Senin, 06 November 2017

Resensi Film: 'Hujan Bulan Juni' Suguhkan Keindahan Kata-Kata dan Latar

Judul Film    :    Hujan Bulan Juni

Sutradara    :    Reni Nurcahyo dan Hestu Saputro

Penulis Naskah    :    Titien Wattimena

Produser    :    Chand Parwez Servia dan Avesina Soebli

Pemeran    :    Velove Vexia (sebagai Pingkan), Adipati Dolken (sebagai Sarwono)

Tanggal Rilis    :    2 November 2017

Produksi    :    Sinema Imaji dan Starvision

Resentator      :    Fiqih Dwi Hidayah

“Aku musafir yang sedang mencari air, kamu sungai yang melata dibawah padang pasir.”
–Sarwono pada Pingkan–


Resensi Film, Setaranews.com - Novel Hujan Bulan Juni disajikan ke dalam bentuk film dengan plot yang cukup ringan. Tidak tertinggal dihujani puisi-puisi romantis ala sang penulis novel kawakan, Sapardi Djoko Damono. Sebelum merambah layar lebar, kepopularan Hujan Bulan Juni sudah terlebih dahulu hadir dalam bentuk musikalisasi puisi, lagu dan komik.

Film tersebut disutradarai oleh Reni Nurcahyo dan Hestu Saputro dengan latar yang indah di Manado dan Jepang. Jika ditelisik dari segi tema tidak banyak yang menarik. Sarwono hanyalah seorang pria yang merasa gelisah akan ditinggal Pingkan, sang pujaan hati yang tidak pernah lepas darinya, untuk belajar ke Jepang selama 2 tahun.

Pingkan adalah dosen muda Sastra Jepang sementara Sarwono adalah dosen Antropologi. Mereka mengajar di Universitas Indonesia. Sarwono digambarkan sebagai pria dewasa yang senang memberikan Pingkan puisi-puisi romantis. Sementara Pingkan digambarkan sebagai wanita ceria dengan senyum manis yang memikat Sarwono dan beberapa pria lainnya.

Sebelum keberangkatan Pingkan ke Negeri sakura itu, Sarwono memintanya untuk menemani dalam tugas presentasi kerjasama ke Universitas Sam Ratulangi, Manado. Sementara, Manado sendiri adalah tanah kelahiran ayah Pingkan yang telah lama meninggal. Disanalah Sarwono bertemu keluarga besar Pingkan, dan mulai dipojokkan karena ia orang Solo, bukan Manado.

Penonton memang disuguhkan konflik perbedaan suku dan agama antara Sarwono dan Pingkan, tapi sejatinya kisah ini mengalir pada sepasang kekasih yang saling mencintai dengan sederhana, dan saling menghargai perbedaan. Bahkan keduanya melakukan perjalanan menyenangkan ke pelosok-pelosok indah Manado seperti pantai, sungai dan bangunan bersejarah. Sembari Sarwono menjadikan Pingkan inspirasi puisi-puisi yang lahir dari jemari-jemarinya.

Kemudian, dengan berat hati Pingkan berangkat ke Jepang. Selama di Jepang, ia ditemani oleh pria di masa lalunya, Katsuo. Pingkan menyaksikan bunga sakura yang selama ini ingin dilihatnya bermekaran, seiring kebimbangannya diantara dua pilihan Sarwono ataukah Katsuo.

Pingkan diperankan oleh Velove Vexia, ia berhasil menyampaikan rasa dari puisi-puisi Sarwono dengan cukup apik. Sayangnya, Sarwono yang diperankan oleh Adipati Dolken terdengar kaku tatkala bernarasi membacakan puisi-puisinya sendiri, sehingga rasa yang ingin disampaikan kurang menyentuh penonton. Tapi untuk pembawaan karakter Sarwono, ia boleh juga.

Kemudian yang menjadi kebingungan amat mencolok adalah terkait setting waktu dalam film. Dalam novel, setting waktu diambil pada era yang terbilang modern yang otomatis disesuaikan pada penggambaran suasana dan tokoh. Sementara dalam film ada semacam kesaruan, beberapa adegan yang menampilkan pakaian, latar, hingga suasana seolah-olah digambarkan agak Indonesia tempo dahulu. Entah ini ketidaksengajaan atau kesengajaan, rupanya film ini ingin mempunyai dunianya sendiri.

Tapi yang jelas, dalam film, kalian tidak menemukan ending yang sama seperti di novel. Apapun itu, film yang sudah tayang di bioskop seluruh Indonesia sejak 2 November 2017 ini, agaknya cocok ditonton dengan orang-orang terkasih, ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar