Rabu, 03 Mei 2017

Laporan Investigasi: Menolak Lupa, Ini Dia Daftar Sederet Kasus Korupsi di Kota Wali

Cirebon, Setaranews.com – Cuaca itu terasa panas, entah siang maupun malam. Suasana yang memang menjadi ciri khas wilayah pesisir pantai. Cirebon, berada tepat dijalur pantura yang menghubungkan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letaknya secara geografis memang sangat strategis, tidak heran jika kemudian dijadikan salah satu wilayah yang bisa mendongkrak perekonomian secara nasional maupun regional. Akibatnya, Cirebon saat ini memang menjadi daerah tujuan, baik itu wisatawan maupun pengusaha, dan juga penguasa. Adapula citra negatif yang mengikuti dibelakangnya, yang ini begitu menyayat hati dan akal sehat rakyat yang menghuninya, yaitu sempat mendapat gelar dan dianugrahi sebagai Kota Terkorup dan ternyaman bagi para Koruptor.

Paska tumbangnya Orde Baru yang disimbolkan dengan lengsernya Presiden Soeharto menjadi babak baru bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dimana setelah itu lahirlah suatu dekade yang disebut era Reformasi. Segala sesuatu yang bersifat sentralistik, otoriter, dan anti-demokrasi yang memusatkan kekuasaan ditangan presiden mengakibatkan kuatnya praktik korupsi dilingkaran kekuasaan. Reformasi dianggap lebih baik karena kekuasan terdistribusi secara desentralisasi, akuntabel, transparan dan lebih demokratif (Baca: Demokrasi Konstitusi Karya Adnan Buyung Nasution). Akan tetapi, seiring berjalannya waktu berbagai kelemahan dan kejanggalan mulai tampak, terutama mengenai praktik korupsi yang semakin massif dan menjalar hampir diseluruh daerah, tidak terkecuali dengan Kota Cirebon. Alhasil harapan atas cita – cita bangsa dan negara semakin jauh tak terjangkau.

Secara tekstual dan kontekstual adanya era reformasi yang ditandai dengan adanya pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif sesuai teori Montesque lebih baik ketimbang masa sebelumnya yang memusatkan kekuasaan secara penuh ditangan presiden. Adanya pemerintahan daerah yang diatur dalam UU merupakan si jabang bayi yang lahir dari Rahim reformasi dengan demokrasi sebagai ibu kandungnya. Namun, lambat laut sistem tersebut menggerogoti tubuhnya sendiri, hal ini dibuktikan dengan menjalarnya praktik penyalahgunaan kekuasaan yang cenderung korup menjalar sampai ke pelosok negeri. Tidak sedikit kepala daerah yang menjadi penghuni tetap jeruji besi. Bahkan tidak hanya eksekutif, anggota DPRD dan para aparatur penegak hukum (Kejaksaan dan Kepolisian) ikut menemani karena terjerembab pada kasus yang serupa.



Gelar Kota Terkorup

Hari itu, suasana di daerah Cirebon begitu panas. Bukan karena matahari yang begitu menyengat hingga ke ubun – ubun. Atau karena derai kendaraan yang mengeluarkan polutan yang semakin tak tertahan oleh resapan – resapan ruang terbuka hijau yang memang sangat minim. Melainkkan akibat adanya informasi yang menghebohkan, masyarakat tumpah ruah dengan amarah karena mendengar daerah tercintanya itu mendapat anugerah sebagai daerah yang berpredikat Terkorup.

Gelar sebagai Kota Terkorup itu datang dari sebuah lembaga bernama Transparency International Indonesian (TII). Media online Kompas.com pernah melansir pada tanggal 9 bulan 11 tahun 2010, bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Cirebon sama dengan Pekanbaru yaitu sebesar 3,61.

"Pemberitaan media lokal ataupun nasional memang dipenuhi oleh kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh aparat di sana," kata Manajer Tata Kelola Ekonomi Transparency International Indonesia (TII), Frenky Simanjuntak, Selasa (9/11/2010) di Jakarta.

Frenky menjelaskan, korupsi di kedua kota tersebut masih lazim terjadi dalam sektor-sektor publik. Pemerintah daerah dan penegak hukum sendiri tampak kurang serius memberantas korupsi.

"Hal demikian menyebabkan persepsi para pelaku bisnis di Pekanbaru dan Cirebon menjadi rendah," ujar dia.

Tidak hanya pada tahun 2010, empat tahun setelah itu, Cirebon kembali digemparkan dengan kabar yang serupa. Pada saat itu, media lokal Radar Cirebon tertanggal 22 November 2014 mengeluarkan pemberitaan bahwasannya Kab/Kota Cirebon kembali menempati jajaran teratas sebagai kota terkorup versi Indonesia Corruption Watch (ICW).

Menurut pemaparan Kepala Kejaksaan Negeri Sumber Dedie Triharyadi SH MH dalam konferensi pers, Cirebon merupakan kabupaten/kota terkorup kedua se-Indonesia. Anehnya, selama ini tidak ada pejabat tinggi daerah yang tersentuh oleh hukum. “Penindakan tindak pidana korupsi hanya pada tataran kuwu, sebab pejabatnya untouchable,” tuturnya.

Kasus Dugaan Korupsi Tahun ke Tahun di Cirebon (2010 – 2017).

Jika merujuk pada hasil penelitian TII sebelumnya yang dimana salah satu acuan penelitiannya dilihat dari pemberitaan – pemberitahaan media lokal mengenai dugaan – dugaan korupsi maupun yang sudah ditetapkan sebagai tersangka menjadi tidaklah heran memang jikalau mendapatkan gelar terkorup. Berdasarkan hasil pantauan tim redaksi kami sepanjang tahun 2010 – 2017 tidak sedikit pemberitaan mengenai dugaan – dugaan korupsi yang mengisi halaman utama entah cetak maupun elektronik.

Sedikitnya jika merujuk pada database tim redaksi setaranews terdapat 10 perkara dugaan korupsi yang melanda Cirebon, entah kota maupun kabupaten. Untuk mengingatkan kembali ingatan publik atas kasus – kasus yang pernah melanda kami akan menyajikan (review) sebagai berikut:

Pertama (periode 2008 – 2013), Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sempat menjadi sorotan publik Kota Cirebon. Dimana, ramai pemberitaan mengenai dugaan penyalahgunaan wewenang, sampai pembohongan publik. Polemik ini bermulai dari kenaikan tarif karena pihak PDAM mengklaim bahwa perusahaan BUMD tersebut mengalami kerugian yang cukup besar. Alasan tersebut menjadi legitimasi untuk menaikan tarif, yang dimana masyarakat mengeluh karena tidak di iringi dengan kualitas maupun kuantitas pelayanannnya.

Polemik semakin mencuat nanjak ke publik dimana Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) merilis bahwa PDAM mengalami keuntungan yang cukup signifikan. Hasil audit BPK ini yang kemudian membuat rakyat Kota Cirebon semakin amarah. Karena PDAM diduga melakukan pembohongan publik. Berbagai reaksi pun bermunculan. Aksi unjukrasa atas kasus ini tidak bisa dihindarkan, mahasiswa mengecam atas praktik yang tidak adil tersebut.

Berkas dugaan korupsi di tubuh PDAM sudah masuk pada Kejari Kota, Kepolisian Kota, bahkan sampai kepada KPK. Seperti diketahui bersama, memang sudah tidak aneh adanya berbagai kasus dugaan korupsi di PDAM, karena BUMD yang satu ini digadang – gadang menjadi “ATM BERSAMA” mafia - bajak uang rakyat. Namun, sampai sejauh ini tidak ada kejelasan hukum, apakah diberhentikan atau dilanjutkan. Pada periode ini pula sebetulnya tidak hanya menimpa PDAM, lembaga lain pun tidak mau kalah dengan ikut – ikutan membajak. Misalnya yaitu soal dugaan korupsi proyek renovasi rumah dinas wali kota Subardi, proyek rehabilitasi Gedung Wanita, pengadaan pompa air PDAM, dan korupsi dana jaring aspirasi masyarakat (Jasmara) DPRD tahun 2008.

Kedua (periode 2014 - 2015), mungkin masih teringat di beberapa kepala masyarakat Kota Cirebon sebuah tindak tanduk yang kembali menodai demokrasi dan konstitusi. Pada tahun 2014 silam, pemerintahan di Kota Cirebon kembali menorehkan catatan hitam bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik, akuntabel, transparan dan reformasi birokrasi dimana tidak ada perbuatan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Sayang prinsip tersebut hanya isapan jempol belaka. Dugaan penyalahgunaan wewenang dan gratifikasi kembali menjangkiti tubuh aparat Negara. Dalam kasus ini yaitu soal pembelian mobil dinas berupa Nisan X- Trail untuk pimpinan Musyawarah Pemimpin Daerah (MUSPIDA) yaitu Walikota, Ketua DPRD, Kepala Kejari, Kapolres, Dandim, dan Kepala Pengadilan Negeri Kota Cirebon.

Kasus tersebut mencuat lantaran pembelian mobil dinas tersebut tidak sesuai dengan nomenklatur yang ada dalam APBD. Dimana didalamnya tercatat untuk pembelian mobil bus Pemkot, namun pelaksanaannya untuk membeli mobil dinas dengan alasan pinjam pakai. Kali seperti yang sudah – sudah menjadi bahan amarah masyarakat. Demonstrasi kerap dilakukan oleh mahasiswa untuk menuntut proses hukum karena dinilai adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dan gratifikasi yang merugikan keuangan Negara (Korupsi).

Ketiga (periode 2014-2015), selanjutnya yaitu pada tahun ini pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tidak sesuai dengan kuota rombel yang tertera dalam Perwali yang merujuk pada perda PPDB. Unsur suap dan penyalahgunaan wewenang kuat sekali dalam kasus yang satu ini. Akibatnya tidak sedikit sekolah unggulan yang overload. Sebaliknya, beberapa sekolah swasta hampir gulung tikar lantaran tidak kebagian murid baru. Ketidakadilan dalam pelaksanaannya menjadi salah satu ciri pelaksanaan pemerintahan di Cirebon jauh dari konsep bersih.

Keempat (periode 2014-2015) dan kelima yaitu mengenai kasus adanya mark up dalam pengadaan tanah untuk RTH dan pengadaan tanah untuk pengembangan Kampus II yang menimpa salah satu perguruan tinggi negeri. Dalam kasus ini Kadis DKP menjadi tersangka, dan Mantan Rektor juga menjadi tersangka. Keenam, tidak terlewatkan pula kasus korupsi Bansos APBD Kabupaten Cirebon yang menjerat wakil bupati.

Ketujuh (periode 2015 – 2016), kasus yang ini dalam waktu berdekatan kalau tidak bersamaan, yaitu soal kunjungan kerja DPRD yang diduga fiktif. Polres Cirebon Kota pada saat itu telah melakukan penyelidikan lebih jauh mengenai laporan adanya dugaan perbuatan melawan hukum oleh oknum DPRD Kota Cirebon. Dimana terdapat oknum yang diduga mencairkan dana Kunker tidak tepat waktu dan malah diduga fiktif karena memang tidak mengikuti kunker.

Kedelapan dan Kesembilan (Periode 2016 – 2017), kasus yang masih hangat dan mungkin masih teringat oleh publik di Kota Cirebon yaitu mengenai pungutan liar (pungli) dalam kasus dugaan rekrutmen ilegal anggota Badan Penanggulangan Kebakaran (Balakar) pada Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Kota Cirebon. Dikabarkan bahwa mereka yang ingin diterima sebagai honorer harus mengeluarkan kocek minimal Rp 25 juta per orang. Tidak sedikit yang termakan bujuk rayu kasus ini, menurut informasi yang beredar luas di media sdikitnya 200 orang tertipu.

Selanjutnya yaitu kasus yang kembali mencuat dan hangat di pemberitaan dengan "turun gunungnya" Komisi Pemberantasan Korupsi (Kasus Tanah Cipto). Kasus tersebut bermula dari penjualan sebidang tanah seluas 1770 meterpersegi (m2) di Jalan Cipto Mangungkusumo Kota Cirebon. Penjualan tanah yang berada di jalur strategis itu dilakukan melalui PD Pembangunan hanya saja alam pelaksanaannya didugà banyak kejanggalan. Penjualan tanah tersebut, Pemkot melalui PD Pembangunan hanya mendapat kompensasi yang tak sebanding dengan luas dan lokasi yang strategis itu membuat pertanyaan sejumlah pihak, karena PD Pembangunan hanya mendapat kompensasi sebesar Rp. 4 Miliar secara bertahap. Sumber internal pemkot yang enggan disebutkan mengatakan, tanah yang statusnya sebagai aset itu ada kejanggalan pada proses pelepasannya.

Terakhir kesepuluh (periode 2017), kasus terakhir yang paling fenomenal selama kurun waktu diatas, karena nilainya yang sangat besar. Kasus yang satu ini merupakan sejarah di Kota Cirebon, lantaran baru kali ini mendapatkan kucuran Dana Alokasi Khusus untuk Infrastruktur publik dari APBN senilai 96 M.

Kejari Kota Cirebon telah mengendus adanya perbuatan melawan hukum yang diindikasikan dapat merugikan keuangan Negara dalam pelaksanaannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai hasil akhir laporan pertanggungjawaban pengerjaan (tahun 2017). Kasus megaproyek DAK ini kembali panas jadi sorotan publik. Uang dengan nominal yang tidak kecil itu hampir sama sekali tidak bisa dirasakan manfaatnya oleh warga. Tidak sedikit pengerjaan proyek yang sudah hancur, rusak, dan tidak berfungsi. Hampir disetiap titik (Dapil I, 2, 3) pengerjaannya tidak sesuai dengan spesifikasi.

Ditambah lagi dengan adanya Addendum (pepanjangan kontrak) karena pembangunan sempat mangkrak. Sampai masa addendum usai pun, tetap saja pengerjaan masih belum berhenti. Baru setelah kurang lebih satu minggu kontrak habis, akibat dorongan publik, pengerjaan dihentikan. Kontraktor mengklaim pengerjaan sudah selesai semua (100%). Namun hal itu dibantah oleh warga, yang menurutnya sudah menjadi rahasia umum bahwa pelaksanaan proyek tersebut gagal total. Menurut warga kejanggalannya bisa terlihat kasat mata.

Dugaan korupsi dalam kasus ini mengundang reaksi keras, tidak sedikit elemen warga mulai dari Ormas, LSM, Komunitas Motor sampai mahasiswa turun kejalan melakukan aksi demonstrasi menggugat Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon untuk melakukan proses hukum dan mengusut hingga tuntas. Mafia dan para koruptor harus ditangkap dan diadili, begitulah kiranya tuntutan masyarakat di Kota Cirebon akhir-akhir ini. Mereka mengatakan sudah muak dan melek selalu disuguhkan dengan kasus-kasus dugaan korupsi di kota tercintanya.

Kejaksaan Sebagai Alat Negara untuk Penegakan Hukum

Sejalan dengan visi-misi pemerintahan dan cita-cita bangsa, maka setiap program yang akan dilaksanakan harus sesuai dengan garis besar haluan Negara. Misalnya dalam hal ini kebijakan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan juga pengentasan kemisikinan di daerah-daerah terpencil, terdepan dan terluar. Namun sayangnya niatan baik tersebut, sebagaimana otonomi daerah justru kontraproduktif. Praktik korup justru semakin merambat dengan membabi buta ke setiap daerah. Tidak terkecuali dengan Cirebon. Tidak sedikit kasus dugaan-dugaan korupsi menghiasi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan hampir tiap tahun.

Jika dilihat dari sitem tersebut maka jelas orientasi Kejaksaan pada kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan rakyat. Padahal, sejatinya Kejaksaan menjungjung tinggi hak asasi rakyat sebagai pedomannya dalam melakukan penegakan hukum sebagaimana Negara hukum (The Rule of Law). Bagi para penegak hukum yang tidak memiliki kepentingan memperjuangkan rakyat memang sulit sekali untuk melaksanakan penegakan hukum, yang kemudian secara tidak sadar perlahan demi perlahan bukan menjadi lembaga yang melindungi rakyat, justru sebaliknya menjadi lembaga pelanggar HAM terbesar.

Maka dari itu, yang tidak kalah penting dalam era reformasi dengan otonomi daerahnya harus diimbangi dengan supremasi hukum. Para penegak hukum secara harfiah harus menempatkan posisinya sebagai alat Negara, bukan alat pemerintahan. Pasalnya, jika hanya menjadi alat pemerintah maka proses tekanan politik kekuasaan akan semakin kencang melakukan interfensi dan intimidasi kepada para penegak hukum. Konstitusi dan UUD jelas menyebutkan bahwa Kejaksaan fungsi utamanya adalah melaksanakan penegakan hukum yang berurusan dengan kepentingan publik, dalam hal ini yaitu mengenai korupsi.

Sejarah Pemberantasan Korupsi Di Cirebon

Seperti yang sudah dipaparkan diatas, hampir setiap tahun dalam periode tersebut selalu saja ada dugaan – dugaan korupsi yang melanda pemerintahan di Kota Cirebon yang melibatkan trias politika si pilar demokrasi yaitu Eksekutif (Pemkot), Legislatif (DPRD) dan Yudikatif (Kejaksaan, Pengadilan dan Kepolisian). Kasus – kasus tersebut dilihat dari laporan – laporan yang sudah masuk di Kejaksaan Kota dan Polres Kota. Hanya saja sejauh ini yang sampai ke tahap meja hijau dan ditetapkan sebagai tersangka belum seberapa, ketimbang dengan laporan yang masuk.

Berbagai dugaan korupsi tersebut ada yang ditangani oleh Kejari, dan ada juga yang ditangani oleh Polres Kota. Namun seperti kasus – kasus sebelumnya, baik itu Kejari ataupun pihak kepolisian hanya sesumbar dan mengobral janji – janji dengan mengatakan bakal mengusut kasus sampai tuntas. Sayangnya klaim tersebut hanya sebatas omong kosong yang tidak diiringi dengan sikap dan perbuatan nyata. Buktinya beberapa oknum yang memang terlibat hampir disemua dugaan korupsi tersebut masih berkeliaran dengan bebas seraya menikmati hasil dari usahanya membajak uang rakyat. Korupsi merupakan kejahatan luar bias, tindak pidana khusus, yang memang perlu penanganan yang lebih khusus dan focus. Jika dilihat dari segi kemanusiaan, pelaku korupsi jelas merupakan penjahat kemanusiaan yang paling keji. Penjahat yang menghancurkan demokrasi. Rakyat yang taat membayar pajak dengan kerja keras dan keringatnya yang paling dirugikan. Karena akibat ulah koruptor tersebut hak – hak yang seharusnya didapkan oleh rakyat tidak kunjung terpenuhi. Secara tidak langsung, korupsi menggerogoti rakyat yang lama kelaman bisa membunuhnya.

Jika Kejaksaan menjalani Tugas Pokok dan Fungsi (tupoksi) sebagai alat negara untuk menegakan hukum maka harus menjadi pilar demokrasi yang kokoh, dan menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Sama halnya dengan Kejaksaan, Kepolisian pun sama. Polisi jika dilihat dari strukturnya yang langsung dibawah presiden memang sangat riskan terjadinya konflik kepentingan. Alhasil, polisi tidak bisa leluasa menegakan hukum. Termasuk didaerah pun sama, terkena imbas dari sistem tersebut. Polisi sendiri padahal memiliki sendiri tupoksinya sebagai penegak keadilan dan melindungi kepentingan publik.

Terlihat pula dari deretan kasus tersebut bahwa hukum sulit sekali ditegakan di kota wali. Politik jadi panglima, sedangkan hukum jangankan jadi panglima, jadi acuan penyelenggaraan pemerintahan pun tidak diindahkan. Wajar saja jika para koruptor betah dan nyaman tinggal di Cirebon, karena memang hukum tidak berlaku. Padahal, sebelumnya Cirebon pernah memiliki sejarah luar biasa dalam membentuk NKRI sampai sejarah pemberantasan korupsi. Seperti dalam pendirian NKRI Cirebon memproklamasikannya terlebih dahulu pada tanggal 15 Agustus 1945. Cirebon dan sewilayah tiga merupakan tempat strategis yang dimana sedari dulu jadi salah satu simpul utama pergerakan rakyat melawan kolonial. Dalam hal penegakan hukum pun, belum terlalu usang kiranya setelah reformasi, tepatnya periode 1999 – 2004 Kejari Kota Cirebon pernah menorehkan tinta emas dengan pengungkapan kasus korupsi yang menyeret seluruh anggota DPRD dan beberapa pejabat di Pemkot pada kasus APBD Gate 2004.

Era itu meupakan catatan positif bagi penegakan hukum yang tidak pandang bulu dalam mengusutnya sampai tuntas ke akar-akarnya. Namun, tidak dipungkiri pula keberanian penegak hukum mengungkap kasus korupsi lantaran adanya dorongan yang sangat kuat dari mahasiswa yang tidak pernah lelah mengawal proses hukum bertahun-tahun dalam kasus tersebut. Berbagai macam demonstrasi terus dilakukan di depan kantor Kejari. Bahkan mahasiswa pada waktu itu, untuk mendorong Kejari menuntaskan kasus sampai melakukan aksi mogok makan yang sampai menggemparkan jagat nasional. Perjuangan mahasiswa tidak sia-sia, akhirnya kasus APBD Gate masuk meja hijau, terdakwanya pun merupakan tokoh-tokoh elit politik di Kota Cirebon.

Peranan Mahasiswa dalam Menjaga Demokrasi dan Merawat Konstitusi

Praktik korup yang semakin massif di era otonomi ini sangat merugikan rakyat yang berada di daerah-daerah. Karena korupsi tentu telah merusak mental birokrat yang kemudian berimbas pada kualitas pelayanan publik yang sangat buruk. Korupsi harus kita ketahui secara seksama merupakan tantangan terbesar para penegak hukum di era reformasi. Tidak ada jaminan, entah itu rezim otoriter ataupun rezim demokratis jika dikaitkan dengan supremasi hukum. Justru yang semakin memprihatinkan sudah banyak penegak hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum. Adanya alat Negara untuk memberantas korupsi sebagi panglima dalam menyelesaikan penyakit yang sudah akut tersebut. Malah si penegak hukm tersebut menjadi masalah utama, bukan lagi sebagai penyelamat.

Dalam kasus DAK 96 M ini pun, mahasiswa terus menggelorakan suara anti korupsi ke Kejari. Aliansi mahasiswa dibentuk untuk menghancurkan dan merobohkan dinding tebal kekuasaan yang semakin sewenang-wenang. “Demonstrasi merupakan ritual sekaligus tradisi untuk merawat demokrasi, sekaligus menjamin hak warga Negara untuk tetap terpenuhi. Terutama membongkar kasus korupsi yang menyengsarakan rakyat banyak," ujar Mumu Sobar Muklis, Jubir Aliansi Mahasiswa Cirebon.

Menurut mahasiswa, jika ingin mengembalikan citra positif Cirebon sebagai kota religi, kota udang, kota berintan, perlu adanya pembuktian kepada publik. Salah satunya dan yang paling utama yaitu penegakan hukum harus berjalan sesuai amanat konstitusi. “Jika tidak, wajar saja jika kota terkorup dan kota yang paling aman dan nyaman bagi koruptor kembali menjadi ciri khas. Citra ini sangat buruk, karena anti-demokrasi dan anti-konstitusi yang berpegangan kepada supremasi hukum dan harkat martabat kemanusiaan dimana hak rakyat harus terpenuhi,” pungkasnya.

Tidak hanya penegak hukum, mahasiswa sebagai kelompok yang bisa mengimbangi kekuasaan dan sekaligus penyambung lidah rakyat kepada pemerintah juga harus tetap menjaga solidaritas. Pasalnya, pada saat membongkar kasus APBD Gate peranan mahasiswa begitu besar. Tanpa dorongan dari mahasiswa penegakan hukum pada saat itu tidak akan menorehkan sejarah baik bagi Cirebon.

“Peranan mahasiswa begitu strategis. Kita pernah juga menorehkan tinta emas. Politik nilai untuk menjaga konstitusi dan demokrasi harus terus diperjuangkan oleh mahasiswa. Jika diantara nilai-nilai Keadilan, Kesetaraan, Kemanusiaan, Solidaritas, Demokrasi ada yang dikhianati maka sudah menjadi tanggung jawab moral mahasiswa sebagai intelektual berada di garda terdepan untuk melawannya. Para penegak hukum pun sama, fondasi konstitusi berada dipundakya. Akankah sejarah bisa kembali terulang? Mari kita perjuangkan bersama,” tandasnya.

Ancaman serius matinya negara hukum terus menghantui kehidupan rakyat Indonesia yang sedang dan terus memperbaiki diri agar sejalan dengan nilai demokrasi, rule of law, HAM dan konstitusionalisme. Fokus utamanya tidak lain yaitu penegakan hukum mengenai korupsi dari pusat sampai pelosok daerah. Namun, fakta yang kembali menyakiti hati nurani dan akal sehat lantaran kasus-kasus korupsi yang ada justru digagas oleh birokrat, polits, dan juga penegak hukumnya sendiri. Adanya intervensi kekuasaan atau dalam kaitan kepentingan politis penguasa justru melemahkan penegakan hukum ketimbang ruhnya sebagai alat untuk mengatur.

Jika sudah seperti ini, memang sulit sekali mencari keadilan, kemanusiaan dan demokrasi. Seperti apa yang pernah disampaikan oleh Soedjatmoko yang menjadi fenomenal dan sebuah pesan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwasannya Demokrasi, Kontitusi, HAM, supremasi hukum tidak akan pernah tercapai jika tidak melibatkan komponen-komponen elemen sosial untuk mendorong dan mengawal proses-proses tersebut. Kelompok sosial yang mampu mengimbangi kekuasaan sepanjang sejarah umat manusia di dunia, hanya kelompok menengah atas yang memiliki tanggung jawab moral intelektual, khusunya dalam hal ini yaitu mahasiswa. Sejarah mencatatnya demikian, entah nasional maupun lokal. Mahasiswa memiliki peranan penting sebagai agen perubahan dan kontrol sosial dari kesewenang – wenangan, dan penindasan manusia terhadap manusia. Akankah torehan emas sejarah itu kembali berulang?

*Penulis adalah Epri Fahmi Aziz, Anggota Luar Biasa Lembaga Pers Mahasiswa Semua Tentang Rakyat (LPM SETARA) dan Penulis Lepas di Berbagai Media

Notes: Tulisan ini diambil dari berbagai sumber referensi, baik media cetak, elektronik, online, dan wawancara-wawancara kepada pelaku dan saksi sejarah.

1 komentar: