Kamis, 11 Desember 2014

Monster Bansos

Kita semua tahu bahwa korupsi adalah penyebabkan tertundanya keadilan sosial. Dan korupsi ialah bentuk perampokan yang membuat kemiskinan terus gagal di selesaikan. Inilah mengapa koruptor disebut sebagai perusak peradabaan.


Tetapi, aktivis, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga pemerintahaan telah di periksa oleh penegak hukum terkait kasus korupsi bantuan sosial (bansos) di kabupeten Cirebon. Sekarang ada dugaan bahwa koruptor bisa bercokol dimana saja. Betapa kini tangan-tangan yang mengatasnamakan rakyat itu juga monster perusak peradaban. Inilah paras wajah kabupaten Cirebon yang di sodorkan media massa, yang tak kunjung selesai pemberitaanya.

Ini adalah problem serius, karena cideranya keadaban publik bukan saja telah di pertontonkan oleh pemerintahan, namun juga oleh aktivis dan LSM.

Timbunan permasalahan  itu terus memuncak drastis, karena darurat kepercayaan itu bukan saja tertuju pada lembaga pemerintahan, namun juga pada pihak yang kerap turun ke jalan, seperti aktivis dan LSM, yang justru tindakannya selalu mengatasnamakan  rakyat. Ini sunggguh telah mengancam konsensus, lantaran kita sulit menemukan alasan  untuk hidup bersama, karena semua intitusi telah korup. Kini korupsi telah menjadi sistem sosial masyarakat.

Ini menandakan bahwa, Jatuh-bangunnya pemerintahan tidak serta merta mereformasi institusi. Dan jika dimensi institusi struktural-nonstruktural tidak lagi bekerja, maka masyarakat akan hidup secara predatori.

Kasus bansos menjadi gambaran bahwa ada operasi yang sistematis, untuk menjarah uang negara secara bersama-sama. Belum terang benar apa motifnya, tetapi jika dugaan bahwa aktivis dan LSM itu benar menerima uang bansos tersebut, maka kala itu telah terjadi transaksi luar biasa antar aktivis, LSM dan juga pemerintahan masa itu.

Transaksi itu tentu demi kepentingan politik dan kekuasaaan. Bahwa, dana bansos bisa jadikan sebagai alat tukar-tambah kepentingan politik-kekuasaannya. Kita tahu, urusan kekuasaan  ialah mengelola kepentingan publik, dan salah satu energi untuk mengelola kepentingan publik adalah uang. Dan uang yang mestinya beredar untuk kepentingan publik, telah dicegat oleh segelintir pemegang kekuasaan untuk menumpuk kekayaannya.

Aktivis dan LSM adalah pihak yang kerap di percaya publik untuk menditeksi penyimpangan kebijakan publik. oleh karenanya, agar operasi penyimpaangan itu berjalan secara baik perlulah menciptakan alat anti diteksi publik itu, yaitu dana bansos sebagai alat transaksi . Inilah operasi kekuasaan yang di support oleh aktivis dan LSM, begitu sistematis dan masive.

Karena korupsi kini  melembaga atau menjadi sistem sosial, maka sangat masuk akal untuk memastikan bahwa ada gunung es korupsi di institusi-institusi struktural-nonstruktural di kabupaten Cirebon. Jadi, teori bahwa para koruptor hanyalah oknum tidak dapat lagi terus-menerus disodorkan sebagai apologi oleh para penegak hukum, media, aktivis, LSM maupun pemerintahan mereka dalam institusi- institusi struktural -nonstruktural itu. Kita tidak harus menunggu seluruh gunung es itu tersembul untuk mengubah jalan pikiran kita tentang korupsi dari praduga tak bersalah menjadi praduga bersalah.

Dengan kondisi semacam ini, operasi kekuasaan yang menjarah uang negara untuk  menumpuk kekayaan pribadi, yang di support oleh aktivis dan LSM tidak cukup lagi diselesaikan pada rana hukum. Tetapi dengan berpikir radikal bahwa  semua adalah koruptor, sampai nanti dibuktikan secara terbalik. Dengan kata lain, kita harus melihat  problem  ini sebagai keadaan “darurat sistem sosial”, yaitu keperluan untuk membongkar sistem yang menopang institusi korup itu.

Keterkejutan kita mungkin bukan pada rana pembuktian di pengadilan nanti. Tetapi pada fakta banyaknya pihak-pihak yang telah diperiksa. Yang notabennya adalah penyanggah kadilan dan pengeras suara penderitaan rakyat, yaitu aktivis dan LSM.

Fakta di atas telah menunjukan  hancurnya institusi nonstruktural. Keterlibatan korupsi aktivis dan LSM tidak memiliki dasar pembenaran apapun, karena mereka selama ini telah memproklamirkan diri sebagai perawat keadaban publik. Maka, sanksi sosial harus di dengungkan, bahwa saat ini telah terjadi darurat sistem sosial.

Urusan korupsi selalu menyangkut urusan politik, oleh sebabnya agar operasi untuk memberantas korupsi itu maksimal, dibutuhkan kekuatan politik dari seorang pemimpin di kabupaten Ciebon. Dengan otoritas kepemimpinannya dan melalui intuisi itulah, dengan dasar bahwa ia sedang memimpin daerah yang korup. Bisa melalui regulasi atau progaram-program yang progresif demi daerah yang bersih dari korupsi, untuk menghindari masyarakat yang predator.

Inilah pentingnya seorang pemimpin untuk mengerasakan tekad bahwa kita mesti berhenti hidup dengan cara yang tak terhormat. Dan merayakan perpisahan dari sebuah sikap hidup yang tak mengenal rasa malu, yaitu korupsi. Karena kekinian  korupsi sudah sungguh-sungguh menjadi soal teknis,  bisa dilakukan atau tidak, bukan lagi soal etis, malu atau tidak!

 

Oleh: Kris Herwandi

Mahasiswa Fisip Unswagati

Aktivis BASIS  &  Ketua komunitas Dialog

Email: herwandikris@yahoo.com

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar