Selasa, 20 Juni 2017

Opini: Full Day School Membunuh Anak Indonesia, Generasi Penerus Bangsa

Sedikit Pembuka

Akhir–akhir ini bangsa kembali diriuhkan dengan berbagai persoalan yang tidak hentinya menguras energi dan perhatian. Namun, keringat yang ditorehkan serta perhatian yang dicurahkan tak juga memberikan kesadaran, apalagi efek jera kepada mereka yang tak pernah lelah dan gegap gempita memporak-porandakan, menjajah bangsanya sendiri.  Memang benar, Bung. Perjuangan kita lebih berat, karena melawan bangsa kita sendiri!

Polemik yang ada menjadi perbincangan yang hangat dimulai dari warung kopi, hingga para cendekiawan di perguruan tinggi, sampai pada elit yang bersorak sorai di hotel berbintang. Sedangkan rakyatnya hanya menonton di pinggir–pinggir jalan, di bawah kolong jembatan, di emperan, dan di bawah atap–atap rumah dalam perenungan. Ya, salah satunya yaitu persoalan “Pendidikan”. Sebuah kata "sexy" yang tak pernah tamat diperdebatkan, karena memang cita-cita masih belum tergapai, apalagi dalam genggaman tangan.

Hiruk pikuk itu kembali ramai tatkala Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud RI) mengeluarkan kebijakan melalui Surat Keputusan (SK) mengenai sekolah 8 jam sehari dalam kata lain Full Day School (FDS). Teknis, tapi begitu ramai dan memang menarik untuk dikaji dengan seksama. Menggunakan sanubari, nalar yang jernih, akal yang sehat, melihat kedalam jati diri sebagai sebuah bangsa yang kaya akan budaya dan sociocultural, yang memang menjadi dasar pendidikan itu sendiri.

Kondisi Objektif

Di Cirebon dan sekitarnya sendiri tak sedikit pemberitaan pro dan kontra mengenai sistem FDS. Apalagi jika ditilik lebih jauh,  Cirebon banyak pesantren , dan kebijakan tersebut dirasa bakal berdampak buruk pada sistem pembelajaran dan pendidikan agama yang sudah diwariskan secara turun temurun. Dalam hal ini, Penulis tidak mau terjebak sebagai seseorang yang pro atau kontra dalam kerangka opini yang dibangun di mana terdapat dua elemen organisasi keagamaan besar di dalamnya, yaitu NU dan Muhammadiyah. Penulis  hanyalah sebagai rakyat dari bawah yang melihat dari sudut pandang kondisi objektif dinamika yang ada dalam kehidupan masyarakat. Bukan pula sebagai seorang akademisi atau cendekiawan yang melihat persoalan akar rumput dari menara gading.

Baiklah, mari kita analisis mengenai kebijakan FDS tersebut, apa saja efek domino yang akan ditimbulkannya.  Di satu sisi, di internal pemerintahnya saja masih terjadi saling serang antar menteri terkait kebijakan tersebut. Tapi penulis apresiasi langkah Presiden Jokowi yang segera mencabut kebijakan Mendikbud itu. Namun, tetap menjadi catatan penting bahwa kejadian ini menandakan lemahnya komunikasi dan koordinasi antar lembaga kementerian. Dari sisi perencanaannya saja sudah absen! Di sisi lain, terdapat beberapa poin penting yang seharusnya dijadikan dasar pertimbangan ketika ingin mengeluarkan kebijakan, diantaranya yaitu aspek keadilan, kebermanfaatan, dan kemanusiaan.

Poin pertama, apakah dengan diberlakukannya FDS tersebut bisa memenuhi unsur keadilan yang di mana sistem masyarakat kita masih dualistik; terbagi atas wilayah kota dan desa yang memang dari berbagai aspek jelas berbeda.  Di kota FDS mungkin berjalan efektif, tidaklah terlalu menuai konflik. Akan tetapi, ketika diterapkan di desa apakah akan mendapat respon yang sama? Jelas tidak. Struktur ekonomi sosial  politik, budaya, masih timpang belum merata. Jelas kebijakan ini tidak memenuhi aspek keadilan!

Kebermanfaatan, kebeijakan yang baik serta tepat sasaran pasti akan memberikan manfaat positif terhadap hasil yang akan diperoleh dikemudian hari.  Menurut penulis, sebagai rakyat yang pernah mencicipi pola pendidikan di Kota dan di Desa, kebijakan tersebut justru akan memberikan banyak dampak negatif ketimbang positif. Terutama dari kacamata psikologis, lingkungan, sosiokultural yang lambat laun menimbulkan korelasinya terhadap moralitas dan integritas para generasi penerus bangsa.  Bisa memberikan manfaat positif memang, dengan syarat mutlak telah tercapainya terlebih dahulu pemerataan pendidikan dan ekonomi sampai penjuru Indonesia.

Poin ketiga selanjutnya yaitu bicara soal kemanusiaan. Dalam  tolak ukur yang satu ini apalagi, kebijakan FDS menurut penulis merupakan suatu upaya yang secara perlahan justru akan membunuh karakter anak,  di mana anaknya menjadi robot-robot yang berjalan. Waktu yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengenal arti kekeluargaan di rumah, arti persatuan dan gotong royong dengan bermain,  lebih mengenal lingkungan sekitarnya akan sirna begitu saja. Yang dilihat hanya dinding–dinding ruang kelas dan selembaran – selembaran kertas. Bak dinding penjara yang membelenggu, hilang sudah kemerdekaan jiwa, kemerdekaan berfikir dan kebebasannya. Padahal pendidikan yang hakiki adalah pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan manusia.

Sebuah Renungan

Jika di perkotaan mungkin bisa efektif  karena orang tua di kota akan merasa senang dan tenang, ketimbang meninggalkan anaknya diam di rumah atau bermain keluyuran. Seperti menitipkan anaknya di panti asuhan, karena kesibukan dan aktivitas kesehariannya yang padat. Nah sedangkan di desa, dengan jumlah peserta didik paling banyak? Waktu sepulang sekolah itu digunakan untuk bermain, mengenal arti persaudaraan, pertemanan, mengenal lingkungan dan mempelajari kearifan tanah kelahirannya. Sorenya digunakan untuk lebih mendalami pendidikan agama. Sirkulasi waktu berjalan efektif, sehingga akan membentu karakter yang progresif. Pemimpin-pemimpin hebat Indonesia berasal daridesa yang menggunakan pola kearifan lokal dan pendidikan agama yang kuat. Tidak percaya? Silakan buka lagi lembaran sejarah mengenai bapak-bapak pendiri bangsa kita!

Sudahi perdebatan di tataran kebijakan yang sifatnya hanya kulit, teknis. Hal ini akan membuat kita semua lupa ingatan, lupa akan persoalan yang lebih strategis dan menjadi pokok utama. Di mana pendidikan itu harus terjangkau dan bisa dinikmati dengan layak oleh seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Itu sebetulnya yang harus dipikirkan dan diperdebatkan. Setelah hak dasar itu terpenuhi,  baru kita berdialektika bagaimana agar lebih meningkatkan kualitas pendidikan.

Kebijakan yang ada justru sebaliknya, burputar di lingkaran setan, memperdebatkan yang lebih pada hasrat untuk memuaskan pribadi dan golongan. Lupa bahwa kebijakannya bisa membunuh karakter anak itu sendiri. Karena dengan tidak memberikan hak dasar berupa pendidikan layak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan banga, maka bukan lagi membunuh generasi, melainkan telah Membunuh Indonesia. Bukannya pendidikan yang memanusiakan merupakan salah satu tiang pancang yang menjadi dasar konstitusi itu? Cucimukalah.

*Penulis adalah Epri Fahmi Aziz, Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Sosialis (GeMSos) Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar