Kamis, 09 Februari 2017

Mengenal dan Mengenang Bapak Pers Indonesia

Setaranews.com - Pada hari ini atau tepatnya pada tanggal 9 Februari selalu diperingati Hari Pers Nasional (HPN). Bicara tentang pers nasional, kira-kira siapa tokoh paling berjasa dan berpengaruh di dalam dunia perjurnalistikan Indonesia? Jawabannya tidak lain tidak bukan ialah Bapak Pers Nasional kita, Tirto Adhi Soerjo atau Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo.

Ia adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia. Tirto lahir di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1880, saat arus kekejaman Belanda di tanah air masih menerjang dengan kencang. Lelaki yang namanya sering disingkat T.A.S tersebut lahir dari keluarga bangsawan. Bapaknya adalah Bupati bernama RM Tirtodipuro. Karena darah bangsawannya tersebut, ia pun sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) di Batavia. Lalu di tengah jalan, Tirto memutuskan berhenti dan merintis karir di pers.

Tirto belajar Jurnalistik seiring ia melakukan praktik. Media tempat persinggahan pertamanya adalah Chabar Hindia Olanda. Ia kemudian sudah malang melintang di dunia pers Hindia Belanda. Berbekal dengan pengalamannya tersebut, Tirto bertemu dengan Bupati Cianjur yang lalu memberikannya modal sebesar 1000 gulden untuk menerbitkan Soenda Berita di Cianjur, Jawa Barat pada tahun 1903. Surat kabar tersebut adalah surat kabar pertama yang dimiliki dan dikelola oleh seorang pribumi. Inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya pers nasional yang memacu semangat pribumi melawan berbagai persoalan yang menyengsarakan mereka. Artikel-artikel di Soenda Berita sendiri berisi seputar keadaan masyarakat Jawa-Sunda, ekonomi, kesehatan, hukum, pendidikan hingga peran perempuan.

Setelah krisis finansial melanda Soenda Berita, Tirto berkunjung ke beberapa daerah untuk menemui raja-raja di luar Jawa, perjalanan tersebutlah yang menjadi cikal bakal berdirinya Medan Prijaji. Lantas pada tahun 1907, ia menerbitkan Medan Prijaji. Berbeda dengan Soenda Berita, Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama yang memakai bahasa Melayu (Indonesia) dan seluruh pekerjanya adalah pribumi asli. Dengan oplah yang cukup besar yakni 2000, Tirto mampu menarik berbagai kalangan pembaca dari bupati, raja, sultan hingga priyayi. Kala itu, surat kabar tersebut dihargai 1,75 gulden.

Setahun kemudian, Tirto mendirikan Putri Hindia tepatnya pada tahun 1908. Tujuannya adalah memberikan kesempatan kepada perempuan untuk turut berkiprah di dunia Jurnalistik. Mengingat pada masa itu, ide emansipasi sedang berkembang di Hindia lewat dorongan pers. Tidak tanggung-tanggung, Tirto membiarkan kaum perempuan memimpin Putri Hindia agar bisa memperjuangkan hak-haknya.

Tirto adalah orang pertama yang memakai surat kabar sebagai propoganda dan pembentukan opini publik. Ia sadar betul bahwa kata-kata memiliki kekuatan dan bisa dijadikan senjata. Maka tanpa gentar laki-laki tersebut mengkritik pedas pemerintahan kolonial Belanda lewat tulisan kala itu. Bahkan, Takashi Shiraishi lewat bukunya Zaman Bergerak menyebut Tirto Adhi Soerjo sebagai bumi putra pertama yang menggerakkan bangsanya lewat Medan Prijaji.

Sudarjo Tjokrosisworo dan Ki Hajar Dewantara lewat bukunya masing-masing pun menggambarkan Tirto Adhi Soerjo sebagai Jurnalis yang pemberani dan pelopor dalam lapangan Jurnalistik. Karena sikapnya tersebutlah, ia ditangkap Belanda, diasingkan ke luar Pula Jawa, dan dibuang ke Pulau Bacan dekat Halmahera, Maluku Utara. Setelah masa-masa itu, Tirto kembali ke Batavia dan menghadap Tuhan pada 7 Desember 1918 karena sakit-sakitan di usia yang terbilang muda yakni 38 tahun.

Ia diantarkan ke pemakaman hanya dengan iringan-iringan kecil; disana pun berdiri muridnya, Marco Kartodikromo turut mengantarkan. Tak satupun koran yang mengabarkan kematiannya—ia rupanya telah dilupakan dan mati dalam kesepian. Sejatinya, kematian dan kesengsaraan Tirto tak pernah sia-sia, ia telah turut mengantarkan bangsanya pada kemerdakaan dari penjajah dan pada pergantian duka menuju sukacita atas harapan-harapan baru menata bangsa yang berdaulat.

Pada tahun 1973, pemerintah mendeklarasikan Tirto sebagai Bapak Pers Nasional. Dan pada tahun 2006, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Sosok perintis pers ini pun begitu dikagumi oleh sastrawan besar Indonesia, Pramudya Ananta Toer. Pram—sapaan akrabnya—menghadirkan kembali dan memperkenalkan sosok Tirto dan sepak terjangnya dalam karya Tetralogi Buru dan Sang Pemula. Meski ia tak banyak dikenal oleh keturunan-keturunan bangsanya dan hanya segelintir masyarakat Indonesia yang tahu, semoga Tirto selalu dikenang oleh segelintir tersebut, seiring dan dalam huru hara seremonial bangsanya.

Selamat Hari Pers Nasional! Kenal dan kenanglah Bapakmu, wahai insan pers nasional!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar