Jumat, 24 November 2017

Resensi Film: Dirampok, Diperkosa dan Membunuh untuk Membela Diri ‘Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak’

Judul Film : Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Marlina the Murderer in Four Acts)

Sutradara : Mouly Surya

Penulis Naskah : Mouly Surya, Garin Nugroho, Rama Adi

Produser : Fauzan Zidni dan Rama Adi

Pemeran : Marsha Timothy (sebagai Marlina), Egi Fedly (sebagai Markus), Dea Panendra (sebagai Novi) dan Yoga
Pratama (Franz)

Tanggal Rilis : 16 November 2017 (Indonesia)

Resentator : Fiqih Dwi Hidayah

Resensi Film, Setaranews.comMarlina bukanlah pembunuh biasa. Ia terpaksa membunuh untuk mempertahankan diri dari para perampok yang menjarah rumah, harta serta harga dirinya sebagai wanita.

Kematian putra dan suaminya membuat Marlina tampil menjadi wanita yang tegar namun sangar. Ia harus berternak dan menjalani kehidupan seorang diri di puncak perbukitan sabana di Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Lewat film ini Mouly Surya sang sutradara telah melahirkan sebuah genre baru dalam perfilman Indonesia yang disebut-sebut sebagai satay western. Julukan satay western sendiri diberikan oleh Maggie Lee seorang kritikus film luar negeri dalam laman bernama Variety.

Ini seperti antitesa dari genre spaghetti western di Italia dan lebih mengacu pada suatu nama Negara dimana film ala western dibuat yakni dengan setting padang sabana dan terdapat satu tokoh jagoan yang bertahan hidup.

Film ini dibuka dengan pemandangan lebar perbukitan sabana yang dipadu dengan sentuhan musik etnis yang apik. Babak demi babak pun lekas dimulai. Diceritakan oleh Marlina dengan ritme yang tragis.

Pertama tatkala seorang lelaki tua yang mengendarai motor melintasi terjalnya jalanan perbukitan menuju rumah Marlina. Ia adalah Markus, perampok yang mempelopori kawanan perampok lainnya untuk datang ke rumah Marlina.

Disinilah terungkap bahwa Marlina baru kehilangan suaminya. Suaminya itu menjadi mumi disudut rumahnya karena ia tidak mempunyai biaya untuk pemakaman.

Para perampok itu mengangkut binatang ternak milik Marlina dan berniat memperkosanya. Ia merasa ketakutan sehingga memutuskan untuk membunuh mereka. Markus dipenggal kepalanya oleh Marlina tatkala ia diperkosa oleh lelaki tua itu.

Sesuai judul, film ini dibagi menjadi empat babak. Selebihnya alur film ini bercerita tentang perjalanan Marlina menuju Kantor Polisi dalam rangka mencari keadilan. Ia pun dengan berani menenteng kepala Markus yang penuh darah menuju Kantor Polisi. Dalam perjalanannya itu ia dibantu oleh kawannya Novi yang tengah hamil 9 bulan.

Ada percakapan menarik antara Novi dan Marlina di pinggir jalanan perbukitan. Novi bilang Marlina tidak usah ke Kantor Polisi yang ada nanti ia yang disalahkan, lalu Novi mengajak Marlina ke Gereja untuk mengakui dosanya, tapi Marlina tidak mau sebab ia merasa tidak berdosa.

Tentu Marlina menganggap apa yang dilakukannya semata-mata untuk melindungi dirinya. Bayangkan, jika Marlina tidak membunuh para perampok itu, ia bisa saja diperkosa secara bergilir hingga tewas, bukan?

Film ini menyisipkan kritik sosial yang cerdas. Terlihat saat Marlina hendak ke Kantor Polisi ia harus menunggu truk berjam-jam. Bahkan saat ia tidak dapat truk Marlina harus naik kuda. Sesampainya Marlina di Kantor Polisi pun aparat tidak bisa diandalkan menyelesaikan kasusnya. Prosesnya memakan waktu hingga berbulan-bulan karena minimnya fasilitas. Ini menjadi gambaran suram kondisi Indonesia di pedalaman.

Tampaknya film ‘Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak’ ini secara tidak langsung menggambarkan wanita Sumba yang kuat dan berani. Buktinya kandungan Novi baik-baik saja meski ia didorong berulang-ulang.

Film ini menjadi agak creepy tatkala sosok Markus tanpa kepala sembari memainkan alat musik khas Sumba beberapa kali menghantui Marlina. Tapi kesan creepy itu ditutupi dengan alur cerita yang kuat.

Akting Marsha Timothy dan Dea Panendra pun patut diacungi jempol apalagi tatkala memainkan ekspresi wajah. Itu membuat penonton bergejolak dan tenggelam dalam peran yang mereka jalani. Tak ayal film ini mendapatkan apresiasi lebih di berbagai festival film luar negeri seperti Cannes, Toronto dan yang terbaru di Polandia.

Film ini juga sudah bisa disaksikan di bioskop-bioskop Indonesia sejak tanggal 16 November 2017. Pastikan kalian sudah cukup umur untuk menonton film ini ya, karena banyak adegan yang hanya pantas ditonton oleh usia 17 tahun ke atas!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar