Jumat, 06 November 2015

Opini : Ironi Tradisi Bagi Mahasiswa Baru

Penyambutan bagi mahasiswa baru di setiap Perguruan Tinggi menjadi agenda rutin setiap pergantian tahun ajaran, dengan mahasiswa baru sebagai peserta dan para pendahulu (baca:senior) sebagai panitia pelaksana kegiatannya. Tradisi tahunan seperti ini mengandung unsur kenangan dan pengalaman tersendiri baik bagi pelaksana maupun bagi peserta menurut tahun angkatannya.

Tradisi tahunan yang dilakukan di Perguruan Tinggi tempat penulis menuntut ilmu (Unswagati-Cirebon) ini bertajuk Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) di mulai dari tingkatan Universitas hingga tingkatan Fakultas. Tradisi ini sebagai langkah untuk mengenalkan mahasiswa baru kepada kehidupan yang ada di kampusnya.

Kemudian setelah melalui tahapan PKKMB tingkat Fakultas, penulis masih harus melewati tahap tradisi selanjutnya, yakni tradisi yang bertajuk Kemah Bhakti bagi Mahasiswa. Tradisi seperti ini bertujuan untuk mengajarkan mahasiswa baru kepada lingkup kompetensi dan bidang Fakultasnya masing-masing, dengan konsep bakti sosial dalam rangka mewujudkan mahasiswa yang peka terhadap permasalahan yang ada di masyarakat dan dapat mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, pengabdian).

Penulis merupakan salah satu peserta dari Kemah Bakti bagi Mahasiswa salah satu Fakultas di Unswagati yang baru saja terlaksana. Kegiatan yang bertajuk “bakti sosial” tersebut seakan jauh dari maksud dan tujuannya, Seakan peserta turun ke masyarakat hanya formalitas semata. Tidak ada maksud dari penulis untuk mengungkit kekurangan suatu kegiatan yang sudah dilakukan dengan persiapan yang maksimal, karena ketika suatu kegiatan tidak adanya kesempurnaan semata-mata karena keterbatasan yang memang tidak bisa dihindari. Akan tetapi yang penulis sayangkan dalam kegiatan yang memang rutin dilakukan tersebut masih saja ada adegan perpeloncoan yang dilakukan oleh pendahulu (baca:senior) dan tamu yang terdiri dari mahasiswa non semester dan alumni Fakultas Kami serta beberapa tamu yang berasal dari luar Fakultas kami (data menurut panitia pelaksana).

Kegiatan perpeloncoan tersebut dilakukan sebagai syarat untuk mendapatkan jas almamater, padahal jas almamater merupakan hak kami sebagai mahasiswa baru ketika sudah diterima sebagai mahasiswa di Universitas ini. Maka sudah seharusnya untuk mendapatkannya pun tidak harus dengan cara yang sedemikian rupa menyiksa kami. Kegiatan perpeloncoan ini dengan skenario yang sedemikian rupa dikonsepkan, pada malam terakhir kegiatan. Mulai dari tengah malam kami dikumpulkan dan dibentak-bentak kemudian dicari-cari kesalahan kami, hingga keliling hutan sampai pagi. Pada saat keliling hutan, kami diberikan beberapa materi dan sedikit dikerjai oleh oknum. Alasan perpeloncoan tersebut disampaikan untuk membentuk karakter dan mental kami, karakter yang seperti apa dan mental yang bagaimana ?.

Dewasa ini masih banyak cara yang dapat dilakukan kalau ranahnya untuk mendidik, tidak harus dengan cara mengintimidasi psikologi kami, karena penulis yakini cara seperti itu sudah menjadi budaya dan kami hanya pelampiasan dan korban tradisi semata. Ayolah kita lakukan budaya “jangan membenarkan kebiasaan akan tetapi membiasakan kebenaran”.

Pada perpeloncoan tersebut banyak penulis temui pula dari beberapa agen pendidik (baca:pelaku perpeloncoan) yang terdiri dari pendahulu di Fakultas kami dan tamu non Fakultas kami membentak dan mendidik dengan kondisi mulut beraroma minuman khas alkohol. Sekarang apa layak kami dididik oleh orang yang dalam kondisi pengaruh alkohol ? dan apakah pendidik tersebut merupakan orang yang terdidik ?.

Maka dari itu sangat penulis harapkan bagi generasi selanjutnya agar melakukan terobosan baru demi perubahan yang lebih baik, dengan pendidikan tanpa adanya unsur perpeloncoan. Sekarang saatnya hentikan tradisi turun temurun perpeloncoan untuk pembaharuan di lingkungan pendidikan.

(Mahasiswa Unswagati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar