Kamis, 03 Mei 2018

Bu, Pak, Mahasiswa Itu Manusia Dewasa

Opini, Setaranews.com - Apa yang anda bayangkan ketika keluar dari SMA, kemudian masuk ke perguruan tinggi? Tidak lagi berseragam putih abu-abu, boleh berambut gondrong bagi anak laki-laki, bahkan sampai pada titik tidak adanya larangan untuk merokok seperti masa SMA. Dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu? Ya, itulah salah satu contoh dari sedemikian banyak perubahan dari siswa menjadi mahasiswa.

Akan tetapi, hal itu sepertinya kontras dengan kehidupan sehari-hari dalam kampus. Ada suasana yang mengepung secara persuasif dan brutal bahwa terdapat pihak-pihak yang menaruh rasa ketidak percayaan terhadap pilihan-pilihan yang ditentukan oleh seorang mahasiswa. Seolah ada intervensi dari pihak luar bahwa tidak semua mahasiswa bersikap merdeka terhadap pilihannya.

Momentumnya ada pada peristiwa beberapa minggu lalu. Dimana terjadi problematika yang membuat beberapa mahasiswa merasakan keganjilan yaitu issue soal penjualan salah satu gedung Universitas Swadaya Gunung Jati (Unswagati) dan ketidak transparannya Universitas terhadap pengelolaan anggaran. Alasan mahasiswa mempertanyakan hal demikian adalah karena menyangkut masa depan bersama kampus, Tapi yang ada, respon yang didapat bukannya pihak Universitas bersikap terbuka melainkan sebaliknya, yaitu melakukan defence atau pura-pura tidak tahu dan tidak mengerti terkait dengan issue yang beredar luas di lingkungan Universitas. Hal ini membuat semakin menguatnya kecurigaan sebagian mahasiswa bahwa memang ada yang hendak disembunyikan atau ditutupi dari pihak Universitas.

Klimaksnya adalah terjadinya cek-cok antara kampus dan beberapa mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi kala itu, sampai pada kalimat yang jauh dari kata etiket. Bahasa yang penuh dengan kemarahan dan intimidatif. seharunya tidak keluar dari orang-orang yang berada dalam naungan akademik akademik, Dan kacaunya lagi respon atas peristiwa cek-cok tersebut semakin tidak masuk akal, Dimana pihak kampus mengeluarkan surat edaran terhadap sebagian orang tua beserta mahasiswa yang yang melakukan aksi demonstrasi dengan dalih adanya proses pembinaan.

Entah apa yang ada di pikiran pihak Universitas sampai ada kepada tindakan tersebut. terdapat kekonyolan terhadap cara berpikir mereka. Dimana sikap kedewasaan seorang mahasiswa yang menyangkut masa depannya dihadapi dengan cara yang lebih mirip seperti seorang kriminal. Ia patut dibina dan diarahkan karena tindakan dan sikap melakukan aksi demonstrasi yang dilakukan dianggap buruk. Padahal sebaliknya, yang bersikap buruk pada mahasiswa adalah pucuk pimpinan Yayasan Pendidikan yang mengeluarkan kata-kata kotor dan tidak memiliki standar etiket serta cenderung intimidatif ketika menanggapi aksi demonstrasi mahasiswa. Oleh karena itu, surat pembinaan tersebut seharusnya ditujukan pada dirinya sendiri. Bukan pada mahasiswa.

Jadi, pada posisi inilah seharusnya Universitas memberikan apresiasi terhadap sikap-sikap mahasiswa yang kritis, dan mau mempertanyakan serta peduli terhadap masa depan Universitas, Bukan bertindak kontra produktif dengan mengedarkan persoalan bahwa sikap dan tindakan mahasiswa itu tidak murni dan ada yang memprovokasi. Mahasiswa bukan lagi anak-anak yang pikirannya dapat dikendalikan dan dijinakan. mereka adalah manusia yang dapat menentukan pilihan dan keputusannya secara mandiri. Mahasiswa memiliki kanal untuk mencegah datangnya segala bentuk determinasi terhadap dirinya. Itulah yang dikatakan Immanuel Kant pada ciri-ciri manusia dewasa identik dengan identitas mahasiswa.

Waktu perpindahan masa SMA ke Mahasiswa adanya suatu transformasi yang tegas, bahwa kata Mahasiswa bukan saja pembeda sebuah identitas, melainkan merupakan pertanda lahirnya kemandirian dalam kiprah berpikir. Segala tindak tanduknya selalu dihitung secara matang dengan memperkirakan risiko dan konsekuensi. Bahkan Mahasiswa adalah kemewahaan identitas yang memiliki beban historis bagi perubahan yang terjadi di Indonesia.
Apa yang disuarakan mahasiswa selalu sifatnya adalah untuk memperjuangkan kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi. Pada titik inilah seharusnya pihak Universitas dapat berpikir jernih dalam mengahadapi sebuah persoalan.

Dengan diawali melalui cara pandang sikap kritis merupakan tindakan yang baik, bukan diberikan stigma sebaliknya. Oleh karena itu sikap kritis tidak dihadapi dengan tindakan yang reaktif dan konyol. Apalagi menganggap bahwa mahasiswa adalah bayi yang bertubuh dewasa dan perlu diatur-atur dari cara berpaikan sampai dengan cara berfikir.

 

Penulis: Yogi, Mahasiswa Fakultas Ekonomi, Jurusan Manajemen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar