadi tolak ukur, pendidikan  seperti apa yang bisa dijadikan acuan agar memenuhi kualitas standar, sehingga menciptakan manusia – manusia baru, beradab, sebagai manusia Indoneisa. Terlintaslah dalam benak saya, apakah kita harus mengikuti pola yang sama seperti di IPB, ketika ingin bertengger diurutan teratas dan brsaing dengan ratusan bahkan ribuan kampus  lain.

Akhrinya saya memutuskan untuk main ke salah seorang teman saya di IPB, yang dulunya sempat mengetahui dunia kampus di Cirebon seperti apa – bukan yang upload di FB.  Sederhana tujuannya sih, main sambil belajar, ingin mengetahui seperi apa pengelolaan manajemen, pembangunan manusianya, organisasinya, kemudian penelitiannya.  Karna saya masih belum puas dengan yang saya dapatkan dari kampus, siapa tahu saya pun bisa mendapat referensi untuk pengembangan kampus saya.

Singkat cerita, saya bertemu dengan teman saya tersebut. Pembicaraan pembuka pun dimulai, kopi dan rokok tetap menemani,  obrolan dari mulai saling sapa, tanya kabar dll. Kemudian masuk kedalam pembicaraan inti, “Kumaha kahirupan kampus dan Mahasiswana lur (Gimana kehidupan atau dinamika kampus dan mahasiswanya).” Dengan nada lemas teman saya menjawab. “Aya perbedaan mah, ngan saeutik. Intinamah sarua, lamun henteuna na oge moal jauh beda, (Ada perbedaan, cuman sedikit. Intinya sih sama. Kalau tidaknya pun, gak jauh berbeda)

 

Saya pun tak lantas langsung percaya dengan apa yang disamapaikan teman saya, justru rasa penasaran makin bertambah. Tak terasa obrolan pun hanyut didalamnya, rasa kantuk datang, kemudin tertidur. Ketika terbangun teman saya itu sudah tidak ada. Lupa, kalau Ia ada kuliah dari jam 07:00 – 17:00 WIB bahkan ada yang sampai jam 20:00. Setelah datang ke tempat kos, dengan nada bergurau saya bicara kepada teman “Pekerja keras, berangkat pagi pulang petang, ditambah penampilanya yang mendukung (Celana bahan, seragam Program Keahlian), hahaha.) “ teman saya menjawab, “Seperti inilah, disiapkan untuk pekerja, ready stock,” pungkasnya.

Keyakinan saya masih belum bulat, saya pun keluar dari kamar kos untuk sekedar membeli rokok dan kopi sambil melihat pemandanga sekeliling area kampus. Wanita cantik, pria tampan terlihat sedang asik berbincang, ada yang di warungg kopi, makanan, minuman dll. Setiap kelompok yang sedang asik tersebut memakai pakaian yang sama – sesuai jurusannya masing – masing - , makan yang sama, obrolannya pun sama, jangan – jangan sikap, cara hidup, pola pikir, cara pandang  pun sama, DISERAGAMKAN.

Sesampainya dikosan, “Ngobbrol tiap kelompok dengan atributnya masing – masing, bisa – bisa tawuran antar jurusan, karena yang diajarkannya menekankan ege sektoral (kelompk), kemudian primordial (rasa bangga berlebihan), gimana mau bersatu, kalau dari sitem saja sudah di pecah – pecah, tidak melihat bahwa Indonesia itu heterogen. Terjadi dikampus negri dan unggulan di Indoneisa. Unswgatai perasaan gak gitu – gitu amat, hahahaha,” ledek saya.

Teman saya pun menjawab dengan lurus, terasa suara itu seperti suara jangkrik di sunyi malam, atau percikan api yang keluar dari kerasnya benturan,” Emang gini, kalau diibaratkan kampus disinii replika suatu perusahaan. Direkturnya ada, divisi – diivisinya ada, terlihat dari seragam PK yang dipakai, manajernya ada yaitu dosen (dibayar) yang menjejal tugas kepada mahasiswanya. Tugasnya pun seperti tugas kerja, bukan tugas kuliah. Pegawainya berlomba – lomba kerja keras untuk mendapat apresiasi. Kalau buruh dapat uang, kalau kita mahasiswa dapat nilai. Jauh pisan ka Thri Dharma mah, konmo ngarubah peradaban mah. Teu aneh lamun antar jurusan tawuran oge, (Jauh sekali untuk mencapai pengabdian. Apalagi merubah kondisi. Tawuran sesama mahasiswa pun tak aneh)

Tak sampai disitu saya merasa puas, ingin lebih tahu jauh, jauh dan jauh lagi. Sore hari, sambil menikmati suasana kampus- yang bebas asap rokok-, saya diajak berkeliling kampus. Teman saya menunjuk salah satu ruangan yang dijadikan sebagai sekretariat Keluarga Mahasiswa. Menurut saya, tak pantas dan tak layak apabila ruangan tersebut dijadikan sebagai wadah mahasiswa. Dari situ saya bisa menyimpulkan, bagaimana memperjuangkan nasib mahasiswa pada umumnya – apalagi masyarakat – memperjuangkan tempatnya sendiri pun tak mampu. Malang sekali!

Kampus sekarang, terdapat aturan yang mewajibkan setiap kampusnya menciptakan komisi disiplin (Komdis). Setiap mahasiswa yang rambutnya gondrong, merokok di aera kampus, celana sobek, telat masuk uas, tidak mengenakan seragam PK, maka lembaga tersebut bertugas dan berkewajiban melakukan rajia. Mirip kaya BK atau BP seperti di sekolah – sekolah, atau polisi yang nilang pelanggar lalin. Bukan suatu alasan logis, apabila untuk mendisplinkan manusia dengan cara diseragamkan.  Apabila dipaksakan apa hasilnya? Penakut, apatis, pragmatis, hedonis sudah pasti terjadi!

 

Terdapat mahasiswa yang dikarenakan tak sanggup membayar biaya kuliah di IPB harus mengajukan cuti, dan cutinya pun bayar. Untuk masalah pembayaran, faktanya kampus – kampus negri lebih mahal, dan tidak dibarengi dengan fasilitas yang harus didapat.  “Pengen kesini belajar susah payah dengan membeli buku – buku panduan agar lulus SNMPTN yang diproduksi perusahaan, pas masuk bayaran mahal. Bayaran tiap tahun naik, praktikum bayar, modul bayar, telat SPP didenda 10%, tapi fasilitas yang digunakan tidak pernah di upgrade, katanya negri.  Uangnya saya kemana dan untuk apa? Cuman dapat nilai dan kencing dikampus doang. Pilihannya dua, kalau mau bayar , enggak silahkan pergi,” ketus teman saya.

Melihat fenome kampus saat ini, bagaimana negara menghisap dan menindas warga negaranya terlihat jelas. Pendidikan di perjual belikan, kampus berubah menjadi replika sebuah perusahaan, dan akhirnya kerja diperusahaan juga. Jelas bahwa sistem pendidikan di Indonesia menguntungkan kapitalisme yang memiliki modal besar, sekaligus merangkap sebagai pejabat negara. Dunia pendidikan dijadikan ajang menciptakan robot – robot yang bisa dipergunakan untuk meningkatkan produksi. Mahasiswa dijadikan objek, bukan subjek sebagai manusia. Lagi – lagi, aturan main di negara ini lebih menguntamakan dan menguntungkan kapitalisme.

Organisasi kemahasiswaa tak berfungsi, karena hanya menjadi kumpulan orang – orang penakut, tumpul, kalah dengan aturan main yang membodohi. Bicara sosial, politik, ekonomi dan budaya, apa lagi pengabdian, jauh panggang dari api.  Saya merasa beruntung ketika kampus saya tak menjadi Negri. Setidaknya di kampus saya masih bisa menunut hak sebagai mahasiswa dan warga negara  dengan susah payah dan berbondong – bondong.

Setidaknya masih ada pula,  mahasiswanya yang memperjuangkan mahasiswa lain dan lingkungan masyarakat sekitar (walaupun kecil). Kalau Sistemnya bagaiaman? Sama, mau negri ataupun swatsta tetap menciptakan robot dan kerumunan hewan. Kuliah sesingkat – singkatnya, kerja secepat – cepatnya.  Harmoni progresio, membangung keselarasan dengan kebersamaan, sedikit demi sedikit akan hilang. Lupa, kalau kedepannya kitalah yang akan memegang arah tonggak peradaban. Dibuat amnesia, akhirnya jadi robot - robot juga, hewan - hewan juga.

Kesimpulan saya, tolak ukur kampus yang baik yaitu kampus yang bisa mengeluarkan output berupa robot dan kerumunan hewan. Ketika kampus saya ingin mengejar IPB, maka harus menggunakan aturan yang outputnya menghasilkan robot dan kerumunan hewan pula. Padahal, kampus merupakan kawah candradimuka, tempat tumbuh kembangnya suatu peradaban bangsa. Ketika melihat kampus saat ini sebagai replika sebuah perusahaan, suatu kemunduran zaman di era ilmu pengetahuan dan teknologi semakin menjamur. Modernitas sejatinya bicara sikap, pola pikir, prilaku dan hati nurani.

Apakah kiranya yang tidak dijual oleh bangsa ini? Alam, budaya, tradisi, kehormatan, harga diri, dan sekarang sumber daya manusia (MAHASISWA) pun telah dijual. Mau dibawa kemana Indonesia? Satu keyakinan saya, selama kita menjadi bangsa penakut yang dibodohi, selama itu pula kita dalam keterpurukan.  Menjadi sebuah negri budak, budak diantara bangsa, dan budak bangsa lain. // hidup di negeri yang lahap memakan nasi//dari padi yang tidak di produksinya//. Berbanggalah.

 

Jika hanya belajar, hewan pun belajar.

Jika hanya tidur, hewan pun tidur.

Jika hanya ‘kawin’, hewan pun kawin.

Jika hanya bekerja, hewan pun bekerja.

Jika hanya makan, hewan pun makan.

Jika hanya berkerumun, hewan pun berkerumun.

Kami putra dan putri indoneseia bersumpah,

berbahasa satu, bahasa kapitalisme .

Bangsa satu, bangsa kapitalisme.

Tanah air satu, tanah air kapitalisme.

Jayalah sendiri Indonesia.

(Epri Fahmi Aziz,Bogor, 12 Februari 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar