Jumat, 26 Mei 2017

Surat Cinta untuk Paduka yang Sedang Sakit Jiwa

Opini, setaranews.com - Kepada seluruh lembaga pemerintahan di Kota Cirebon baik eksekutif, legislatif dan yudikatif sebuah catatan ini saya persembahkan. Isi ceritanya tidak jauh dari persoalan yang sedang hangat belakangan ini, yakni mengenai dugaan terjadinya Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam pelaksanaan mega proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) 96 M untuk pembangunan infrastruktur publik daerah seperti jalan, betonisasi, trotoarisasi dan drainase. Tulisan ini memuat bagaimana saya sebagai rakyat biasa menentang keras, mengecamnya, sekaligus membantah seluruh keterangan (pernyataan) para paduka (Walikota, DPUPR, DPRD, dan Kejari ) tersebut.  Apakah saya (Baca:rakyat) harus dengan mudah begitu saja mempercayai paduka, tuanku yang terhormat itu? Tentu saja tidak!

Seorang seperti paduka atau lembaga pemerintahan yang telah diberikan mandat (tugas dan tanggungjawab) untuk memperjuangkan cita – cita rakyat dan konstitusi  sudah tentu beliau mengetahui betul beberapa poin sebagai berikut:

  1. Lebih mengerti baik dan busuknya nasib bumi putra dibandingkan orang lain jika yang namanya wewenang disalahgunakan

  2. Lebih memahami bagaimana memaknai cinta kepada seluruh mahluk yang menghuni bumi pertiwi (manusia, tanah dan airnya)

  3. Lebih dari cukup tentunya pengetahuan paduka daripada kita sebagai rakyat biasa tentang segala perkara, apalagi menyoal korupsi


Tetapi bagaimanakah keadaan rakyat pada umumnya? Seperti apakah nasib mereka?  Banyak diantara kita hanya sebagai orang kecil, tidak pernah menginjak rumah sekolah, kurang lebar pemandangannya atas sebuah perkara.

Meskipun begitu kita semua masih bersyukur, Tuhan dengan murah hati memberi kita dua mata, dua telinga, dan dua tangan, serta satu kepala, satu mulut, sebagaimana orang pada umumnya.  Kedua mata rakyat kecil yang tertindas dan terampas hak-nya ini tidak berbeda dengan seorang jebolan Universitas di negeri menara efel di Paris. Tidak pula berbeda dengan orang yang menempati jabatan strategis di pemerintahan seperti paduka sekalian.

Jadi kalau rakyat melihat barang berwarna merah, tentu barang itu menampak di mata paduka juga berwarna merah. Begitu seterusnya.  Sama halnya juga ketika rakyat dengan matanya bisa melihat berbagai penyimpangan pada pelaksanaan megaproyek DAK 96 M tersebut. Sejatinya pasti mata paduka juga melihat hal yang serupa. Jikalau kita termasuk, paduka juga buta, cobalah melihat dengan mata hati kita semuanya, dengan nurani.

Seperti yang sudah saya sebutkan diatas bahwa paduka lebih tahu tentang nasib rakyat dengan prangkat birokrasi dan perangkat politiknya dari pada seorang rakyat biasa. Apakah paduka sudah menyaksikan sendiri bila hidup orang – orang kecil didalam kesusahan? Pembangunan sejatinya untuk meningkatkan taraf hidup orang banyak. Akan tetapi, akibat kelalaian paduka dan mungkin juga saya, cita-cita itu belum terjadi sampai tulisan ini saya buat untuk paduka semuanya.

Hidup seperti apakah yang bisa dibilang senang, selamat, bahagia, sentosa, adil dan makmur?  Cobalah paduka tanya kepada orang-orang kecil itu.  Cukup pertanyakan kepada mereka seperti apakah sesungguhnya keadaan hidupnya? Bisa makan sehari satu kali saja walupun hanya dengan secentong nasi dan garam sudah cukup membuatnya bersyukur. Begitu baiknya rakyat itu paduka. Mereka dengan sukarela memeras keringatnya untuk bangsa dan tanah airnya, sekalipun paduka tidak memberikan hak mereka seutuhnya.

Sekarang saya akan membicarakan poin yang kedua, paduka beserta institusinya yang memiliki peranan penting dalam menjungjung tinggi nilai-nilai konstitusi pastinya memiliki cinta terhadap cita-cita bangsanya. Pertanyaan sederhana kemudian muncul, mana yang lebih dicintai oleh paduka sekalian, badan sendiri atau badan orang lain? Saya amat yakin paduka memiliki cinta kepada orang-orang kecil, tetapi masih terlalu teramat sangat cinta kepada diri sendiri dan kelompoknya.

Saya pun terlalu cinta dengan diri sendiri, maka dari itu saya selalu berteriak saban hari ketika hak saya direnggut, kemerdekaan saya dirampas, dan juga kesejahteraan saya dihisap. Sebab kalau teriakan saya ini dikabulkan, saya ikut senang dan tentunya rakyat kecil lainnya pula mengalami hal yang serupa dengan saya.

Kalau difikir-fikir, paduka itu ibarat dokter (Dukun). Sedangkan kita, rakyat kecil yang menjadi penghuni terbanyak adalah orang-orang yang sudah sakit payah.  Siapakah yang meminta lebih keras sembuh dari sakit? Dokter kah, apa yang sakit kah? Wajar saja jika yang sakit meminta kepada dokternya untuk disebuhkan dan dijauhkan dari bahaya penyakit-penyakit laten. Justru Yang berbahaya itu ketika si dokternya ikut sakit dan tak ada obat untuk mewaraskannya, maka rakyatlah yang kemudian akan semakin jatuh sakit, terpuruk dan terkapar tak tertolong.

Kemudian di poin nomor tiga,  saya berkata bahwa paduka lebih cukup pengetahuannya daripada rakyat kebanyakan. Untuk hal ini saya kira tidak perlu panjang lebar di terangkan, pembaca sekalian telah mengerti sendiri.  Tetapi dalam hal ini saya berani berkata, paduka tidak pernah bercampur gaul, berbaur, dan memikirkan nasib rakyatnya. Bagaimana bisa memperjuangkan cita-cita bangsanya dan juga cita-cita konstitusinya jika terpikirkan saja tidak? Bagaimana bisa mengobati rakyat jika paduka tidak bisa mengobati sakitnya sendiri? Lantas, siapa yang sakit sebanarnya, Paduka atau kami rakyat kecil?

Terakhir, sebagai rakyat kecil saya hanya ingin mengingatkan kembali sebuah lirik lagu kebangsaan yang tidak henti-hentinya kita nyanyikan, dan tidak henti-hentinya juga kita lupakan makna perjuangannya.

“Hiduplah tanahku, Hiduplah negriku, Bangsaku Rakyatku semuanya.

BANGUNLAH JIWANYA, Bangunlah badannya, Untuk Indonesia Raya”

Membangun badan terlebih dahulu, tidak diiringi dengan membangun jiwanya, maka seperti sekarang yang kita saksikan bersama dimana-mana, korupsi merajalela. Bukannya begitu Paduka?.

*Penulis adalah Epri Fahmi Aziz, Anggota Luar Biasa Lembaga Pers Mahasiswa Semua Tentang Rakyat (LPM Setara) Unswagati.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar