Tampilkan postingan dengan label korupsi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label korupsi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 November 2017

KPK Resmikan Setya Novanto Sebagai Tahanan Kasus E-KTP

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menetapkan Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golar, Setya Novanto sebagai tahanan dalam kasus pembuatan KTP Elektronik (E-KTP) saat sedang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo karena kecelakaan.

Nasional, Setaranews.com - Tepat pada Jumat (17/11) malam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah resmi menetapkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Setya Novanto sebagai tahanan pada kasus tindak pidana korupsi KTP Elektronik (E-KTP).

Penetatapan tersebut ditegaskan oleh Juru Bicara (Jubir) KPK, Febri Diansyah pada saat konfrensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, "KPK melakukan penahanan terhadap Setya Novanto karena KPK telah mengantongi bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatannya dalam kasus tersebut." tegasnya.

Namun pada saat penetapannya, Ketua Umum Partai Golkar tersebut sedang berada dalam kondisi sakit dan harus menjalani pemeriksaan medis di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCMK), sehingga KPK melakukan penangguhan penahanan selama 20 hari, terhitung mulai tanggal 17 November - 6 Desember 2017 yang kemudian akan dibawa ke rumah tahanan Negara kelas satu Jakarta Timur cabang KPK. "Tersangka Setya Novanto masih membutuhkan perawatan medis lebih lanjut di RSCMK."ungkap Jubir KPK tersebut, Jumat (17/11).

Sebelum dilarikan ke RSCM, Tersangka yang berinisial SN tersebut dirawat di Rumah Sakit Medika Permata Hijau karena mengalami kecelakaan sebelumnya pada Kamis (16/11), kisaran pukul 18:35 WIB dengan status penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi E-KTP, keterangan tersebut diungkapkan oleh Jubir KPK, Febri Diansyah. Disisi lain Pengacara SN, Frederich Yunadi dan keluarga menolak untuk menandatangani berita acara terkait penahanan SN.

“Berita acara tersebut akhirnya ditandatangani oleh dua orang saksi dari pihak Rumah Sakit Permata Hijau dan diserahkan satu rangkap kepada istri SN, Destri Astriani ,”tutur Febry.

Pengacara tersangka SN, Fredich Yunadi menduga SN menderita gegar otak yang diakibatkan karena kecelakaan lalu lintas yang dialaminya. "Novanto mengalami luka di bagian kepala dan langsung dibawa ke ruang VIP Lantai III, Nomor 323. Rumah Sakit Permata Hijau. Bahkan  menurutnya Novanto mengalami gegar otak,"ketusnya, menjelaskan.

KPK menetapkan Setya Novanto pertama kali sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi E-KTP pada 17 Juli 2017. Ketua DPR-RI tersebut diklaim telah ikut serta dalam barisan penerimaan aliran dana pada kasus korupsi pengadaan E-KTP tahun 2011-2012 dan ikut merugikan negara dengan nilai nominal Rp 2,3 Triliun. Kemudian Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Golkar itu telah melanggar pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU 31/99 sebagaimana diubah UU 20/01 Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.

Namun pada 29 September 2017 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan penetapan tersangka SN melalui sidang praperadilan. Lalu akhirnya SN ditetapkan kembali menjadi tersangka kasus korupsi E-KTP pada Jumat (17/11) Pasca Tersangka SN berhasil memenangkan gugatan praperadilan pada 29 September 2017 lalu.

Penetapannya sebagai tersangka kali ini merupakan keputusan yang di keluarkan KPK yang kedua kali nya setelah tersangka SN berkali-kali mengabaikan panggilan KPK sebelumnya.

Dikutip melalui tirto.id.

Minggu, 13 Agustus 2017

Saut Situmorang: KPK Sedang Mendalami Dugaan Korupsi Tanah Cipto dan Gedung Setda

Cirebon, Setaranews.com  – Bukan lagi komisioner Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kali ini turun ke daerah, melainkan langsung dari pucuk pimpinan yang tidak lain adalah Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang. Wakil Pimpinan lembaga anti korupsi ini pun mengakui sedang mendalami beberapa kasus dugaan korupsi di Kota Cirebon, diantaranya yaitu soal Pembangunan Gedung Sekretariat Daerah (Setda) Kota Cirebon dan Sengketa Tanah Cipto yang menurut perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp 21,622 Miliar.

Saut Situmorang, turut mengatakan memang sudah ada beberapa laporan dugaan koruspi baik dari Kabupaten maupun Kota Cirebon yang masuk kepada KPK.

“ Betul sudah ada yang masuk. Untuk perosalan Tanah Cipto kami sedang mendalaminya lebih jauh. Gedung Setda juga sudah ada yang melaporkan kepada kami,” ujarnya kepada setaranews, pada saat diskusi di kedai Kopi Mubtada, Minggu (13/08).

Selain itu, Saut Situmorang pun mempersilahkan kepada publik untuk berperan aktif membantu aparatur penegak hukum dalam rangka mencegah dan menegakan tindak pidana korupsi.

“Kami terbuka untuk pendidikan anti korupsi, baik untuk seminar ataupun diskusi, silahkan untuk berkomunikasi dengan tim dari KPK. Yang jelas untuk dua kasus tersebut kami sedang mendalaminya lebih jauh lagi, siapa yang mengantongi kerugian Negara tersebut,” pungkasnya.

Seperti yang diketahui untuk persoalan dugaan korupsi Tanah Cipto saat ini selain ditangani KPK juga ditangani langsung oleh Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabespolri) yang beberapa waktu silam meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung besaran kerugian Negara. Beberapa pejabat dan politisi pun sudah ada yang dimintai keterangan oleh  tim penyidik, baik dari Mabespolri maupun KPK.

Mubtada: Melawan Korupsi Mulai Dari Kedai Kopi

Cirebon, Setaranews.com - Dalam rangka memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 72, Kedai Kopi Mubtada menggelar acara diskusi dengan tema “Melawan Korupsi dari Kedai Kopi”.  Narasumber yang didatangkan sebagai pemantik diskusi tidak tanggung – tanggung, yaitu Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang.

Seperti yang diungkapkan oleh Ibas, Moderator sekaligus pemilik Kedai, bahwa kerugian akibat korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa tidak hanya dalam bentuk nominal yang bisa dikalkulasikan. Dampak yang jarang sekali diketahui yaitu dari sisi Social Cultural.

“Korupsi sampai saat ini masih menjadi momok menakutkan jika kita mengetahui dampak buruknya. Tidak hanya kerugiaan keuangan Negara. Tak kalah penting yaitu kerugiaan budaya,” ujarnya kepada setaranews.com, Minggu, (13/08)

Lebih lanjut, Ibas menambahkan, di Kota Cirebon sendiri banyak sekali persoalan korupsi yang tentunya berdampak kepada Pembangunan baik infrastruktur dan sumber daya manusianya. Ditambah lagi, minim sekali ruang publik yang membicarakan persoalan – persoalan korupsi di Kota Cirebon.

“Kedai kopi harus menjadi public space bukan Space Available. Kami membuka selebar – lebarnya bagi siapapun yang ingin menggelar diskusi sosial kebudayaan.  Kedai kopi harus mempelopori itu, Mubtada siap,” ucapnya.

Dilain pihak, Wakil Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH-NU) Waswin Janata menanggapi bahwa memang peranan kedai – kedai kopi dalam membangun Republik Indonesia (RI) tidak bisa dipandang sebelah mata.

“Ide untuk menculik Soekarno dan mendorongnya untuk segera memproklamirkan kemerdekaan itu muncul saat Pemuda sedang diskusi sambil ngopi disalah satu kedai di Jakarta. Sejarah mencatatatnya demikian,” tukasnya.  (Epri Fahmi)

Minggu, 14 Mei 2017

Ini Dia Kronologis Dugaan Korupsi DAK 96 M Sebelum Addendum



  • Studi kelayakan dalam perencanan proyek DAK 96 M dinilai di ada - ada



  • Konsultan Pengawas memberikan Surat peringatan kepada kontraktor atas pengerjaan yang tidak sesuai spesifikasi



  • Mengakui adanya kejanggalan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Kota (Pemkot) untuk menghentikan pengerjaan dan melelang ulang



  • Tidak konsisten dan melanggar UU Jasa Kontruksi, Addendum dinilai menabrak  aturan



Cirebon, Setaranews.com - Pemerintah Kota Cirebon (Pemkot) mendapatkan kucuran dana segar yang bernama Dana Aloksi Khusus (DAK) senilai 96 miliar untuk pembangunan infrastruktur publik daerah. Mega proyek tersebut sudah dianggarkan dan tercantum dalam Anggaran Pembelanjaan Daerah Perubahan (APBDP) sejak tahun 2015 silam. Namun, hingga akhir tahun anggaran tersebut tidak terserap, sehingga DAK tesebut kembali dianggarkan pada APBD 2016. Adanya temuan kejanggalan yang menuai polemik  yaitu pada saat   memasuki tahapan lelang.  Publik menilai pelaksanaan proyek tersebut syarat akan pengkondisian. Pemenang tender berujung dilaporkan kepada pihak kepolisian oleh pihak yang kalah dalam proses lelang ke tiga.

Seperti yang dilansir gragepolitan.com, pada saat memasuki tahap lelang yang dengan ketiga kalinya baru selesai,  publik Kota Cirebon menyoroti persoalan yang tampil kepermukaan dengan tajam. Bahkan masyarakat memprediksikan  pelaksanaan proyek tersebut bisa dipastikan bakal menuai banyak permaslahan yang berujung pada  mangkraknya pengerjaan proyek.  Kehawatiran publik tersebut harus dibayar mahal oleh Pemkot, pasalnya kegelisahan warga Kota Cirebon tersebut benar - benar terjadi.

Selain itu, Tempo.com pernah melansir  pengerjaan proyek tersebut dibagi kedalam Tiga paket besar yang disusun berdasarkan Daerah Pilihan (Dapil). Harjamukti (Dapil I. Red), Kesambi - Pekalipan (Dapil II. Red), dan Kejaksan - Lemahwungkuk (Dapil III. Red). Belum lagi, pengerjaan mega proyek DAK 96 M banyak yang di sub - kontrakan pada pengerjaannya. Fakta ini pun kemudian  mengisi sederet kejanggalan yang berimbas pada kualitas hasil proyek tersebut.

Komisi B DPRD Kota Cirebon yang membidangi Ekonomi dan Pembangunan menemukan adanya pengerjaan yang tidak sesuai spesifikasi. Hal tersebut seolah - olah baru diketahui  saat para wakil rakyat tersebut melakukan investigasi dadakan (Sidak) ke beberapa titik pekerjaan, misalnya di jalan Katiasa, jalan Kalijaga dan Perumnas. Dewan melihat adanya pengerjaan betonisasi tidak sesuai dengan spesifikasi, begitupun dengan pengerjaan lainnya seperti aspal, drainase, jembatan dan trotoarisasi.  Dewan sangat pesimis terkait pengerjaan perbaikan infrastruktur Kota Cirebon ini bisa tepat waktu, melihat pengerjaan yang belum mencapai target progres sampai batas waktu kontrak memasuki detik - detik akhir.

"Proyek ini terkesan tanpa perencanaan yang matang dan terkesan asal - asalan. Ada yang belum di beton, ada yang sudah, ada yang pecah, ini karena pengusaha atau kontraktor mengerjakan proyek ini dengan di kerjakan pihak lain atau dishub, dampaknya pengerjaan tidak merata dan tidak memperhatikan waktu pengecoran, " ungkap Watid Syahriar selaku Ketua Komisi B DPRD  seperti dikutip dari  Cirebon Radio, Rabu (23/11/2016).

Menjelang akhir - akhir kontrak pertama sampai tanggal 21 Desember 2016 polemik DAK 96 M semakin memanas, dinamika politik di tataran Eksekutif dan Legislatif menjadi pemandangan yang semakin menambah kejanggalan dalam pelaksanaannya. DPRD Kota Cirebon mengakui adanya pekerjaan yang jauh dari harapan (tidak sesuai spek. Red) sehingga mengeluarkan produk politiknya berupa surat rekomendasi kepada Pemkot untuk memutus kontrak pada kontraktor "nakal", memperbaiki pengerjaan yang tidak sesuai spesifikasi dan melaksanakan lelang ulang.

“Saya masih menunggu laporan hasil rapat Komisi B dengan DPUESDM dan para kontraktor yang digelar sejak tadi siang. Jadi apakah nanti akan ada audit BPK atau retender belum diketahui pasti. Namun yanng jelas semuanya akan diinventarisir dulu terkait pekerjaan DAK tersebut,” kata Ketua DPRD Kota Cirebon, Edi Suripno dikutip dari portal online gragepolitan.com, Kamis (22/12).

DPRD mengakui adanya peringatan konsultan pengawas kepada kontraktor untuk memperbaiki pengerjaan yang tidak sesuai spesifikasi. Dalam laporan konsultas pengawas jelas disebut berbagai pelanggaran yang tidak sesuai dengan dokumen kontrak awal yang diindikasikan melanggar UU Jasa Konstruksi dimana pengerjaan proyek harus sesaui dengan perencanaan, tepat sasaran, tepat waktu, efektif, efisien dan transparan.

"Jika merujuk pada UU Jasa Kontruksi dan peraturan-peraturan yang lain, jelas polemik DAK 96 M ini melanggar aturan tersebut. Ditambah lagi dengan adanya masa perpanjangan kontrak (addendum), ini bukti kongkrit bobroknya sistem pemerintahan yang bisa dikatakan adanya penyalahgunaan wewenang, laporan fiktif dan Mark Up dalam proses pembangunan DAK 96 M tersebut, wajar jika diduga adanya tindakan korupsi didalam pelaksanaannya," ujar Mumu Sobar Muklis, Kordinator Kajian Data Stretegis Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) Cirebon kepada setaranews.
Gelontoran anggaran mega proyek 96 M tersebut dalam rangka mewujudkan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN),  yang bersumber dari APBN untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan perioritas nasional. Sangat disayangkan seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa pelaksanaan pembangunan tersebut menuai banyak kejanggalan, bahkan dari tahap kajian sampai pelaksanaan, dan hasil akhirnya.

Misalnya mulai dari studi kelayakan yang terkesan dibuat - buat, perencanaan, RAB, dan lelang menjadi contoh polemik yang membelitnya. Tak heran jika dalam pelaksanaan pun lebih parah, ketidak sesuaian dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB), tidak sesuai spesifikasi, menabrak kontrak, hasil pengerjaan yang miris karena banyak titik hasilnya tidak sesuai harapan, hancur. Itu semua menjadi pemandangan yang nyata dan kasat mata.

Berikut rincian kronologisnya


  • • DAK mega proyek Rp96 miliar dianggarkan sejak 2015, tapi saat itu tidak bisa teralisasi.

  • DPUPESDM meminta ke Kementerian Pekerjaan Umum agar proyek itu bisa ditunda dan dilelang tahun 2016

  • Memasuki anggaran 2016 dan DAK tersebut kembali di anggarkan. Namun sampai termin pertama tidak kunjung ada pemenang tender

  • • Permintaan itu kemudian disetujui, kemudian dilelang di 2016 dengan catatan tidak boleh tertunda lagi hingga 2017

  • • Lelang pertama Maret 2016 dinyatakan gagal karena tidak ada peserta yang mampu memenuhi syarat kualifikasi.

  • • Lelang kedua Mei 2016 juga kembali gagal, karena peserta tidak ada yang mampu memenuhi kualifikasi.

  • Juni Dilakukan Lelang ketiga yang berujung adanya laporan kepada pihak kepolisian oleh perusahaan peserta lelang yang merasa dirugikan

  • • Agustus 2016, ada pemenang lelang tetapi di saat bersamaan digugat karena disinyalir perusahaan pemenang mencatut ahli K3 milik perusahaan lain.(sumber: radar Cirebon)

  • September - Oktober Konsultan Pengawas menemukan temuan adanya pengerjaan hampir disemua titik Dapil terdapat pengerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi

  • Bersamaa dengan temuan itu yang tidak diindahkan oleh Kontraktor akhirnya Pengawas memberikan surat peringatan kepada kontraktor

  • Desember DPRD Mengluarkan Surat Rekomendasi Kepada Pemkot yang juga tidak diindahkan

  • Isi Surat rekomendasi tersebut yaitu soal sangsi terhadap kontraktor nakal yang kemudian harus diputus kontraknya, kemudian Pemkot direkomendasikan untuk melakukan tender ulang

  • • Kontrak proyek DAK saat itu sampai 21 Desember 2016, dan kontraktor tidak bisa menyanggupinya, pada kenyataannya proyek hanya rampung 56 % (data dari media lokal) dan hanya sebagian yang sesuai spesifikasi

  • • Per 21 Desember tidak ada laporan progress harian dari pengerjaan proyek di lapangan sehingga menyulitkan dalam memanajemen pencapaian proyek dan kurangnya transparansi kepada publik dan laporan diduga fiktif.


Selengkapnya, klik link dibawah ini:

LAPORAN 1: Lapsus: Pemberantasan Korupsi DAK 96 MANGKRAK, Aparat Diboyong Piknik Ke Singapore

LAPORAN 2: Ini Dia Kronologis Dugaan Korupsi DAK 96 M Sebelum Addendum

LAPORAN 3: Semakin Memanas, Ini Dia Kejanggalan Indikasi Korupsi Proyek DAK 96 M Setelah Addendum yang

LAPORAN 4: Rentetan Peristiwa Unik Dugaan Korupsi DAK 96 M Berujung Indikasi Gratifikasi

lAPORAN 5 : Korupsi Mengubah Niat Mulia Pembangunan Menjadi Ketimpangan Ekonomi, Hukum dan Sosial

Rentetan Peristiwa Unik Dugaan Korupsi DAK 96 M Berujung Indikasi Gratifikasi



  • Tiga Orang Tim Panitia Penilaian Hasil Pekerjaan (PPHP) Mengundurkan Diri



  • Beberapa Pejabat Pekerjaan Umum dan Penataan Ruan (PUPR) Mendadak Pensiun Dini



  • Kasi Intel Kejari dan Kasat Intel Polresta di Pindahkan.



  • Dugaan Gratifikasi dalam Kunjungan Kerja (Kunker) Pemerintah Kota (Pemkot) Bersama Forum Komunikasi Musyawah Pimpinan Daerah (FKMPD).



Cirebon, setaranews - Tak kurang hampir setiap minggunya ada saja aksi demonstrasi dari berbagai kalangan sebagai bentuk tekanan publik yang menunut proses penegakan hukum atas dugaan korupdi DAK 96 M dilakukan. Awalnya, kelompok masyarakat yang memiliki inisiatif utuk mengawal kasus yaitu dari Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) Cirebon, yang kemudian berkonsolidasi dengan elemen mahasiswa lain dan beralih menggunakan nama Aliansi Mahasiswa Cirebon (AMC). Target yang pernah dan sering menjadi sasaran aksi tersebut yaitu Pemkot, DPRD, DPUPR, dan Kejari. Tampaknya, tekanan publik tersebut cukup mempengaruhi psikologis aparatur yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kejadian unik pertama, yaitu ketika polemik semakin panas dan semakin nampak ke permukaan pada saat tim PPHP melakukan pengecekan ulang dimana hasilnya yang akan menjadi rujukan diterima atau tidaknya proyek tersebut. Jika melakukan penilian dengan sembarang, maka tidak sedikit yang menilai bahwa PPHP akan menjadi tumbal pertama yang akan dijebloskan masuk jeruji besi.

Baca: AMC: PPHP Itu Artinya Panitia Pemberi Hasil Palsu

Akibat ancaman dari publik tersebut disambut dengan reaksi pengunduran diri  tiga orang dari lima anggota tim PPHP  dengan alasan beban kerja yang terlalu berat. (sumber: radarcirebon). Reaksi cepat dari tim yang mengundurkan diri tersebut bisa dibilang terkena serangan psikologis yang menempel dibenak akibat bayang – bayang jeratan hukum yang sudah menantinya didepan mata. Pasalnya, sebelum mengundurkan diri terjadi terlebih dahulu serangkaian demonstrasi ke Kejari atas dugaan korupsi yang semakin memanas.

Pengunduran diri dari PPHP itu justru semakin menambah panas dinamika politik yang ada. Tekanan publik semakin masif dengan berbagai agenda pelawanan pemberantasan korupsi. Misalnya, tidak sedikit Organisasi Kemasyaratan (Ormas) ikut menggelar demonstrasi menuntut Kejaksaan menegakan hukum. Gerakan Mahasiswa Bawah Indonesia (GMBI) meluruk kantor Kejaksaan dengan membawa ratusan massa aksinya. Tuntutannya sama, penegakan proses hukum dugaan kprupsi DAK 96 M. Kemudian Forum Ormas dan LSM pun turut serta menggelar aksi demonstrasi sampai dua kali menggeruduk DPRD yang dinilai sarangnya mafia proyek termasuk pada kasus DAK 96 M (sumber:gragepolitan)

Suasana panas dan tegang tidak hanya pada aksi – aksi dijalanan, hawa yang sama terasa pada saat gelaran diskusi publik yang diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa Semua Tentang Rakyat (LPM Setara) di Auditorium Unswagati Cirebon. DPRD, Pemkot, Kejari dan Keplosian diserang bertubi – tubi dengan berbagai argumentasi dan menjadi bulan – bulanan mulai dari praktisi hukum, akademisi dan mahasiswa. Memiliki firasat tidak enak, perwakilan dari Pemkot Wahyo, yang merupakan Asisten Daerah meninggalkan forum (Walk Out) terlebih dahulu dengan alasan ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan. (sumber: redaksi setaranews.com)

Ketiga, seperti biasanya, tekanan politik memang kerap terjadi dan dialami para penegakan hukum setiap menangani perkara dugaan korupsi. Modus proses politik ini tidak jarang, justru menghambat bahkan seolah menjadi legitimasi (pengakuan) atas mangkraknya berbagai proses hukum dugaan korupsi. Proses politik dengan melakukan mutasi pejabat penegak hukum baik Kejaksaan atau pun Kepolisian kerap terjadi pada saat berbagai dugaan korupsi mencuat dan sedang ditangani, termasuk yang menimpa DAK 96 M.

Berdasarkan informasi dari internal Kejari dan Polresta bahwa Kasi Intel yang sedang menangani dugaan korupsi DAK 96 M tersebut tidak lagi bertugas dwilayah hukum Kejari Kota Cirebon. “Betul, Pak Kasi Intel memang sudah dipindahkan keluar kota,” ujarnya yang enggan disebutkan identitasnya ketika ditemui di ruangannya. Berdasarkan dari sumber yang sama informasi bahwa Kasat Intel pun ikut dipindahkan ke luar kota. Pada saat dikonfirmasi, salah seorang dilingkungan Polresta pun membenarkan informasi tersebut. “ Belum lama ini, kurang lebih seminggu Pak Kasat memang sudah pindah,” ucapnya, yang juga tak mau disebutkan namanya.

Baca: Kejari Akui Adanya Indikasi Kerugian Uang Negara di Proyek DAK 96 M

Keempat, setelah  para APH yang dipindahkan. Kejadian serupa yang unik dan menarik menimpa lembaga teknis yang melaksanakan pengerjaan megaproyek DAK 96M yaitu Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat (DPUPR). Menariknya membuat kejanggalan semakin mencuat, pasalnya beberapa pejabat esselon III yang merupakan Kepala Bidang (Kabid) mendadak mengundurkan diri alias mengajukan pensiun dini dengan alasan yang klasik yaitu beban kerja  terlalu berat (sumber: cirebonpos)

Baca:  Soal Pengunduran Diri Pejabat DPUPR, Ini Kata Walikota Cirebon

Kelima, peristiwa terahir ini yang kembali menyulut emosi publik di Kota Cirebon. Penilaian yang belum selesai, pengerjaan yang carut marut, dan penegakan hukum yang tak jelas Pemkot kembali bertingkah diluar akal sehat dan menciderai nurani dengan agenda Kunjungan Kerja (Kunker) dan Piknik ke Singapura dengan dalih dalam rangka meningkatkan pembangunan dalam berbagai sektor harus ada komparasi ke daerah lain yang pembangunannya baik dan amat kondusif.

Lawakan yang mirip dengan jalan – jalan ini mengajak semua pejabat Musyawah Pimpinan Daerah (Muspida) mulai dari Walikota, Ketua DPRD, Kepala Pengadilan Negri, Kepala Kejari, Komandan Kodim (Dandim), Komandan Rayon Arhandud dan Komandan Denpom.  Uniknya lagi tidak hanya forum muspida yang diajak, beberapa pejabat Pemkot pun mengisi daftar agenda tersebut seperti Kadis PUPR, Direktur PDAM, yang difasilitasi atau sebagai pelaksana Kantor Wilayah Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) dengan menggunakan anggaran APBD senilai Rp 132 juta.

Tema Kunjungan Kerja dan juga mereka yang mengikuti agendanya sangat tidak masuk akal. Ditambah lagi sesuai data dan informasi yang diperoleh dari daftar Acara Kunjungan Kerja tersebut yang memakan waktu empat hari mulai dari tanggal 18 – 21 Mei 2017 (Kamis - Jumat. Red)  agenda Kunker ke Pemda Batam hanya memiliki waktu luang satu jam setengah yaitu pada hari Jumat pukul 13.00 – 14:30 .

Menurut Aliansi Mahasiswa Cirebon (AMC), agenda tersebut justru bisa dikategorikan gratifikasi yang bertentangan dengan aturan perundang – undangan tentang pemberantasan korupsi. Pasalnya, saat ini sedang mencuat dugaan korupsi DAK 96 M, kemudian dengan serta merta Forum Muspida dengan menggunakan uang rakyat menggelar piknik ke luar negri.

“Tidak sembarang yang namanya Forum Muspida bisa berpergian, apalagi ini, rombongan piknik sampai ke luar negeri. Bisa tabrakan dengan hukum dan juga sangat bisa terjerat pasal gratfikasi Pasal 12 UU No. 20/2001,” pungkas Arif, Jubir AMC.

Berdasrkan kajian dari AMC Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 yaitu Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi  pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Selanjutnya di Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001 disebutkan setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Jika Forum komunikasi muspida yang akan melakukan agenda Kunker dan Melancong ke Singapore tersebut tidak melaporkan ke KPK maka bisa terkena sanksi hukum sesuai dengan Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001 pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Selanjutnya Klik Link dibawah Ini:

LAPORAN 1: Lapsus: Pemberantasan Korupsi DAK 96 MANGKRAK, Aparat Diboyong Piknik Ke Singapore

LAPORAN 2: Ini Dia Kronologis Dugaan Korupsi DAK 96 M Sebelum Addendum

LAPORAN 3: Semakin Memanas, Ini Dia Kejanggalan Indikasi Korupsi Proyek DAK 96 M Setelah Addendum yang

LAPORAN 4: Rentetan Peristiwa Unik Dugaan Korupsi DAK 96 M Berujung Indikasi Gratifikasi

lAPORAN 5 : Korupsi Mengubah Niat Mulia Pembangunan Menjadi Ketimpangan Ekonomi, Hukum dan Sosial

Rabu, 03 Mei 2017

Laporan Investigasi: Menolak Lupa, Ini Dia Daftar Sederet Kasus Korupsi di Kota Wali

Cirebon, Setaranews.com – Cuaca itu terasa panas, entah siang maupun malam. Suasana yang memang menjadi ciri khas wilayah pesisir pantai. Cirebon, berada tepat dijalur pantura yang menghubungkan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letaknya secara geografis memang sangat strategis, tidak heran jika kemudian dijadikan salah satu wilayah yang bisa mendongkrak perekonomian secara nasional maupun regional. Akibatnya, Cirebon saat ini memang menjadi daerah tujuan, baik itu wisatawan maupun pengusaha, dan juga penguasa. Adapula citra negatif yang mengikuti dibelakangnya, yang ini begitu menyayat hati dan akal sehat rakyat yang menghuninya, yaitu sempat mendapat gelar dan dianugrahi sebagai Kota Terkorup dan ternyaman bagi para Koruptor.

Paska tumbangnya Orde Baru yang disimbolkan dengan lengsernya Presiden Soeharto menjadi babak baru bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dimana setelah itu lahirlah suatu dekade yang disebut era Reformasi. Segala sesuatu yang bersifat sentralistik, otoriter, dan anti-demokrasi yang memusatkan kekuasaan ditangan presiden mengakibatkan kuatnya praktik korupsi dilingkaran kekuasaan. Reformasi dianggap lebih baik karena kekuasan terdistribusi secara desentralisasi, akuntabel, transparan dan lebih demokratif (Baca: Demokrasi Konstitusi Karya Adnan Buyung Nasution). Akan tetapi, seiring berjalannya waktu berbagai kelemahan dan kejanggalan mulai tampak, terutama mengenai praktik korupsi yang semakin massif dan menjalar hampir diseluruh daerah, tidak terkecuali dengan Kota Cirebon. Alhasil harapan atas cita – cita bangsa dan negara semakin jauh tak terjangkau.

Secara tekstual dan kontekstual adanya era reformasi yang ditandai dengan adanya pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif sesuai teori Montesque lebih baik ketimbang masa sebelumnya yang memusatkan kekuasaan secara penuh ditangan presiden. Adanya pemerintahan daerah yang diatur dalam UU merupakan si jabang bayi yang lahir dari Rahim reformasi dengan demokrasi sebagai ibu kandungnya. Namun, lambat laut sistem tersebut menggerogoti tubuhnya sendiri, hal ini dibuktikan dengan menjalarnya praktik penyalahgunaan kekuasaan yang cenderung korup menjalar sampai ke pelosok negeri. Tidak sedikit kepala daerah yang menjadi penghuni tetap jeruji besi. Bahkan tidak hanya eksekutif, anggota DPRD dan para aparatur penegak hukum (Kejaksaan dan Kepolisian) ikut menemani karena terjerembab pada kasus yang serupa.



Gelar Kota Terkorup

Hari itu, suasana di daerah Cirebon begitu panas. Bukan karena matahari yang begitu menyengat hingga ke ubun – ubun. Atau karena derai kendaraan yang mengeluarkan polutan yang semakin tak tertahan oleh resapan – resapan ruang terbuka hijau yang memang sangat minim. Melainkkan akibat adanya informasi yang menghebohkan, masyarakat tumpah ruah dengan amarah karena mendengar daerah tercintanya itu mendapat anugerah sebagai daerah yang berpredikat Terkorup.

Gelar sebagai Kota Terkorup itu datang dari sebuah lembaga bernama Transparency International Indonesian (TII). Media online Kompas.com pernah melansir pada tanggal 9 bulan 11 tahun 2010, bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Cirebon sama dengan Pekanbaru yaitu sebesar 3,61.

"Pemberitaan media lokal ataupun nasional memang dipenuhi oleh kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh aparat di sana," kata Manajer Tata Kelola Ekonomi Transparency International Indonesia (TII), Frenky Simanjuntak, Selasa (9/11/2010) di Jakarta.

Frenky menjelaskan, korupsi di kedua kota tersebut masih lazim terjadi dalam sektor-sektor publik. Pemerintah daerah dan penegak hukum sendiri tampak kurang serius memberantas korupsi.

"Hal demikian menyebabkan persepsi para pelaku bisnis di Pekanbaru dan Cirebon menjadi rendah," ujar dia.

Tidak hanya pada tahun 2010, empat tahun setelah itu, Cirebon kembali digemparkan dengan kabar yang serupa. Pada saat itu, media lokal Radar Cirebon tertanggal 22 November 2014 mengeluarkan pemberitaan bahwasannya Kab/Kota Cirebon kembali menempati jajaran teratas sebagai kota terkorup versi Indonesia Corruption Watch (ICW).

Menurut pemaparan Kepala Kejaksaan Negeri Sumber Dedie Triharyadi SH MH dalam konferensi pers, Cirebon merupakan kabupaten/kota terkorup kedua se-Indonesia. Anehnya, selama ini tidak ada pejabat tinggi daerah yang tersentuh oleh hukum. “Penindakan tindak pidana korupsi hanya pada tataran kuwu, sebab pejabatnya untouchable,” tuturnya.

Kasus Dugaan Korupsi Tahun ke Tahun di Cirebon (2010 – 2017).

Jika merujuk pada hasil penelitian TII sebelumnya yang dimana salah satu acuan penelitiannya dilihat dari pemberitaan – pemberitahaan media lokal mengenai dugaan – dugaan korupsi maupun yang sudah ditetapkan sebagai tersangka menjadi tidaklah heran memang jikalau mendapatkan gelar terkorup. Berdasarkan hasil pantauan tim redaksi kami sepanjang tahun 2010 – 2017 tidak sedikit pemberitaan mengenai dugaan – dugaan korupsi yang mengisi halaman utama entah cetak maupun elektronik.

Sedikitnya jika merujuk pada database tim redaksi setaranews terdapat 10 perkara dugaan korupsi yang melanda Cirebon, entah kota maupun kabupaten. Untuk mengingatkan kembali ingatan publik atas kasus – kasus yang pernah melanda kami akan menyajikan (review) sebagai berikut:

Pertama (periode 2008 – 2013), Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sempat menjadi sorotan publik Kota Cirebon. Dimana, ramai pemberitaan mengenai dugaan penyalahgunaan wewenang, sampai pembohongan publik. Polemik ini bermulai dari kenaikan tarif karena pihak PDAM mengklaim bahwa perusahaan BUMD tersebut mengalami kerugian yang cukup besar. Alasan tersebut menjadi legitimasi untuk menaikan tarif, yang dimana masyarakat mengeluh karena tidak di iringi dengan kualitas maupun kuantitas pelayanannnya.

Polemik semakin mencuat nanjak ke publik dimana Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) merilis bahwa PDAM mengalami keuntungan yang cukup signifikan. Hasil audit BPK ini yang kemudian membuat rakyat Kota Cirebon semakin amarah. Karena PDAM diduga melakukan pembohongan publik. Berbagai reaksi pun bermunculan. Aksi unjukrasa atas kasus ini tidak bisa dihindarkan, mahasiswa mengecam atas praktik yang tidak adil tersebut.

Berkas dugaan korupsi di tubuh PDAM sudah masuk pada Kejari Kota, Kepolisian Kota, bahkan sampai kepada KPK. Seperti diketahui bersama, memang sudah tidak aneh adanya berbagai kasus dugaan korupsi di PDAM, karena BUMD yang satu ini digadang – gadang menjadi “ATM BERSAMA” mafia - bajak uang rakyat. Namun, sampai sejauh ini tidak ada kejelasan hukum, apakah diberhentikan atau dilanjutkan. Pada periode ini pula sebetulnya tidak hanya menimpa PDAM, lembaga lain pun tidak mau kalah dengan ikut – ikutan membajak. Misalnya yaitu soal dugaan korupsi proyek renovasi rumah dinas wali kota Subardi, proyek rehabilitasi Gedung Wanita, pengadaan pompa air PDAM, dan korupsi dana jaring aspirasi masyarakat (Jasmara) DPRD tahun 2008.

Kedua (periode 2014 - 2015), mungkin masih teringat di beberapa kepala masyarakat Kota Cirebon sebuah tindak tanduk yang kembali menodai demokrasi dan konstitusi. Pada tahun 2014 silam, pemerintahan di Kota Cirebon kembali menorehkan catatan hitam bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik, akuntabel, transparan dan reformasi birokrasi dimana tidak ada perbuatan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Sayang prinsip tersebut hanya isapan jempol belaka. Dugaan penyalahgunaan wewenang dan gratifikasi kembali menjangkiti tubuh aparat Negara. Dalam kasus ini yaitu soal pembelian mobil dinas berupa Nisan X- Trail untuk pimpinan Musyawarah Pemimpin Daerah (MUSPIDA) yaitu Walikota, Ketua DPRD, Kepala Kejari, Kapolres, Dandim, dan Kepala Pengadilan Negeri Kota Cirebon.

Kasus tersebut mencuat lantaran pembelian mobil dinas tersebut tidak sesuai dengan nomenklatur yang ada dalam APBD. Dimana didalamnya tercatat untuk pembelian mobil bus Pemkot, namun pelaksanaannya untuk membeli mobil dinas dengan alasan pinjam pakai. Kali seperti yang sudah – sudah menjadi bahan amarah masyarakat. Demonstrasi kerap dilakukan oleh mahasiswa untuk menuntut proses hukum karena dinilai adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dan gratifikasi yang merugikan keuangan Negara (Korupsi).

Ketiga (periode 2014-2015), selanjutnya yaitu pada tahun ini pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tidak sesuai dengan kuota rombel yang tertera dalam Perwali yang merujuk pada perda PPDB. Unsur suap dan penyalahgunaan wewenang kuat sekali dalam kasus yang satu ini. Akibatnya tidak sedikit sekolah unggulan yang overload. Sebaliknya, beberapa sekolah swasta hampir gulung tikar lantaran tidak kebagian murid baru. Ketidakadilan dalam pelaksanaannya menjadi salah satu ciri pelaksanaan pemerintahan di Cirebon jauh dari konsep bersih.

Keempat (periode 2014-2015) dan kelima yaitu mengenai kasus adanya mark up dalam pengadaan tanah untuk RTH dan pengadaan tanah untuk pengembangan Kampus II yang menimpa salah satu perguruan tinggi negeri. Dalam kasus ini Kadis DKP menjadi tersangka, dan Mantan Rektor juga menjadi tersangka. Keenam, tidak terlewatkan pula kasus korupsi Bansos APBD Kabupaten Cirebon yang menjerat wakil bupati.

Ketujuh (periode 2015 – 2016), kasus yang ini dalam waktu berdekatan kalau tidak bersamaan, yaitu soal kunjungan kerja DPRD yang diduga fiktif. Polres Cirebon Kota pada saat itu telah melakukan penyelidikan lebih jauh mengenai laporan adanya dugaan perbuatan melawan hukum oleh oknum DPRD Kota Cirebon. Dimana terdapat oknum yang diduga mencairkan dana Kunker tidak tepat waktu dan malah diduga fiktif karena memang tidak mengikuti kunker.

Kedelapan dan Kesembilan (Periode 2016 – 2017), kasus yang masih hangat dan mungkin masih teringat oleh publik di Kota Cirebon yaitu mengenai pungutan liar (pungli) dalam kasus dugaan rekrutmen ilegal anggota Badan Penanggulangan Kebakaran (Balakar) pada Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Kota Cirebon. Dikabarkan bahwa mereka yang ingin diterima sebagai honorer harus mengeluarkan kocek minimal Rp 25 juta per orang. Tidak sedikit yang termakan bujuk rayu kasus ini, menurut informasi yang beredar luas di media sdikitnya 200 orang tertipu.

Selanjutnya yaitu kasus yang kembali mencuat dan hangat di pemberitaan dengan "turun gunungnya" Komisi Pemberantasan Korupsi (Kasus Tanah Cipto). Kasus tersebut bermula dari penjualan sebidang tanah seluas 1770 meterpersegi (m2) di Jalan Cipto Mangungkusumo Kota Cirebon. Penjualan tanah yang berada di jalur strategis itu dilakukan melalui PD Pembangunan hanya saja alam pelaksanaannya didugĂ  banyak kejanggalan. Penjualan tanah tersebut, Pemkot melalui PD Pembangunan hanya mendapat kompensasi yang tak sebanding dengan luas dan lokasi yang strategis itu membuat pertanyaan sejumlah pihak, karena PD Pembangunan hanya mendapat kompensasi sebesar Rp. 4 Miliar secara bertahap. Sumber internal pemkot yang enggan disebutkan mengatakan, tanah yang statusnya sebagai aset itu ada kejanggalan pada proses pelepasannya.

Terakhir kesepuluh (periode 2017), kasus terakhir yang paling fenomenal selama kurun waktu diatas, karena nilainya yang sangat besar. Kasus yang satu ini merupakan sejarah di Kota Cirebon, lantaran baru kali ini mendapatkan kucuran Dana Alokasi Khusus untuk Infrastruktur publik dari APBN senilai 96 M.

Kejari Kota Cirebon telah mengendus adanya perbuatan melawan hukum yang diindikasikan dapat merugikan keuangan Negara dalam pelaksanaannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai hasil akhir laporan pertanggungjawaban pengerjaan (tahun 2017). Kasus megaproyek DAK ini kembali panas jadi sorotan publik. Uang dengan nominal yang tidak kecil itu hampir sama sekali tidak bisa dirasakan manfaatnya oleh warga. Tidak sedikit pengerjaan proyek yang sudah hancur, rusak, dan tidak berfungsi. Hampir disetiap titik (Dapil I, 2, 3) pengerjaannya tidak sesuai dengan spesifikasi.

Ditambah lagi dengan adanya Addendum (pepanjangan kontrak) karena pembangunan sempat mangkrak. Sampai masa addendum usai pun, tetap saja pengerjaan masih belum berhenti. Baru setelah kurang lebih satu minggu kontrak habis, akibat dorongan publik, pengerjaan dihentikan. Kontraktor mengklaim pengerjaan sudah selesai semua (100%). Namun hal itu dibantah oleh warga, yang menurutnya sudah menjadi rahasia umum bahwa pelaksanaan proyek tersebut gagal total. Menurut warga kejanggalannya bisa terlihat kasat mata.

Dugaan korupsi dalam kasus ini mengundang reaksi keras, tidak sedikit elemen warga mulai dari Ormas, LSM, Komunitas Motor sampai mahasiswa turun kejalan melakukan aksi demonstrasi menggugat Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon untuk melakukan proses hukum dan mengusut hingga tuntas. Mafia dan para koruptor harus ditangkap dan diadili, begitulah kiranya tuntutan masyarakat di Kota Cirebon akhir-akhir ini. Mereka mengatakan sudah muak dan melek selalu disuguhkan dengan kasus-kasus dugaan korupsi di kota tercintanya.

Kejaksaan Sebagai Alat Negara untuk Penegakan Hukum

Sejalan dengan visi-misi pemerintahan dan cita-cita bangsa, maka setiap program yang akan dilaksanakan harus sesuai dengan garis besar haluan Negara. Misalnya dalam hal ini kebijakan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan juga pengentasan kemisikinan di daerah-daerah terpencil, terdepan dan terluar. Namun sayangnya niatan baik tersebut, sebagaimana otonomi daerah justru kontraproduktif. Praktik korup justru semakin merambat dengan membabi buta ke setiap daerah. Tidak terkecuali dengan Cirebon. Tidak sedikit kasus dugaan-dugaan korupsi menghiasi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan hampir tiap tahun.

Jika dilihat dari sitem tersebut maka jelas orientasi Kejaksaan pada kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan rakyat. Padahal, sejatinya Kejaksaan menjungjung tinggi hak asasi rakyat sebagai pedomannya dalam melakukan penegakan hukum sebagaimana Negara hukum (The Rule of Law). Bagi para penegak hukum yang tidak memiliki kepentingan memperjuangkan rakyat memang sulit sekali untuk melaksanakan penegakan hukum, yang kemudian secara tidak sadar perlahan demi perlahan bukan menjadi lembaga yang melindungi rakyat, justru sebaliknya menjadi lembaga pelanggar HAM terbesar.

Maka dari itu, yang tidak kalah penting dalam era reformasi dengan otonomi daerahnya harus diimbangi dengan supremasi hukum. Para penegak hukum secara harfiah harus menempatkan posisinya sebagai alat Negara, bukan alat pemerintahan. Pasalnya, jika hanya menjadi alat pemerintah maka proses tekanan politik kekuasaan akan semakin kencang melakukan interfensi dan intimidasi kepada para penegak hukum. Konstitusi dan UUD jelas menyebutkan bahwa Kejaksaan fungsi utamanya adalah melaksanakan penegakan hukum yang berurusan dengan kepentingan publik, dalam hal ini yaitu mengenai korupsi.

Sejarah Pemberantasan Korupsi Di Cirebon

Seperti yang sudah dipaparkan diatas, hampir setiap tahun dalam periode tersebut selalu saja ada dugaan – dugaan korupsi yang melanda pemerintahan di Kota Cirebon yang melibatkan trias politika si pilar demokrasi yaitu Eksekutif (Pemkot), Legislatif (DPRD) dan Yudikatif (Kejaksaan, Pengadilan dan Kepolisian). Kasus – kasus tersebut dilihat dari laporan – laporan yang sudah masuk di Kejaksaan Kota dan Polres Kota. Hanya saja sejauh ini yang sampai ke tahap meja hijau dan ditetapkan sebagai tersangka belum seberapa, ketimbang dengan laporan yang masuk.

Berbagai dugaan korupsi tersebut ada yang ditangani oleh Kejari, dan ada juga yang ditangani oleh Polres Kota. Namun seperti kasus – kasus sebelumnya, baik itu Kejari ataupun pihak kepolisian hanya sesumbar dan mengobral janji – janji dengan mengatakan bakal mengusut kasus sampai tuntas. Sayangnya klaim tersebut hanya sebatas omong kosong yang tidak diiringi dengan sikap dan perbuatan nyata. Buktinya beberapa oknum yang memang terlibat hampir disemua dugaan korupsi tersebut masih berkeliaran dengan bebas seraya menikmati hasil dari usahanya membajak uang rakyat. Korupsi merupakan kejahatan luar bias, tindak pidana khusus, yang memang perlu penanganan yang lebih khusus dan focus. Jika dilihat dari segi kemanusiaan, pelaku korupsi jelas merupakan penjahat kemanusiaan yang paling keji. Penjahat yang menghancurkan demokrasi. Rakyat yang taat membayar pajak dengan kerja keras dan keringatnya yang paling dirugikan. Karena akibat ulah koruptor tersebut hak – hak yang seharusnya didapkan oleh rakyat tidak kunjung terpenuhi. Secara tidak langsung, korupsi menggerogoti rakyat yang lama kelaman bisa membunuhnya.

Jika Kejaksaan menjalani Tugas Pokok dan Fungsi (tupoksi) sebagai alat negara untuk menegakan hukum maka harus menjadi pilar demokrasi yang kokoh, dan menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Sama halnya dengan Kejaksaan, Kepolisian pun sama. Polisi jika dilihat dari strukturnya yang langsung dibawah presiden memang sangat riskan terjadinya konflik kepentingan. Alhasil, polisi tidak bisa leluasa menegakan hukum. Termasuk didaerah pun sama, terkena imbas dari sistem tersebut. Polisi sendiri padahal memiliki sendiri tupoksinya sebagai penegak keadilan dan melindungi kepentingan publik.

Terlihat pula dari deretan kasus tersebut bahwa hukum sulit sekali ditegakan di kota wali. Politik jadi panglima, sedangkan hukum jangankan jadi panglima, jadi acuan penyelenggaraan pemerintahan pun tidak diindahkan. Wajar saja jika para koruptor betah dan nyaman tinggal di Cirebon, karena memang hukum tidak berlaku. Padahal, sebelumnya Cirebon pernah memiliki sejarah luar biasa dalam membentuk NKRI sampai sejarah pemberantasan korupsi. Seperti dalam pendirian NKRI Cirebon memproklamasikannya terlebih dahulu pada tanggal 15 Agustus 1945. Cirebon dan sewilayah tiga merupakan tempat strategis yang dimana sedari dulu jadi salah satu simpul utama pergerakan rakyat melawan kolonial. Dalam hal penegakan hukum pun, belum terlalu usang kiranya setelah reformasi, tepatnya periode 1999 – 2004 Kejari Kota Cirebon pernah menorehkan tinta emas dengan pengungkapan kasus korupsi yang menyeret seluruh anggota DPRD dan beberapa pejabat di Pemkot pada kasus APBD Gate 2004.

Era itu meupakan catatan positif bagi penegakan hukum yang tidak pandang bulu dalam mengusutnya sampai tuntas ke akar-akarnya. Namun, tidak dipungkiri pula keberanian penegak hukum mengungkap kasus korupsi lantaran adanya dorongan yang sangat kuat dari mahasiswa yang tidak pernah lelah mengawal proses hukum bertahun-tahun dalam kasus tersebut. Berbagai macam demonstrasi terus dilakukan di depan kantor Kejari. Bahkan mahasiswa pada waktu itu, untuk mendorong Kejari menuntaskan kasus sampai melakukan aksi mogok makan yang sampai menggemparkan jagat nasional. Perjuangan mahasiswa tidak sia-sia, akhirnya kasus APBD Gate masuk meja hijau, terdakwanya pun merupakan tokoh-tokoh elit politik di Kota Cirebon.

Peranan Mahasiswa dalam Menjaga Demokrasi dan Merawat Konstitusi

Praktik korup yang semakin massif di era otonomi ini sangat merugikan rakyat yang berada di daerah-daerah. Karena korupsi tentu telah merusak mental birokrat yang kemudian berimbas pada kualitas pelayanan publik yang sangat buruk. Korupsi harus kita ketahui secara seksama merupakan tantangan terbesar para penegak hukum di era reformasi. Tidak ada jaminan, entah itu rezim otoriter ataupun rezim demokratis jika dikaitkan dengan supremasi hukum. Justru yang semakin memprihatinkan sudah banyak penegak hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum. Adanya alat Negara untuk memberantas korupsi sebagi panglima dalam menyelesaikan penyakit yang sudah akut tersebut. Malah si penegak hukm tersebut menjadi masalah utama, bukan lagi sebagai penyelamat.

Dalam kasus DAK 96 M ini pun, mahasiswa terus menggelorakan suara anti korupsi ke Kejari. Aliansi mahasiswa dibentuk untuk menghancurkan dan merobohkan dinding tebal kekuasaan yang semakin sewenang-wenang. “Demonstrasi merupakan ritual sekaligus tradisi untuk merawat demokrasi, sekaligus menjamin hak warga Negara untuk tetap terpenuhi. Terutama membongkar kasus korupsi yang menyengsarakan rakyat banyak," ujar Mumu Sobar Muklis, Jubir Aliansi Mahasiswa Cirebon.

Menurut mahasiswa, jika ingin mengembalikan citra positif Cirebon sebagai kota religi, kota udang, kota berintan, perlu adanya pembuktian kepada publik. Salah satunya dan yang paling utama yaitu penegakan hukum harus berjalan sesuai amanat konstitusi. “Jika tidak, wajar saja jika kota terkorup dan kota yang paling aman dan nyaman bagi koruptor kembali menjadi ciri khas. Citra ini sangat buruk, karena anti-demokrasi dan anti-konstitusi yang berpegangan kepada supremasi hukum dan harkat martabat kemanusiaan dimana hak rakyat harus terpenuhi,” pungkasnya.

Tidak hanya penegak hukum, mahasiswa sebagai kelompok yang bisa mengimbangi kekuasaan dan sekaligus penyambung lidah rakyat kepada pemerintah juga harus tetap menjaga solidaritas. Pasalnya, pada saat membongkar kasus APBD Gate peranan mahasiswa begitu besar. Tanpa dorongan dari mahasiswa penegakan hukum pada saat itu tidak akan menorehkan sejarah baik bagi Cirebon.

“Peranan mahasiswa begitu strategis. Kita pernah juga menorehkan tinta emas. Politik nilai untuk menjaga konstitusi dan demokrasi harus terus diperjuangkan oleh mahasiswa. Jika diantara nilai-nilai Keadilan, Kesetaraan, Kemanusiaan, Solidaritas, Demokrasi ada yang dikhianati maka sudah menjadi tanggung jawab moral mahasiswa sebagai intelektual berada di garda terdepan untuk melawannya. Para penegak hukum pun sama, fondasi konstitusi berada dipundakya. Akankah sejarah bisa kembali terulang? Mari kita perjuangkan bersama,” tandasnya.

Ancaman serius matinya negara hukum terus menghantui kehidupan rakyat Indonesia yang sedang dan terus memperbaiki diri agar sejalan dengan nilai demokrasi, rule of law, HAM dan konstitusionalisme. Fokus utamanya tidak lain yaitu penegakan hukum mengenai korupsi dari pusat sampai pelosok daerah. Namun, fakta yang kembali menyakiti hati nurani dan akal sehat lantaran kasus-kasus korupsi yang ada justru digagas oleh birokrat, polits, dan juga penegak hukumnya sendiri. Adanya intervensi kekuasaan atau dalam kaitan kepentingan politis penguasa justru melemahkan penegakan hukum ketimbang ruhnya sebagai alat untuk mengatur.

Jika sudah seperti ini, memang sulit sekali mencari keadilan, kemanusiaan dan demokrasi. Seperti apa yang pernah disampaikan oleh Soedjatmoko yang menjadi fenomenal dan sebuah pesan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwasannya Demokrasi, Kontitusi, HAM, supremasi hukum tidak akan pernah tercapai jika tidak melibatkan komponen-komponen elemen sosial untuk mendorong dan mengawal proses-proses tersebut. Kelompok sosial yang mampu mengimbangi kekuasaan sepanjang sejarah umat manusia di dunia, hanya kelompok menengah atas yang memiliki tanggung jawab moral intelektual, khusunya dalam hal ini yaitu mahasiswa. Sejarah mencatatnya demikian, entah nasional maupun lokal. Mahasiswa memiliki peranan penting sebagai agen perubahan dan kontrol sosial dari kesewenang – wenangan, dan penindasan manusia terhadap manusia. Akankah torehan emas sejarah itu kembali berulang?

*Penulis adalah Epri Fahmi Aziz, Anggota Luar Biasa Lembaga Pers Mahasiswa Semua Tentang Rakyat (LPM SETARA) dan Penulis Lepas di Berbagai Media

Notes: Tulisan ini diambil dari berbagai sumber referensi, baik media cetak, elektronik, online, dan wawancara-wawancara kepada pelaku dan saksi sejarah.

Kamis, 21 Juli 2016

Laku Pejabat

Katamu, Kau pembela rakyat

Tak kau biarkan kami melarat

Namun kau bertindak bagi keparat

Hak-hak kami, kau bebat

 

Mobil menterengmu hinggap di jalanan

Setelan jasmu harga jutaan

Pergi tamasya ke luar negeri

Tingkahmu, bikin kami gigit jari

 

Di singgasanamu kau berputar-putar

Menghamburkan uang di atas perjanjian

Ah.. di mana hati nuranimu, Tuan?

Tidak kah kau ingat, istanamu kami yang buat?

 

Di tengah keterpurukan negeri

Kau pergi ingkari janji

Di ambang kehancuran bangsa

Kami menjerit putus asa

 

Anisa Arwilah

Mahasiswi Fakultas Ekonomi Unswagati