Kamis, 09 Februari 2017

Opini: HPN Jangan Sekedar Seremonial Omong Kosong!

Opini, Setaranews.com – Setiap tanggal 9 Februari di Indonesia selalu memperingati Hari Pers Nasional (HPN) yang pada tahun ini akan diselenggarakan di Ambon, Maluku. Penetapan HPN ini melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 yang ditanda tangani ketika Soeharto menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.

Penetapan HPN setiap tanggal 9 Februari ini merujuk pada lahirnya organisasi keprofesian, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) 71 tahun silam, yang merupakan organisasi wartawan pertama setelah kemerdekaan Indonesia.

Sejarah pergerakan pers memang bukan hanya terjadi ketika PWI terbentuk, jauh sebelumnya pun sudah terjadi pergerakan pers di Indonesia. Mungkin yang terkenal oleh kalangan jurnalis adalah ketika surat kabar yang diprakarsai oleh RM Tirto Adhi Soerjo, Medan Prijaji terbit pertama kali sekitar tahun 1907 yang dikelola oleh rakyat pribumi.

Memang ketika pada jaman Indonesia masih terkekang oleh imperalisme penjajahan, suratkabar, baik itu Medan Prijaji maupun surat kabar lainnya, menjadi alat untuk menentang kebijakan pemerintahan imperialis yang dianggap menyengsarakan rakyat pribumi. Selain sebagai alat kritik, suratkabar pun memiliki fungsi sebagai media propaganda kerakyat agar tersadarkan bahwa sekali pun itu rakyat pribumi memiliki hak atas kehidupannya sendiri.

Pers memang memiliki peran yang sangat penting ketika turut serta dalam masa-masa dimana Indonesia melawan para imperialis-imperialis dari negeri lain. Terbukti dengan lahirnya Inlandsche Joernalisten Bond (IJB) dan juga Persatoean Djoernalis Indonesia (PERDI) yang terkenal itu.

Pergerakan pers masa pra-kemerdekaan sarat akan perjuangannya yang tak kenal takut melawan penjajah, khususnya melalui tulisan-tulisan maupun berita yang membuat kuping para pemerintah kolonial Belanda ataupun Jepang kepanasan. Imbasnya, tak sedikit yang dibekuk oleh petinggi pemerintahan kala itu.

Pasca kemerdekaan pun tak sedikit pergolakan yang terjadi di dunia pers. Sebut saja ketika orde lama berkuasa, pers yang tidak sejalan dengan tujuan demokrasi terpimpin nya Bung Karno dibredel, seperti Indonesia Raya milik Mochtar Lubis dan Pedoman milik Rosihan Anwar.

Orde Baru pun tak jauh berbeda, ketika Soeharto menggantikan Soekarno era 1960 an. Ketika itu pers yang menyinggung keluarga cendana pasti dibredel, terlebih ketika peristiwa Malari terjadi, banyak pers yg dibredel karena melalui pemberitaannya dianggap mengancam stabilitas keamanan kala itu. Tak tanggung-tanggung sebanyak 12 surat kabar dibredel.

Kembali pada soal Hari Pers Nasional, momen ini jangan hanya sebagai perayaan belaka yang tiap tahun diadakan dengan berbeda tempat pula, namun juga mestinya sebagai pengingat para insan pers agar tetap pada hakikat pers itu sendiri, menyebarkan kebenaran. Pers/media seharusnya mengutamakan kepentingan orang banyak (rakyat) tanpa harus ada pengaruh dari pihak lain.

Berkaca pada apa yang digagas oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiel yakni elemen jurnalisme, yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa jurnalis harus menjaga independensinya dari penguasa, pemilik media, dan kepentingan iklan. Hal ini yang seharusnya diresapi baik-baik oleh kalangan pers/media.

Dengan tiap tahunnya berkumpulnya para pers/media di seluruh Indonesia dalam Hari Pers Nasional, sepatutnya juga dalam acara itu menjadi ajang koreksi bersama tentang dunia pers Indonesia saat ini, yang kian berkembang ditambah dengan kemajuan teknologi yang pesat pula.

Sedikit kata-kata yang penulis ambil dari Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, Mochtar Lubis, yang sekiranya perlu diresapi baik-baik oleh kalangan pers saat ini.

"Bukan tidak ada rasa takut. Saya bergulat terus dengan rasa takut saya itu. Tapi pertahanan saya adalah: kenapa kita harus takut kalau kita yakin bahwa yang akan kita kemukakan itu adalah benar, untuk kepentingan masyarakat, untuk kepentingan bangsa." Sepenggal ungkapan Mochtar Lubis (1922 - 2004) yang direkam dalam buku Mochtar Lubis Wartawan Jihad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar