Selasa, 02 Mei 2017

Opini: Pendidikan Sebagai Ajang Komersil

Opini, Setaranews.com - Era modernisasi tentang pendidikan sebagaimana sebagian kalangan menganggap bahwa sistem pendidikan kita saat ini telah terjebak pada praktik komersialisasi dan kapitalisasi. Telah terjadi mirkantilisme (perdagangan) pengetahuan di dalam pendidikan. Ilmu pengetahuan telah menjadi objek komersialisasi yang diperjualbelikan. Pertanyaannya kemudian adalah, betulkah sistem pendidikan kita telah terseret pada komersialisasi? Benarkah lembaga pendidikan kita kurang mendapatkan perhatian serius dan dikurangi subsidinya oleh pemerintah? Terakhir, benarkah dunia pendidikan kita telah terjangkit nalar kapitalis?

Pada hakikatnya makna pendidikan ialah “alat untuk memanusiakan manusia”, statement oleh Paulo Freire (tokoh pendidikan berkebangsaan brazil) ini berarti melalui pendidikanlah kita menjadi manusia yang seutuhnya, yaitu dapat mengenali diri kita sendiri dan fungsi kita dalam tatanan masyarakat yang ada hari ini sebagai makhluk sosial. Dan ini hanya dapat terwujud dari “pendidikan yang gratis, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan." Begitu pentingnya, karena dengan pendidikanlah sebuah bangsa bisa merdeka 100%. Hari ini kita lihat tempat-tempat pendidikan di Negara ini yang dulu katanya ingin membantu Negara dalam mencerdaskan bangsa kini sekarang sudah berorientasi profit yang terus menghisap darah dan keringat kita.

Setelah badan hukum pendidikan (BHP) tidak jadi disahkan maka timbul lagi suatu kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, yaitu Rancangan Undang-Undang perguruan tinggi (RUU-PT) yang sedang digodog di Senayan. Sebenarnya isi dari RUU-PT tidak jauh beda dengan BHP, hanya berbeda kemasan saja. Dan setelah kita analisis pasal demi pasalnya, maka setiap perguruan tinggi wajib untuk mandiri tanpa ada lagi dana bantuan dari pemerintah, dan pastinya perguruan tinggi akan membuka gerbang untuk para investor asing agar bisa membantu ke setabilitasan perguruan tinggi dan pastinya akan ada peningkatan untuk pembayaran uang untuk pendidikan, dengan kata lain pendidikan sudah seperti barang dagangan. Ini lah yang dinamakan komersialisasi pendidikan, di mana yang berhak mendapat pendidikan ialah orang yang mampu atau kalangan menengah ke atas. Pertanyaannya, bagaimana dengan orang kalangan bawah (anak dari buruh, tani, nelayan, dll)?. Apakah mereka tidak berhak mendapatkan pendidikan? Dan di mana amanah UUD 1945 yang katanya setiap bangsa Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan?.

Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa, pendidikan kita telah menyimpang dari hakikat pendidikan itu sendiri, dan telah menyimpang dari UUD yang telah disepakati seluruh rakyat Indonesia. Dalam praktek penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan kita mestinya berpedoman pada prinsip-prinsip: otonomi, akuntabilitas, transparansi, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, serta partisipasi atas tanggung jawab negara. Dengan prinsip-prinsip ini, pengelolaan sistem pendidikan formal di Indonesia ke depan, diharapkan makin tertata dengan baik, makin profesional dan mampu membuat satu sistem pengelolaan pendidikan yang efektif dan efisien untuk meningkatkan mutu, kualitas dan daya saing.

Peraturan sistem pendidikan nasional memang telah memberikan otonomi dan kewenangan yang besar dalam pengelolaan pendidikan pada masing-masing lembaga dan satuan pendidikan, baik yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun masyarakat. Pada tingkat satuan pendidikan, diberikan peluang adanya otonomi pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi. Otonomi di sini bermakna bahwa setiap lembaga pendidikan formal dituntut lebih memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik.

Otonomi pengelolaan pendidikan bukan berarti bahwa lembaga pendidikan harus membiayai dirinya sendiri. Melainkan tetap ada peran dan tanggung jawab pemerintah dan partisipasi dari masyarakat dalam pendanaannya. Sebab pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat yang wajib ditunaikan.

Berkaitan dengan masalah pendanaan pendidikan, mestinya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan pada lembaga dan satuan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat. Pendanaan pendidikan yang mesti ditanggung pemerintah mencakup biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal demi mencapai standar nasional pendidikan.
Bahkan, dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, pemerintah mestinya memilki kebijakan bahwa pendidikan dasar untuk tingkat SD dan SMP bebas dari pungutan. Sementara untuk pendidikan menengah tingkat SMA/SMK/MK dan pendidikan tinggi, pemerintah boleh mengambil sumbangan dari masyarakat seminimal mungkin. Peserta didik pada pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sebaiknya hanya ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya.
Bukti jelas, penyimpangan terjadi pada Kota Cirebon sendiri. Dua tahun kebelakang terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang telah mengalami snomali peran dan fungsinya. Panitia yang banyak memasukan para titipan dari anak pejabat, dan bagaimana bisa Standarisasi otak yang tidak mampu untuk masuk pendidikan berkualitas, mereka dipaksa oleh orangtuanya agar masuk ke dalam sekolah yang berkualitas. Maka yang terjadi bukan lagi anomali, melainkan output yang tidak akan maksimal dalam segi sumber dayanya. Penyimpangan dalam PPDB jelas, bukti nyata yang telah melanggar Konstitusi Negara. Artinya, mereka telah menggunakan asas komersil dalam tata kehidupan yang memanusiakan manusia, juga mereka telah membantu adanya gaya Pendidikan yang pragmatis dan antagonis.

Sejalan dengan itu, Komersil dalam dunia pendidikan sudah tidak lazim dan bukan baru-baru ini saja. Praktik daripada ajang komersil selalu terjadi dikala momentum tahun ajaran baru. Umumnya pada pendidikan yang berjenjang SMP, SMA/K, dan ranah Universitas. Tidak seharusnya dimomentum itu digunakan sebagai ajang komersil.

Untuk itu dimomentum Hari Pendidikan Nasional ini, baik kiranya agar Pemerintah yang dalam hal ini sebagai penyenggala pendidikan dapat membantu dalam hal pendidikan juga harus memikirkan kalangan kelas bawah urgensinya.
Penulis: Riski Surazat Nopandi

Fakultas Ekonomi Unswagati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar