Sabtu, 02 Mei 2015

Pendudukan Untuk Hari Pendidikan

Setaranews - “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa  Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Sepenggal kalimat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang menjadi cita-cita berdirinya bangsa ini untuk rakyatnya bahkan umat manusia di dunia ini. Bangga, menjadi Indonesia itu sudah mendarah dan menjadi kebanggan bagi generasi yang terlahir di Bumi Pertiwi yang kaya alamnya, sukunya, budayanya, dan agamanya. Ya, kami bangga.

Namun, jika kita berkaca dan mengamati kembali yang tertulis di dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut, kiranya menjadi semakin menjauh dari apa yang dicita-citakan Negeri ini untuk rakyatnya. Dari biaya untuk kebutuhan dasar sebagai manusia, kesehatan, hingga pendidikan yang layaknya mencerdaskan generasi bangsa ini. Kini telah bergeser orientasinya pada keuntungan semata. Ya, dan hanya mereka yang memiliki uang, mereka bisa masuk gerbang pendidikan. Mereka yang tak punya uang, akan hilang.

Hari pendidikan menjadi basi dan hanya di isi dengan acara seremonial. Guru dan murid berbaris, pimpinan daerah atau mungkin pusat dan berpidato seakan persoalan pendidikan enteng di matanya. Keinginan mengoreksi kembali tujuan pendidikan dianggap akan menimbulkan  debat kusir.

Pendidikan yang semakin di-komersial-isasi kan di negeri ini terjadi dari tingkatan paling rendah hingga perguruan tinggi. Tak mau ikut ketinggalan, salah satu kampus yang ada di kota udang, Cirebon. Tepatnya jalan pemuda no. 32, yang juga semakin meningkatkan biaya pendidikan dan pembangunannya. Meningkatnya biaya itu tak sejajar dengan meningkatnya sarana prasarana untuk mahasiswa agar menjadi insan bangsa yang berani mengungkapkan benar sebagai  kebenaran, salah sebagai kesalahan. Cenderung untuk bungkam pada kebenaran menjadi hal yang tabu bagi sebagian besar mahasiswanya dan sebagian kecil mempertanyakan haknya sebagai warga Negara Indonesia agar cerdas dan mampu menyelesaikan persoalan bangsa ini. Artinya, persoalan bencana alam yang terjadi, korupsi, PSK, bencoleng, tukang becak, nelayan, petani, pengangguran, rektorat, dosen, karyawan, guru dan semua warga Negara Indonesia yang juga warga Negara dunia akan menjadi tanggungjawab kaum cendekiawan.

Pada batang tubuh UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 berbunyi “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”. Pada kenyataannya masih banyak warga Negara baik dari kelompok masyarakat miskin, daerah tertinggal dan sebagainya yang  belum mendapatkan pengajaran seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut.

Pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 4 ayat 2 berbunyi “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa.” namun dalam kenyataannya sebagian penyelenggaraan pendidikan belum sesuai dengan peraturan tersebut. Penyelenggaraan pendidikan masih saja bersifat diskriminatif dan tidak menunjung hak asasi manusia. Misalnya dalam penyelenggaraan pendidikan mahasiswa yang tak mampu dalam financial terjebak tidak diijinkan untuk mengikuti ujian.

Maka seharusnya :

-          Kembalikan orientasi pendidikan untuk mencerdaskan dan memberi  kebebasan dalam berfikir bukan berorientasi pada keuntungan.

-          Selenggarakan pendidikan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural, dan kemajemukan bangsa.

-          Meningkatkan sarana dan prasarana demi menunjang pendidiakan.

-          Transparansikan keuangan kampus.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar