Senin, 13 Februari 2017

Cerpen: Kita dan Perasaan yang Tumpah

Sastra, Setaranews.com - Sudah hampir dua bulan, aku kembali menginjakkan kaki ke tanah kelahiranku. Kota ini diterjang oleh arus modernitas yang begitu kencang. Gedung-gedung tinggi menghiasi setiap sudutnya; mall dan hotel tampak mendominasi. Aku menatap keluar jendela, gerimis turun sejak siang dan tak kunjung membesar. Langit di atas kota ini kelabu, biasanya biru tampak tak malu-malu. Sepanjang bumi masih berputar, selalu ada cerita tentang perempuan yang kesepian. Segalanya terasa sebagai kesenduan disini.

Bertahun-tahun setelah tak menghabiskan waktu bersamamu. Aku masih mengunjungi sebuah Kedai Kopi di pinggiran kota. Tempat yang pernah menjadi saksi bisu awal kebersamaan kita berdua. Sekedar menikmati secangkir kopi Robusta sembari meluapkan bait-bait rindu teror masa lalu. Aku duduk seorang diri di salah satu sudut Kedai Kopi ini. Sore tak segaduh malam, maka aku bisa menikmati kopiku dengan tenang. Jika kau tahu dari kejauhan sana, apakah kau akan menertawai masa lalumu bersama seorang perempuan yang tak pernah bisa lepas dari kenangan?

Untuk menutupi rasa pedihku kehilanganmu, aku berkelana ke pelosok negeri. Berbagi harapan serta mimpi bersama anak-anak disana. Tapi bayanganmu terus ku temui lewat kaca jendela mobil yang ku tumpangi, lewat kerumunan-kerumunan manusia yang ku temui, lewat lembaran-lembaran buku yang ku baca, hingga lewat gemericik air yang ku dengar samar dan ku lihat di luar. Kau ada disitu, berdiri mematung, berpayung jingga. Caramu menatapku konstan—tak pernah berubah. Mengepungku dalam tatapanmu yang tajam, dalam dan sayu. Kita tak saling menyapa, hanya saling menatap.

Aku tahu, cepat atau lambat, kita akan bertemu. Tapi aku pikir tak disini. Kau membuatku sibuk menerka dalam kebungkaman. Apa sekiranya yang membawamu kesini? Semoga hanya kerinduan tentang candumu pada secangkir kopi Robusta di senja yang menggoda. Lantas kau melangkah tanpa banyak pertimbangan. Kakimu mencerai genangan air. Setelah meletakkan payung jinggamu di tempatnya, kau menghampiriku, dan duduk di kursi kosong depanku yang bersorak riang menemukan kembali tuannya.

Tapi seketika kursi ini mendesah sendu, sebab tuannya tak seramah dahulu. "Kau tampak hidup dengan baik-baik saja. Sementara, aku berkutat dengan nelangsa." Kau berujar padaku nyaris tanpa ekspresi. Sapaan pemecah keheninganmu tak terdengar ramah sama sekali. Setidaknya untuk dua orang teman dekat yang sudah lama tak berjumpa. Padahal, kau baru saja melewatkan hal menarik tentang perjalanan panjangku dari salah satu sudut perbatasan di negeri ini.

Sesaat aku merasa ini seperti biasa, kita menghabiskan waktu dengan percakapan dan saling bertatapan. Menggelar hamparan harapan yang ramai bermekaran. Lalu setelahnya aku mengeluh, kemanakah hubungan ini akan berlabuh? Tapi kata-katamu selanjutnya menikamku, sungguh. "Kau selalu menorehkan rasa bersalah, tiap punggungmu berbalik dan kakimu melangkah menjauhiku."

Kau sekarang terlalu terbuka dengan perasaanmu. Memperjelas dan mempertegas masa lalu lewat kata-katamu yang berhasil menohok kerongkonganku. Tapi anehnya mataku malah bergerak-gerak riang, haruskah aku gembira membaca bait-bait resahmu?

"Rupanya jarak berhasil memberi ruang untuk kita merenung. Aku merasa telah benar-benar kehilanganmu, bahkan jauh sebelum ini." Jawabku dengan tenang. Semoga ketenangan selalu membawaku pada nalar yang benar.

Aku bicara tentang apa yang kurasa, bagiku kata kehilangan tak pernah terdengar lancang, meski diantara kita berdua awal dan akhir menjadi saru. Yang pasti kau telah datang ke hidupku. Lalu menjadi bagian paling megah, meski apa yang kau tawarkan hanya sederhana.

Kita pun membisu. Dunia di sekitar kita memburam. Aku dan kau seperti berada di ruang yang berbeda. Menghantam diri kita masing-masing pada ingatan-ingatan yang memburai. Kau menarikku dalam hidupmu hanya lewat percakapan dan tatapan. Sudah ku katakan, bukan? Sangat sederhana dan apa adanya, begitulah aku menikmati jatuh cinta bersamamu, meski bibir tak pernah mengucapkannya beribu-ribu kali. Mengenalmu seperti berlayar pada ombak kenikmatan dan kesengsaraan, muaranya kuberi nama resah-gelisah, pada ketidak-tahuan yang memabukkan.

"Apakah kau tahu apa yang membawaku kesini?" Tanyamu.

Aku menggeleng ragu.

"Candu..., pada apapun yang selalu melekat dengan tempat ini. Kopi robusta, kau, dan segala kenangannya,"

Aku tergugu di dalam hati. Lelaki ini selalu berhasil menikamku dengan alur logikanya yang membingungkan. Runyam, serunyam polemik negeri ini. Tak terbantahkan dan tak terselesaikan. Kata-kata atau sikapnya selalu berhasil mencipta bahagia dan harapan, bahkan terlampau sering amarah dan kecewa. Tapi sejak aku mengenalnya, sejak itu pula lah aku memutuskan untuk berdamai.

"Kau tak pernah benar-benar kehilanganku." Lanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar