Sabtu, 02 Mei 2015

Kualitas Pendidikan di Indonesia Masih Jauh dari Kata Ideal

Dilihat dari kuantitasnya, dari tahun ke tahun pendidikan di Indonesia selalu meningkat. Namun meningkatnya kuantitas tersebut belum diiringi dengan kualitasnya. Penulis menilai kualitas pendidikan di Indonesia, terutama yang penulis lihat dan alami sampai saat ini masih jauh dari tujuan pendidikan yang diharapkan. Seperti yang kita ketahui, tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dalam kenyataannya tujuan pendidikan tersebut masih belum tercapai.

Banyak ditemui disekitar kita orang-orang yang notabene-nya berpendidikan atau memiliki ijazah di Perguruan Tinggi, namun tidak berbudi pekerti luhur, bahkan menyimpang. Banyak juga orang yang berpendidikan tinggi tapi tidak memiliki ketrampilan sehingga tidak mendapat pekerjaan alias menganggur. Hal-hal semacam ini membuktikan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Orang yang berpendidikan tinggi saja kualitasnya masih diragukan, bagaimana dengan orang yang berpendidikan rendah? Memang pendidikan tidak menjamin seseorang untuk sukses, banyak orang-orang sukses yang berasal dari non-pendidikan. Namun, bukan berarti pendidikan di negara kita tidak perlu diprioritaskan. Bukankah pemerintah telah mengatur tujuan pendidikan yang begitu ideal?

Dalam praktiknya banyakditemui anak-anak yang putus sekolah di usia dini, karena faktor ekonomi. Memang pihak pemerintah sendiri telah menyiapkan program-program yang membantu anak-anak yang lemah ekonomi, seperti beasiswa, BSM, BOS, dan lain sebagainya. Namun dalam pelaksanaannya masih belum merata dan belum tepat sasaran. Hal ini terlihat dari banyaknya anak-anak yang tidak mampu tapi tidak mendapat bantuan dari pemerintah sehingga ia terpaksa putus sekolah. Belum lagi dengan jutaan anak jalanan di negara kita yang tidak mengampu pendidikan dasar.Bagaimana anak bangsa berkualitas jika mereka tidak mengenal tulisan? Ketika membahas hal ini penulis jadi teringat perkataan Presiden Jokowi yang mempertanyakan “Bagaimana jika obat kanker ada pada otak anak-anak jalanan yang tidak dapat melanjutkan sekolah?”. Entahlah dengan cara apa pemerintah mengurus anak-anak dibawah umur yang bertebaran dijalanan itu. Yang pasti dari sekian banyaknya anak jalanan, pasti ada anak cerdas yang bermimpi untuk bersekolah setinggi mungkin yang dapat memberi kemajuan terhadap negara Indonesia.

Tidak hanya faktor ekonomi yang membuat anak putus sekolah, banyak juga anak yang putus sekolah karena pernikahan dini. Disini peran orangtua sangat penting dalam mendidik anak. Banyak orangtua yang beranggapan bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, yang penting bisa membaca dan menulis. Padahal mau jadi apapun nanti, selagi kita mampu tuntutlah ilmu setinggi mungkin. Walaupun anak perempuan banyak yang berujung menjadi Ibu rumahtangga, tapi tetap saja memerlukan arahan dalam hal pendidikan. Seperti yang telah dijelaskan diatas, pendidikan bukan hanya teoritis, tapi juga berperan dalam membentuk kepribadian. Bukankah perempuan yang cerdas akan berpeluang melahirkan anak yang cerdas?

Selain itu, kualitas pendidikan juga dipengaruhi oleh proses pembelajaran yang tidak efektif dan efesien. Proses pembelajaran di negara kita masih berorientasi pada teoritis, hal ini mungkin disebabkan dari padatnya kurikulum dalam pembelajaran. Anak dipaksa mengetahui dan menghafal dengan segudang materi yang dipelajarinya, dan guru hanya sekedar memenuhi kewajibannya dengan memberi pengetahuan, tanpa ingin tahu pemahaman anak dalam mengaplikasikan materi yang diajarkan oleh guru tersebut. Sehingga pengetahuan yang ditransfer dari guru tidak dapat berkembang dan ketika anak lulus dari sekolah, banyak yang tidak mempunyai ketrampilan khusus yang pada akhirnya menyebabkan mereka mengalami kesulitan di dunia kerja.

Proses pembelajaran juga dipengaruhi oleh sarana dan prasarana yang memadai.  Di Indonesia sendiri pembangunan sarana dan prasarana di bidang pendidikan masih belum merata, terutama untuk masyarakat yang berada di luar Pulau Jawa. Banyak anak-anak yang harus melalui berbagai hambatan dan rintangan untuk sampai di sekolahnya karna tidak adanya akses yang memudahkan mereka menuju ke sekolah.Kebanyakan masyarakat yang tinggal di daerah terpencil harus merantau ke kota-kota besar untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang memadai. Kalau sudah demikian, pertumbuhan penduduk dan perkembangan pembangunan di Indonesia semakin timpang karna semakin kompleksnya permasalahan yang disebabkan dari ketidakmerataan pembangunan ini.

Kemudian, jika disorot dari aspek tenaga pendidik, kesejahteraan tenaga pendidik di Indonesia masih terbilang rendah dibandingkan negara lainnya, terutama guru honor. Miris rasanya ketika melihat nasib guru honorer di Indonesia yang begitu memprihatinkan. Dilihat dari segi penghasilan, masih banyak guru honorer yang berpenghasilan kurang dari Rp 500.000,00. Apalagi untuk melangkah dari guru honorer ke guru PNS adalah hal yang sangat sulit. Media massa seperti koran dan televisi pun sering mempublikasikan nasib guru honor yang belum diangkat menjadi PNS dengan jangka waktu yang lama. Belum lagi, banyaknya kasus suap menyuap, baik untuk menjadi guru honorer maupun guru PNS yang sudah menjadi rahasia publik. Jika sudah demikian orang yang berkualitas bisa dikalahkan dengan orang yang mempunyai banyak uang, dan bagaimana kualitas generasi penerus bangsa di negara kita? Apakah akan semakin maju?Kalau memang pemerintah sendiri harus menyediakan kuota Guru PNS yang sangat sedikit setiap tahunnya, seharusnya pemerintah menetapkan UMR untuk guru honorer. Setidaknya dengan adanya UMR untuk guru honorer, nasib guru honorer  yang ada di Indonesia tidak lebih memprihatinkan dibanding seorang buruh.

Namun disisi lain, jika melihat kualitasnya,kemampuan tenaga pendidik di Indonesia juga belum maksimal. Seperti yang telah dibahas diatas, banyak guru yang hanya sekedar memenuhi kewajiban tanpa ingin mengetahui respon atau umpan balik dari anak didiknya. Padahal tugas guru yang sebenarnya tidak sesederhana itu. Pemerintah telah mengatur melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 yang mengemukakan bahwa guru harus memiliki 4 kompetensi, yaitu kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Dengan penguasaan kompetensi tersebut guru dituntut dapat membentuk generasi penerus bangsa yang cerdas dan berkarakter, tidak hanya cerdas teori tapi dalam aplikasi juga. Pemerintah sendiri perlu menyadarkan guru akan pentingnya peran serta tanggungjawab guru dalam mempengaruhi kemajuan suatu bangsa. Tidak hanya menggunakan rewards, tapi juga bisa dengan memberikan pelatihan atau sanksi yang diberikan terhadap guru yang belum menjalankan tugasnya dengan benar.

Penulis berharap, kedepannya kualitas pendidikan di Indonesia semakin membaik. Dalam hal ini tidak hanya peran pemerintah yang diperlukan, namun juga peran orang tua, guru dan anak bangsa dalam memasuki dunia pendidikan. Dengan adanya kerjasama yang baik antara pihak-pihak tersebut, walaupun sulit, cepat atau lambat tujuan pendidikan akan tercapai. Maka dari itu dimulai dari kesadaran diri sendiri, jika ada niatan untuk memajukan generasi bangsa, kita semua pasti bisa.

Oleh : Iffah Syarifah

mahasiswa Pendidikan Ekonomi Unswagati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar