Kamis, 15 Mei 2014

Essai: Mengingat Sejarah, Memupuk Spirit

Mengingat Sejarah, Memupuk Spirit


oleh: Zulyani Evi


Sebagian besar pemuda saat ini melupakan kewajiban morilnya untuk menulis. Penyebab hal ini salah satunya adalah karena menurunnya minat membaca buku. There’s no writing without reading, kalimat itu sering kali diucapkan pada seminar-seminar jurnalistik. Betul sekali, tanpa membaca buku kita tidak akan menghasilkan tulisan yang berkualitas. Kita juga sulit membuka wawasan seraya mencari inspirasi dalam menulis. Dan yang terpenting kita tidak mempunyai dasar dalam menulis suatu permasalahan. Internet berperan besar dalam menurunnya budaya membaca buku ini. Kawula muda kini lebih memilih yang praktis seperti copy dan paste dari internet.

Teknologi lain juga hadir dengan segala fasilitasnya yang memanjakan kita seperti game, media sosial, chatting dan sebagainya. Pemakaian yang kurang bijak membuat penggunanya kecanduan sehingga berdampak buruk. Kini para pemuda stagnan dengan dunianya sendiri alias autis gadget. Tanpa kita sadari, semua hal itu menciptakan budaya baru yang tidak akan membuat maju bangsa ini.

Harus kita hayati, menulis menjadi sebuah kewajiban moril karena dahulu, kaum pergerakan bangsa Indonesia menulis untuk kemerdekaan bangsa. Mereka mengobarkan api semangat, bahkan mempersatukan bangsa lewat tulisan-tulisan mereka. Mereka menulis dengan diwarnai rasa patriotisme dan semangat berkebangsaan yang tinggi. Maka sudah seharusnya kita sebagai generasi penerus meneruskan spirit mereka, menulis untuk membangun Indonesia.

Pepatah mengatakan, ‘historia vitae magistra’ yang artinya sejarah adalah guru kehidupan. Sejarah memiliki makna yang sangat penting dalam membangun jati diri bangsa. Apabila dikatakan bangsa ini kehilangan jati dirinya, maka salah satu penyebabnya karena sejarah mulai dilupakan dan dianggap tidak penting lagi. Makadari itu marilah kita tengok kembali ke belakang, mengulas sedikit sejarah bangsa ini dalam memperjuangkan kemerdekaannya lewat tulisan. Guna memupuk kembali spirit yang telah hilang itu.

Apabila kita berbicara mengenai peran tulisan dalam membangun negeri ini, pastinya tidak akan jauh dari pers nasional. Yang dimaksud dengan pers nasional menurut L.Taufik ialah surat-surat kabar, majalah yang diterbitkan dan diperuntukkan terutama bagi bangsa Indonesia. Biasanya oleh kaum pergerakan nasional media ini digunakan sebagai lahan mereka untuk menunangkan ide-ide kebangsaan, persatuan yang mempunyai tujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan. Pers ini diusahakan dan dimanfaatkan untuk membela kepentingan-kepentingan bangsa Indonesia (Taufik, L. 1977. Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: PT. Prijanto, hal. 15-17).

Pers nasional merupakan bagian dari masyarakat yang berjuang mencapai kemerdekaan. Sehingga sangat perlu memahami sejarah pers nasional yang berangkat dari semangat persatuan, semangat ini adalah amanah yang harus dijaga sehingga mutu pers kita akan terus maju.

Selama tahun-tahun terakhir sebelum Perang Dunia kedua, ketika semakin banyak kaum muda terpelajar untuk memperkuat barisan gerakan kemerdekaan Indonesia, ada pula diantara mereka yang menerjunkan diri ke dunia pers. Dengan demikian kehadiran mereka dapat meningkatkan mutu pers nasional. Kehadiran mereka juga sebagai penuntun pembaca ke taraf berfikir yang lebih tinggi. Profesi sebagai wartawan pada saat itu bukanlah dari produk sekolah-sekolah kewartawanan, namun mereka hadir secara alamiah sesuai dengan tuntutan jaman. Apa yang dilakukan wartawan ternyata banyak mengundang dukungan dari masyarakat, terutama motivasi perjuangan yang menginginkan penindasan, penghisapan dan tekanan terhadap bangsa Indonesia segera berakhir. Pengaruh yang ditimbulkan besar sekali baik intern maupun ekstern. Pengaruh intern berarti tulisan-tulisan mereka mampu menyadarkan dan menimbulkan keberanian bangsa Indonesia untuk menentang penjajah. Pengaruh ekstern mempunyai pengertian bahwa wartawan Indonesia dengan tulisan-tulisannya berusaha mendapat simpati dari Negara lain agar Negara tersebut mendukung gagasan bangsa Indonesia untuk merdeka (Agus Darmanto. 1992. Usaha-usaha Kaum Pergerakan Kebangsaan Republik Indonesia dalam Menghadapi Persbreidel Ordonnantie Tahun 1931 – 1954, hal. 27 – 30).

Semangat menulis itu bukan hanya datang dari kaum muda, bahkan pemimpin nasional, tokoh-tokoh politikus di Indonesia selalu berkaitan dengan Pers Nasional. Seperti Soekarno, Hatta, H. Agoes Salim, Adam Malik dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka menjadikan pers nasional mempunyai andil yang lebih besar dalam perjuangan Bangsa Indonesia untuk menuju cita-cita kemerdekaan. Soekarno menjadi pemimpin redaksi dari penerbitan majalah Fikiran Ra’jat, koran Fikiran Ra’jat banyak dikenal orang sebagai koran yang selalu berpihak pada kepentingan Bangsa Indonesia pada waktu dijajah Belanda. Hatta menjadi penyumbang tulisan pada majalah Daulat Ra’jat dan Neratja, Amir Syarifudin duduk sebagai staf redaksi majalah Banteng dan Haji Agus Salim menjadi pemimpin redaksi Mestika. Tak jarang mereka keluar masuk penjara karena aktivitasnya dalam dunia pers

Salah satu surat kabar yang menjadi kompor berkembangnya pers nasional adalah Medan Priaji. Surat kabar pertama yang menggunakan bahasa melayu dan seluruh redaksinya adalah pribumi, berdiri pada tahun 1907 di bawah asuhan Raden Mas Tirtahadisoerja. Koran yang cukup berani menentang pemerintah kolonial, hal ini terlihat pada semboyannya; “Orgaan boeat bangsa yang terperentah di Hindia Olanda, tempat akan memboeka swaranja Anak Hindia” (Ahmadi, T. 1985. Rampai Sistim Pers Indonesia. Jakarta: PT. Panca Simpati, hal. 63). Setelah kemunculan koran ini, menyusul koran lain yang mempunyai karakter yang sama antara lain; De ekpers yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dan Dr. Setiabudi, Soeara Oemoem yang dipimpin oleh Adam Malik dan koran Adil yang dipimpin oleh Harun Al Rashid.

Organisasi yang lahir sebagai tonggak kebangkitan nasional pun memiliki surat kabar guna menyebarluaskan ideologi dan semangat mereka. Budi Utomo menerbitkan Darmo Kondo, yang dalam perkembangannya menjadi surat kabar berbahasa Indonesia dengan nama Pawarta Oemoem sebagai pembawa suara Partai Indonesia Raya. Sarekat Islam Surakarta menerbitkan Sarotomo. Di Kota Solo juga terbit majalah Medan Moeslimin yang diasuh oleh Haji Miscbah dan M. Satro Siswojo. Sementara itu National Indiesche di Solo juga mendirikan surat kabar Panggoegah. Sedangkan Moehamadiyah mempunyai Soeara Moehammadijah dan Soeara Aisjiah (Agus Darmanto. 1992. Usaha-usaha Kaum Pergerakan Kebangsaan Republik Indonesia dalam Menghadapi Persbreidel Ordonnantie Tahun 1931 – 1954, hal. 32 – 35).

Pers nasional dengan segala kemampuannya berusaha mengutarakan fakta-fakta ketidakadilan dan kebenaran melalui rangkaian kata-kata ataupun lisan sehingga dari apa yang mereka lakukan akan menimbulkan jiwa patriot di kalangan bangsa Indonesia. Jiwa patriot inilah yang diperlukan dalam memperjuangkan nasib bangsa Indonesia (Anwar, Ahmadi. 1987. Perjuangan Sebagai Motivasi Wartawan Sebelum Proklamasi. Yogyakarta: Departemen Penerangan RI, hal. 3).

Alih-alih mencari keuntungan, pers nasional lahir dengan semangat perjuangan. Wartawan-wartawan saat itu bisa dikatakan pejuang, walaupun tidak angkat senjata namun mereka berjuang melalui kata-kata yang tersusun menjadi sebuah tulisan penyemangat. Sehingga terpupuklah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Setelah mengulas sedikit sejarah mengenai bagaimana tulisan dapat mempersatukan bangsa, sepantasnya hal itu dapat menjadi refleksi bagi kita semua. Peran tulisan dalam membangun Negeri sudah lama digalakkan oleh para kaum pergerakan. Sayangnya rasa seperti itu kini pudar. Tulisan-tulisan para generasi penerus seakan kehilangan ruhnya. Dengan mengingat kembali sejarah, mengulas sedikit yang telah berlalu, marilah kita pupuk lagi spirit yang pudar itu.

Padahal menulis adalah sarana pengembangan diri mahasiswa dengan dunia yang ditekuninya saat ini, yakni dunia keilmuan. Proses pengembangan diri melalui proses menulis akan menjadikan mahasiswa mampu mengembangkan pemikiran, intelektualitas, dan eksistensi dalam bidang keilmuan yang sedang dikaji secara mendalam sesuai bidangnya masing-masing(Rohmadi, Muhammad., Sri Nugraheni, Aninditya. 2011. Belajar Bahasa Indonesia: Upaya Terampil Berbicara dan Menulis Karya Ilmiah. Surakarta: Cakrawala Media. Hal 99). Apapun disiplin ilmunya, mempunyai kesadaran menulis itu sangat penting. Berlatih dan terus berlatih untuk menulis. Agar kita dapat mengabadikan gagasan kita. Menulislah untuk kepentingan rakyat dan bangunlah Negeri ini.
Penulis adalah peserta lomba Essai Festival Sutan Setara IV; dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar