Rabu, 24 April 2013

Pendidikan Tak Mendidik

Oleh : M. Khoirul Anwar KH

Kapitalisme global memang sedang menggejala pada abad 21 ini. Ini diakibatkan oleh, diantaranya, tumbangnya rezim komunisme-sosialisme di belantara dunia. Sampai dikatakan, bahwa manusia abad ini akan tergiring untuk mengakui satu kekuatan tunggal: kapital/modal,  kata Francis Fukuyama. Jika memang demikian, apakah putusan ini mutlak akan mengenai seluruh manusia, lembaga atau sektor hidup lainnya?

Ada banyak uraian yang bisa dijelaskan di sini. Ia bisa dimulai dari arah yang sepersusu-sekandung dengan kapital, yakni pasar. Sebab bicara kapital berarti bicara masalah keuntungan dan kerugian. Maka tak diragukan lagi jika sisi ini menemui gejalanya paling awal. Ekonomi-pasar kita telah tersusup sindrom kapitalistik yang menggurita. Ini tidaklah mengernyitkan dahi, lantaran memang sudah menjadi pengetahuan umum bahwa keduanya memang seurat-senadi.

Gurita Kapitalisme

Tapi ada yang mengkhawatirkan ketika kapitalisme-global juga menusuk aspek hidup lain manusia. Politik, hukum, pendidikan, kebudayaan, atau bahkan agama, misalnya. Maka bisa dipastikan dunia ini tinggal menunggu penguapannya saja yang paling tragis. Sayang, asumsi ini sekarang memang sedang berjalan dan terus menunjukkan bukti. Dalam politik kita lazim mendengar istilah money politic; isinya adalah jual-beli kekuasaan sebelum dimulainya pesta kemenangan. Tidak pandang ideologi, aliansi politik maupun agamanya. Yang jelas, fenomena demikian sedah menjadi fakta yang wajar dan biasa. Kapitalisme juga telah merambah alam politik, ringkasnya.

Beralih ke hukum. Pada awalnya kata ini begitu jumawa dan enak di dengar serta dirasa. Sebab ia menawarkan tegaknya keadilan serta kedaulatan manusia dalam hubungannya dengan tata norma sosial. Plato, Bapak filsafat Yunani itu sampai merangkumnya dalam sebuah magnum opus, Republik, yang fenomenal itu. Tapi, lambat laun, seiring menangnya kapitalisme-glabal, fungsi dan arah hukum berbelok drastis. Hukum bukan lagi sang judgement yang dapat menjamin keadilan dan kedaulatan. Hukum bahkan saat ini hanya bermutasi menjadi ajang untuk menindas dan memeras. Hukum dijadikan sebagai alat dagang. Sampai-sampai ada parodi satir yang mengatakan, term kaidah hukum sekarang adalah: pasal apa, berani berapa? Itulah fakta paling memilukan tentang dunia hukum kita kini.

Kebudayaan bagaimana? Belum lama ini menteri kebudayaan menelurkan gagasannya yang kontroversial. Gagasan itu menyentuh sub-vital yang sangat oposisionis antar dunia seni-budaya dengan ekonomi. “Apakah karya seni-budaya bisa menjadi komoditas layak jual, untuk membantu mensubsidi pemasukan Negara?”, kata menteri itu pada suatu waktu. Ini tentu konyol, selain mencerminkan keserakahan sang menteri tersebut. Masalahnya bukan bisa atu tidaknya dijual, tapi kesenian adalah bagian dari karya yang modal utamanya adalah idealisme, spiritual dan imajinasi yang sakral. Lalu apakah pantas dihadapkan dengan pasar yang jelas bernuansa profan?

Bukannya orang-orang seperti Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, Acep Zamzam Noor, serta seniman lain tak mampu “menjual” karya-karyanya. Tapi memang sedari awal mereka tidak mau. Ini mungkin bisa menemukan titik singkarutnya pada peristiwa polemik-kebudayaan tahun 66 yang mendakwahkan tentang arti serta tujuan kesenian. Seni untuk seni (manifest kebudayaan) atau seni untuk rakyat (Lekra), bisa menjadi padanannya. Intinya ialah, kebudayaan memang telah terkontaminsai oleh berbagai isu kepentingan, termasuk tujuan kapital di dalamnya.

Kapitalisme Pendidikan

Yang terakhir, ini mungkin yang paling disayangkan, ketika kapital juga telah menerobos sum-sum sistem pendidikan. Pendidikan yang awalnya berorientasi suci dan membebaskan, harus bertabrakan dengan kotornya kepentinan dan uang (kapital). Pendidikan yang sering didaku sebagai agen perubahan demi memajukan, bagaimana mungkin harus berubah kelamin menjadi tempat tukar menukar keuntungan (dagang?). Bahkan lebih parah,  sebab jika di pasar kita dapat melakukan tawar-menawar, tapi di lembaga pendidikan tidak.

Tuduhan ini bukan isapan jempol semata. Ia fakta yang merealita. Ia terbukti adanya. Di mana saja, kapan saja. Tidak peduli lembaga pendidikan itu (sekolah) berasaskan sekular atau religius (agama-Islam), semua terkena dampratnya. Dulu yang terjadi hanya politisasi pendidikan yang dampaknya hanya menyentuh kebijakan-kebijakan timpang, sekarang lebih dari itu: kapitalisasi pendidikan! Kapitalisasi yang dampaknya bukan satu sisi kebijakan timpang, tapi menyeluruh pada sektor yang lebih kompleks: pembodohan siswa, pemerasan terhadap wali siswa, penodaan lembaga sekolah dan bengkoknya orientasi dasar pendidikan.

Hal ini bisa dirunut buktinya dari mulai maraknya (terutama di saat mau ujian dan penerimaan siswa baru) praktik diskriminatif penerimaan siswa baru, pungutan liar (terutama bagi RSBI), melonjaknya SPP bulanan/semester (utamanya swasta), korupsi dana pendidikan dari pusat hingga daerah, sampai jauhnya kebijakan pemerintah (Depdiknas dan Disdik) yang memihak rakyat kecil. Yang paling kentara mungkin menyangkut poin kedua. Betapa tidak? Setahun melewati satu jenjang kelas, telah berapa banyak pungutan liar yang telah mencekik kita dari segala arah. Dengan berbagai modus, hal ini diaplikasikan. Mulai dari yang memakai kedok studi tour, dana pembangunan gedung yang tak pernah ada wujudnya, buku LKS/diktat yang berganti-ganti, denda keterlambatan, hingga ancaman tak naik kelas karena tidak ikut ujian akibat belum lunasnya pembayaran. Itu semua berkaitan dengan uang yang sarat dengan manipulasi dan tarikan kepentingan. Yang paling menyakitkan dari keganasan sekolah mungkin ketika ujian hendak digelar.

Tentu kita sering mendengar pengumuman demikian: ”Ujian bisa diikuti hanya bagi siswa yang telah MELUNASI pembayaran bla bla bla!”. Ini belum seberapa, ada yang lebih tak manusiawi dan penulis alami sendiri ketika masih duduk di bangku SLTA. ”Tak ada uang, tak ada ujian!”, kata salah seorang panitia ujian. Ungkapan ini mungkin baginya adalah hal wajar, tapi bagi penulis lebih kejam daripada rentenir paling sadis sekalipun. Bagaimana tidak? Dalam transaksi jual beli maupun hutang piutang (bahkan yang sedikit berbau ribawi), kita sebagai pembeli masih diperkenankan untuk melakukan tawar menawar dengan si penjual. Tapi ini tidak berlaku di sekolah! Apalagi ketika hendak ujian. Inilah ”pemerasan” berbentuk kebijakan dan peraturan pendidikan!

Sejujurnya, masih banyak gerundelan lain berkaitan dengan kepincangan lembaga bernama sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Tapi atas dasar keyakinan bahwa itu tak etis untuk dibeberkan, penulis urungkan untuk menjelaskan secara lebih detail. Cukuplah hal-ikhwal yang begitu kasat mata saja. Dan, ini yang penting, praduga di atas bukan berarti penulis benci dengan institusi sekolah. Penulis tetap cinta, sungguh amat mencintai sekolah, tapi rasa cinta itu penulis ekspresikan dengan cara yang lain. Yakni dengan kritik yang konstruktif. Tujuannya tentu agar institusi ini terus dapat mengevaluasi diri demi perbaikan di masa mendatang. Sebab siapa lagi yang bakal peduli jika bukan kita sendiri? Juga, kapan lagi kita mengamalkan ujar Al Qur’an untuk saling kritik dan koreksi, jika tak mulai dari hal yang remeh dan dari saat ini? Tawashow bil haqqi wa tawashow bi shobr, saling mengingatkanlah kalian tentang kebenaran dan kesabaran, kata Tuhan dalam surat al-Ashr. Bagaimana? Wallahu A’lam.      

M. Khoirul Anwar KH
Mahasiswa Cirebon


Artikel ini dimuat di Harian Kabar Cirebon. Edisi: 2011. Kliping tak terlacak.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar