Sabtu, 14 November 2015

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck: Film Megah yang Memiliki Akhir Cerita Pasaran

Pernah dengar nama Hayati dan Zainuddin? Keduanya adalah nama tokoh utama dalam novel best-seller karya Buya Hamka yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang kemudian diadaptasi menjadi sebuah film. Diperankan oleh Herjunot Ali sebagai Zainuddin, Pevita Pearce sebagai Hayati dan Reza Rahadian sebagai Aziz. Film ini berkisah mengenai Hayati dan Zainuddin yang saling jatuh cinta tapi tidak dapat bersatu karena latar belakang sosial yang berbeda.  Atas paksaan keluarganya Hayati menikah dengan seorang laki-laki kaya yang lebih terpandang bernama Aziz. Zainuddin yang kecewa memutuskan merantau ke tanah Jawa untuk berjuang lebih keras hingga menjadi seorang penulis terkenal yang karya-karyanya diakui seluruh Nusantara. Ditengah gelimang harta dan ketenarannya dalam sebuah pertunjukan opera, Zainuddin kembali bertemu Hayati, kali ini bersama Aziz, suaminya. Suatu hari Aziz bangkrut lalu meminta bantuan pada Zainuddin dengan kerendahan hati Zainuddin membantu Aziz dan Hayati, termasuk menampung mereka dirumahnya. Aziz yang telah merasa gagal dalam hidupnya memilih bunuh diri. Pada akhirnya, kisah cinta Zainuddin dan Hayati menemui ujian terberatnya. Hayati pulang ke kampung halamannya dengan menaiki kapal Van der Wijck. Di tengah-tengah perjalanan, kapal yang dinaiki Hayati tenggelam. Sebelum kapal tenggelam, Zainuddin mengetahui bahwa Hayati sebetulnya masih mencintainya.

Mengambil setting di tahun 30-an, tim dari Soraya Intercine Films telah mampu memperlihatkan pada penonton gambaran tahun tersebut yang ternyata amat indah, klasik dan megah. Wajar bila digadang-gadang film ini menghabiskan biaya produksi yang amat tinggi. Bayangkan saja tim produksi harus menyesuaikan keadaan ditahun 30-an, dari mulai busana, properti dan replika kapal Van Der Wijck yang hanya ada di Belanda. Banyak pengamat film awam yang menyebut bahwa film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mirip Titanic, tapi bagi penulis kedua film tersebut tidak memiliki keterkaitan. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck melakukan pengambilan setting di berbagai tempat termasuk pulau Sumatra dan Jawa, rentetan peristiwa pun terjadi jauh sebelum keberangkatan kapal Van Der Wijck, puncaknya Hayati menaiki kapal Belanda terbesar yang pernah dibuat tersebut, dalam perjalanan pulang ke Batipuh, kampung halamannya sedangkan Titanic melakukan pengambilan setting lebih banyak di kapal dan rentetan peristiwa pun terjadi didalam kapal.

Tatanan film ini begitu klasik dan megah, dari mulai musik sampai pengambilan gambar yang eksotis. Adegan yang paling penulis suka adalah saat Hayati tenggelam di dalam lautan lalu masih sempat menatap foto Zainuddin yang lepas dari genggamannya dengan backsound suara Hayati tentang isi surat perpisahannya yang sendu untuk Zainuddin. Terasa begitu manis, cantik dan dramatis. Sepintas seperti melihat satu film Hollywood yang berkelas tapi yang membedakan adalah bagaimana jalan ceritanya disuguhkan. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck terlalu banyak memasukkan adegan tidak penting, seperti beberapa adegan humor yang terkesan dipaksakan. Seharusnya untuk film romance yang penuh tragedy kurang tepat bila memasukkan unsur humor didalamnya. Emosi yang terbangun menjadi tidak sempurna. Lalu, di beberapa bagian, bagi penulis akting Herjunot terkesan berlebihan (lebay), misalnya dalam adegan menangis, sehingga menjadi lucu, bukannya membuat penonton terharu malah tertawa. Begitupun dengan akting Pevita, di beberapa bagian sedikit datar sehingga penonton tidak bisa merasakan emosinya. Di sini yang patut diapresiasi adalah akting Reza Rahadian yang memerankan tokoh antagonis begitu apik.

Terpampang jelas film ini dibuat tidak semata untuk mengapresiasi sebuah karya sastra besar Indonesia, tetapi juga meraih keuntungan dengan mengikuti selera pasar, membuat akhir-cerita bahagia yang malah jadinya seperti dipaksakan. Hayati memang meninggal dunia, Zainuddin bersedih lalu (lagi-lagi) memilih bangkit dari kesedihannya dan membangun sebuah panti asuhan yang diberi nama “Hayati” di rumah super-besarnya. Jauh berbeda seperti apa yang dikisahkan di dalam novel, setahun setelah kepergian Hayati, Zainuddin sakit lalu meninggal dunia karena amat bersedih kehilangan semangat hidupnya. Akhir cerita, di dalam film sebenarnya memiliki makna mendalam, mengingatkan kita sebesar apapun kesedihan yang dihadapi, kita harus bangkit, karena kejatuhanmu bukanlah awal dari kesedihanmu tapi awal dari kebangkitanmu. Tetapi dalam menerapkannya atau mengekspresikannya Zainuddin terlihat terlalu baik-baik saja untuk ukuran tokoh laki-laki melankolis, dua kali kehilangan Hayati, perempuan yang amat dicintainya, yang terakhir dalam konteks benar-benar kehilangan, tidak akan bisa kembali lagi. Penulis sendiri lebih suka akhir-cerita didalam novel, lebih selaras dan berkelas. (Fiqih Dwi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar