Jumat, 10 November 2017

Opini: Mahasiswa yang Kehilangan Semangat Kepahlawanan

Opini, Setaranews.com - Momentum 10 November memiliki makna berarti bagi Bangsa Indonesia. Tanggal itu adalah waktu dimana babak peristiwa bersejarah dimulai. Tepatnya tanggal 10 November 1945 di Surabaya. Sebuah pertempuran sengit antara rakyat Surabaya melawan Sekutu dan kroni-kroninya sedang digelar. Pertempuran yang mengorbankan beribu nyawa terutama dari rakyat Surabaya yang digempur dari darat, laut, dan udara, merupakan peristiwa besar yang terjadi di negri ini. Nyawa yang melayang, jiwa yang hilang, adalah bukti kegigihan rakyat Surabaya berjuang mempertahankan Kemerdekaan RI dari rong-rongan penjajah. Sebuah prestasi yang sungguh tak mampu digantikan dengan apapun. Hanya untaian doa yang mampu kita haturkan bagi para pejuang.

Itulah peristiwa 10 November 1945 yang saat ini kita peringati sebagai Hari Pahlawan. Kali ini peringatan Hari Pahlawan kembali menyapa Rakyat Indonesia terutama para generasi penerus bangsa. Hari Pahlawan adalah sebuah momentum reflektif bagi para generasi penerus bangsa untuk kembali memikirkan Bangsa Indonesia. Para generasi penerus bangsa yang selama ini disibukkan dengan berbagai hal ditegur kembali dengan sapaan hangat dari para pahlawan kusuma bangsa lewat momentum Hari Pahlawan ini. Itulah sesungguhnya makna yang hendak disampaikan oleh Hari Pahlawan. Hanya saja kita tak mampu menangkap makna-makna itu. Kita telah lama terkurung oleh budaya materialisme, hedonisme, pragmatisme, bahkan egoisme. Sehingga celah kesadaran kita semakin tertutup. Kita hanya memikirkan hal-hal yang serba material-fisikal saja. Jabatan, kedudukan, uang, harta, dan segala sesuatu yang mendatangkan kesenangan diri, itulah yang menjadi fokus dan perhatian kita.

Mahasiswa sebagai salah satu tonggak penerus bangsapun, tidak luput dari pertanyaan di momentum Hari Pahlawan ini. Siapakah mahasiswa? Kalimat itu sudah tidak lagi asing ditelinga kita bahkan kata mahasiswa diumpamakan sebagai sosok yang diagungkan oleh beberapa orang, sebab mahasiswa digambarkan sebagai sosok pemuda yang berintelektul, kritis dan berani. Namun akhir-akhir ini muncul banyak pertanyaan masikah mahasiswa memiliki sosok tersebut di tengah kehidupan mahasiswa yang syarat akan hedonisme, pragmatisme, bahkan cenderung egoisme?

Mahasiswa saat ini seakan sedang mengalami amnesia atau lupa ingatan siapa dirinya dan untuk apa mereka dikuliahkan. Kaum minoritas berintelektual ini sebenarnya merupakan tulang punggung pembangunan bangsa untuk menuju perubahan yang lebih baik dan memerdekakan bangsa selayaknya bangsa yang sudah merdeka. Mahasiswa merupakan lokomotif penggerak utama perubahan bangsa, sejarah mencatat kemerdekaan bangsa Indonesia tidak luput dari peran kaum muda dan mahasiswa, runtuhnya kekuasaan orde baru tahun 1998 adalah buah dari semangat pergerakan pemuda dan mahasiswa. Namun pola pikir seperti ini terkadang menjadi sebuah pola pikir yang asing dibenak mahasiswa jaman sekarang bahkan mereka lebih memilih berada pada posisi aman karena mereka takut dirinya akan menuai kesengsaraan dan kemiskinan apabila mereka sibuk memikirkan hal seperti ini.

Diri kita saat ini memang betul-betul diambang ke-chaos-an. Berbagai problematika bangsa dari kemiskinan, anak-anak terlantar, pengangguran, korupsi, aksi penggusuran, serta berbagai problematika lain, sungguh semakin meresahkan bangsa. Tetapi kita masih sibuk membangun kemewahan dan kejayaan diri (self glory). Kita semakin lalai akan kepentingan rakyat, namun semakin sibuk dengan kepentingan diri sendiri. Rakyat semakin semrawud karena semakin banyaknya problematika kehidupan, mereka semakin sesak dengan zaman sekarang yang tidak memberikan kenyamanan. Sementara para perwakilan rakyat sedang sibuk mempersoalkan gaji, kepentingan politik, jabatan yang tak kunjung naik, sibuk membagi hasil sisa proyek, dan korupsi yang ditutup-tutupi, kemanakah kalian wahai, Mahasiswa?

Kita patut bersyukur dan bangga jika dapat menyandang gelar sebagai seorang mahasiswa dan gelar sarjana, doktor, profesor bahkan guru besar sekalipun, karena hanya 4,3 juta orang atau sekitar 5% dari jumlah penduduk Indonesia yang bisa merasakan pendidikan tinggi. Hal ini semakin diperkeruh dengan fenomena lembaga pendidikan yang menjelma menjadi pasar. Tawar menawar dengan para dosen untuk mendapatkan nilai yang tinggi menjadi budaya dan tradisi, menjadi pertanda bahwa pendidikan hanya untuk berburu gelar. Berbagai cara dilakukan bahkan menjadi penjilat pun menjadi salah satu cara. Wajar saja kalo output yang dihasilkan mahasiswa bukan orang-orang yang memiliki mental intelektual tetapi mental orang-orang serakah. Lunturnya idealisme mahasiswa dan hilangnya budaya-budaya ilmiah seperti diskusi, membaca, mengkaji dan menulis menjadikan pergerakan mahasiswa hari ini sedang mati suri.

Sebagai kaum intelektual mahasiswa harus menjadi kelompok sosial (collective sosial) yang berperan aktif, menjadi problem solving di tengah himpitan dan problematika sosial yang begitu kompleks. Ia harus berdiri paling depan, mempropogandakan tatanan sosial yang bebas dari najis dan pemerkosaan hak-hak rakyat. Menendang jauh-jauh bentuk pembodohaan yang semakin canggih dengan wajah baru!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar