Jumat, 23 Mei 2014

Opini: Mengukur Kebangkitan Nasional di Tanah Cirebon

 Mengukur Kebangkitan Nasional di Tanah Cirebon


oleh: Santosa


BERBICARA – tentang hari kebangkitan nasional di Indonesia, agaknya sudah sangat tua sekali. Sekitar 106 tahun yang lalu, para perintis kemerdekaan Indonesia merangkak-rangkak untuk memperjuangkan nasib bangsa yang katanya kaya raya akan alam dan sumber daya manusianya yang melimpah. Tetapi entah mengapa, penulis merasa masih merangkak-rangkak juga untuk bisa bangkit dari persoalan yang melanda kota Cirebon yang khas dengan panggilan kota udang ini.

Bangkit dari Semrawutnya Birokrasi Pemerintah Daerah

Penulis punya pengalaman buruk dengan sistem dan mekanisme birokrasi pemerintah daerah di negeri yang katanya telah melakukan reformasi birokrasi ini. Belum lama penulis pernah mendatangi kantor Walikota Cirebon untuk mengirim sebuah surat yang ditujukan kepada sang Pemimpin Kota Udang. Setelah beberapa hari, penulis mencoba untuk menindaklanjuti surat tersebut, entah mengapa setelah penulis meninjau ke jajarannya. Ternyata surat disposisi itu hilang entah kemana.

Ini sangat lucu, karena masih ada hal-hal seperti ini terjadi di bangsa kita yang telah modern. Surat dari aspirasi rakyat ini hilang ditelan oleh ‘janji-janji’ si Walikota yang RAMAH. Belum lama memang, dulu penulis mendengar tentang program aspiratif, berharap ada kebangkitan di kepemimpinan Cirebon yang baru. Kalau seperti ini, boleh penulis berpendapat Cirebon masih jauh dari kata bangkit dari reformasi birokrasi.

Di dalam karangan buku Paulus Wiranto (2011) ada 10 peran pemimpin, yang salah satunya adalah sebagai agen perubahan. Satu contoh semrawutnya birokrasi yang rumit di dalam kepemerintahan yang penulis jelaskan, adalah satu dari sekian puluh atau bahkan ratusan cerita yang mengindikasikan bahwa ada jeda atau semacam tembok yang membatasi komunikasi antara pemerintah dengan rakyat. Ini akan menjadi hal yang konyol, jika birokrasi yang rumit ini belum juga bisa dipecahkan oleh seseorang yang katanya ingin membuat kota Cirebon menjadi lebih Maju.

Kesenjangan Ekonomi

Kota yang dibesarkan oleh Sunan Gunung Jati ini, di dalam perkembangannya mengalami kemajuan yang cukup berarti. Penulis mencoba mengukur dari segi realita di lapangan, ternyata masih menyisakan keprihatinan. Pesan “Ingsun Nitip Tajug lan Fakir Miskin” agaknya sudah mulai dilupakan.

Penulis masih teringat dengan peristiwa pengusiran para pengamen, pedagang asongan, peminta-minta yang diusir dari zona Stasiun Kejaksan yang dikelola oleh Perusahaan Milik Negara waktu itu. Mungkin bagi masyarakat biasa sudah melupakan kejadian ini, tetapi bagi saya ingatan tentang diskriminasi akan hak-hak dasar seorang manusia selalu menjadi catatan khusus untuk tetap disuarakan.

Mungkin Perusahaan Milik Negara sudah lupa tentang amanat dari Undang-undang Dasar tentang Hak Asasi Manusia, pada Pasal 28A bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dilanjutkan dengan Pasal 28B ayat 2 dengan lebih tegasnya; Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Belum lagi dengan amanat Pasal 34 ayat 1 yang menjelaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Penulis merasa bingung pada peristiwa yang telah berlalu tersebut, sebenarnya perusahaan milik negara ini untuk siapa? Lalu dimana peran wakil rakyat dan pemimpin kota Cirebon di saat rakyat kecil yang lemah ini diusir dari tanah kelahirannya? Ironis, para pejabat tidak bisa berperan dengan baik dan seolah tidak paham dengan tugas dan tanggung jawabnya.

Hal yang menjadi heran lagi, pemerintah daerah seakan mengistimewakan ‘pembangunan gedung’ dan justru melupakan ‘pembangunan sumber daya manusia’. Para pengusaha yang rakus dan pemerintah yang tidak paham menjadi faktor kian menjulangnya kesenjangan pembangunan ekonomi di kota Cirebon. Satu persatu pasar tradisonal di kota Cirebon kian sepi, karena tidak adanya batasan minimarket dan supermarket di kota Cirebon yang merebut rotasi perputaran uang di masyarakat.

Pasar tradisional yang sedianya menjadi wadah bagi rakyat untuk berbagi rezeki, kini harus gulung tikar hingga harus menjadi pedagang kaki lima yang siap digusur oleh Satpol PP. Miris, di satu sisi ingin mendapatkan rezeki yang halal di pinggiran jalan karena di pasar tradisional mulai sepi. Namun melanggar zona pejalan kaki, yang ramai dengan lalu lintas calon pembeli.

Sekali lagi penulis mencoba mengukur, sampai sejauh mana kebangkitan ekonomi kerakyatan ini dapat ditegakkan oleh para pemimpin di kota Cirebon yang katanya Aspiratif ini?

Kebangkitan Perlu Dimulai dari Zona Pendidikan

Tidak ada yang perlu kita tutupi, bahwa pendidikan di Cirebon masih jauh dari kata maju. Belum tersedianya kampus di Cirebon yang memiliki laboraturium kebangsaan dan pusat penelitian kerakyatan untuk mengkaji langkah-langkah strategis dalam menyejahterakan masyarakat secara adil dan bijaksana. Kampus yang ada di Cirebon masih terlalu fokus dengan  pengejaran nilai, dan penyiapan kader anak bangsa sebagai buruh.

Tujuan pendidikan yang masih ke arah orientasi siap kerja, bukan ke arah yang siap berinovasi dan maju secara mandiri. Arah pendidikan yang seperti itu, hemat penulis adalah kuno dan ketinggalan zaman. Akibatnya; bangsa ini terus-terusan menjadi minder dengan kemajuan bangsa lain. Itulah sebabnya kita terlalu mudah membanggakan karya milik orang lain yang padahal kita memiliki kesempatan yang sama dalam meraih sebuah kemajuan.

Penulis yakin jika seluruh elemen masyarakat di kota dan kabupaten Cirebon dapat belajar bersama-sama untuk mengenal khalayak (Ich kenne mein Volk). Maka penulis yakin, kita tidak akan lagi menjadi objek pembangunan dari sebuah tuntutan efek globalisasi. Tetapi kita justru akan menjadi subjek dari sebuah proyek globalisasi yang tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, norma-norma, dan kebudayaan di negeri sendiri.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Swadaya Gunung Jati, opini ini pernah dimuat di Koran Kabar Cirebon halaman 12 pada hari Kamis 22 Mei 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar