Sabtu, 28 Desember 2013

Bolehkah Rektor Menjabat Lebih dari Dua Periode?

Opini - SetaraNews.com, Menjadi pertanyaan besar bagi sivitas akademika di Indonesia, apabila ada pejabat tinggi yang menjabat selama lebih dari dua periode. Bukan hanya presiden, yang tidak diperkenankan untuk menjabat selama lebih dari dua periode berturut-turut di negara demokrasi ini. Rektor, selaku pimpinan tertinggi eksekutif di perguruan tinggi baik di negeri atau pun swasta pun tidak diperkenankan.

Apa dasarnya, rektor tidak diperkenankan menjabat lebih dari dua periode? Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60, tahun 1999 yang mengatur tentang Pendidikan Tinggi pada pasal 40 disebutkan di ayat (1) bahwa Masa jabatan Rektor dan Pembantu Rektor adalah 4 (empat) tahun dan pada ayat (2) Rektor dan Pembantu Rektor dapat diangkat kembali, dengan ketentuan tidak boleh lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut.

Artinya, masa jabatan rektor hanya boleh menjabat selama delapan tahun, tidak boleh lebih dari itu. Karena pada dasarnya di dalam pasal 39 ayat (2) Rektor universitas/institut yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh badan penyelenggara universitas/institut (bentuk: yayasan/perserikatan/perkumpulan swadaya) yang bersangkutan setelah mendapat pertimbangan senat universitas/institut. Kemudian jika dipandang rektor universitas/institut yang diangkat tidak memenuhi persyaratan dan/atau proses pengangkatan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, Menteri bisa meminta badan penyelenggara universitas/institut untuk mengulang proses pengangkatan, ini dijelaskan di dalam ayat (3) pada pasal yang sama (39).

Lalu bagaimana jika hal tersebut sudah terlanjur terjadi? Pada dasarnya Senat universitas/institut itu terdiri atas para guru besar, pimpinan universitas/institut, para Dekan, wakil dosen, dan unsur lain yang ditetapkan senat. Merekalah yang memiliki wewenang di dalam memberikan pertimbangan kepada penyelenggara universitas/institut berkenaan dengan calon-calon yang diusulkan untuk diangkat menjadi Rektor universitas/institut dan dosen yang dicalonkan memangku jabatan akademik di atas lektor.

Sementara itu di dalam pasal 39 ayat (4)  dijelaskan bahwa Pimpinan dan anggota badan penyelenggara universitas/institut (yayasan) yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak dibenarkan menjadi pimpinan universitas/institut yang bersangkutan. Karena, di dalam surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Nomor: 4039/D/T/93 yang diterbitkan pada tanggal 13 September 1993 menyebutkan beberapa prosedur perihal pengangkatan pejabat tertinggi di perguruan tinggi swasta di Indonesia secara jelas menjelaskan bahwa Usul pengangkatan dan penggantian pimpinan PTS harus sudah diterima oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi minimal 3 (tiga) bulan sebelum pengangkatan/penggantian dilakukan.

Bukan hanya itu, surat edaran nomor: 2705/D/T/1998 yang diterbitkan pada tanggal 2 September 1998 yang memperbarui surat edaran sebelumnya lebih merinci lagi tentang wewenang yayasan dalam mengangkat dan memberhentikan rektor. Wewenang menteri jauh lebih besar lagi, karena disamping menteri harus mengetahui. Menteri juga dapat membatalkan pengangkatan pimpinan PTS yang bersangkutan, jika dinilai tidak mengikuti ketentuan yang berlaku.

Ditegaskan kembali di dalam PP Nomor 57 tahun 1998 tentang perubahan PP Nomor 30 tahun 1990 tentang pendidikan tinggi yang mengatur tentang pengangkatan rektor, bahwa di dalam pasal 38 ayat (2) yang menyebutkan Rektor universitas yang diselenggarakan oleh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh badan penyelenggara universitas bersangkutan setelah mendapat pertimbangan senat universitas dan dilaporkan kepada menteri. Karena di ayat selanjutnya (2a) telah dijabarkan bahwa menteri dapat membatalkan pengangkatan rektor universitas, apabila rektor universitas yang diangkat tidak memenuhi persyaratan dan/atau proses pengangkatan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

Kembali ke Peran dan Fungsi Pendidikan Tinggi

Prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi tidak jauh dari pencarian kebenaran ilmiah oleh sivitas akademika, membudayakan demokrasi yang berkeadilan dan tanpa adanya diskriminasi demi menjunjung tinggi; hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa. Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab yang mendasar dalam mengembangkan budaya akademik dan baca tulis bagi sivitas akademik.

Peran mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika yang dewasa dan memiliki kesadaran diri untuk segera mengembangkan potensi di perguruan tinggi agar menjadi intelektual, ilmuan, praktisi, dan profesional seperti yang dijelaskan dalam UU Nomor 12 tahun 2012 BAB II tentang prinsip dan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan tinggi di dalam pasal (6). Karena bukan pendidikan tinggi namanya, jika wadah dan pembelajaran bagi masyarakat dalam menjalankan peraturan negara ini diabaikan begitu saja.

Peran dan fungsi pendidikan tinggi yang menjelma sebagai wadah pendidikan bagi calon pemimpin bangsa di masa depan. Pendidikan tinggi yang berperan sebagai pusat kajian kebijakan dan kekuatan moral untuk mencari dan menemukan kebenaran. Terlebih lagi pendidikan tinggi merupakan pusat dari pengembangan keberadaban bangsa, seperti yang dijelaskan dalam pasal 58 ini cukup rasional. Mengingat, aspirasi dan tuntutan mahasiswa untuk mencari kebenaran di dalam lingkungan akademis, ini dijadikan sebagai pembelajaran bersama tentang mewujudkan demokrasi di lingkungan pendidikan tinggi agar diselenggarakan pemilu rektor yang independen dan terbuka.

Konsekuensi Pelanggaran Hukum

Ada konsekuensi bagi pendidikan tinggi yang tidak menjalankan regulasi yang telah berlaku ini. Di dalam UU Nomor 12 tahun 2012 pada pasal 92 disebutkan bahwa perguruan tinggi yang melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (3), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), Pasal
20 ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 28 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), atau ayat (7), Pasal 33 ayat (6), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (1), Pasal 41 ayat (1), Pasal 46 ayat (2), Pasal 60 ayat (5), Pasal 73 ayat (3) atau ayat (5), Pasal 74 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 78 ayat (2), atau Pasal 90 ayat (5) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah;
c. penghentian sementara kegiatan penyelenggaraan Pendidikan;
d. penghentian pembinaan; dan/atau
e. pencabutan izin.

Bukan hanya sanksi administratif, ancaman pidana akan berlaku bagi mereka yang melalaikan hukum ini. Bagi perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) seperti yang dijelaskan dalam Pasal 93.

Masih ada waktu bagi yang merasa mengelola perguruan tinggi dan yang terlibat di dalamnya agar menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, yakni terhitung sejak 10 Agustus 2012 yang lalu. Pasal 97 ayat (2) tersebutlah yang memperingatkan kita akan pentingnya sebuah pendewasaan diri, agar demokrasi memang layak ditegakkan dengan sebaik-baiknya.

Peran Serta Masyarakat

Peran sebagai warga negara yang baik, di dalam mewujudkan bangsa yang cerdas dan berkeadilan. Masyarakat sudah selayaknya ikut mengawasi dan menjaga mutu Pendidikan Tinggi melalui organisasi profesi atau lembaga swadaya masyarakat; baik pendidikan yang berbasis negeri atau pun swasta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar