Jumat, 30 Mei 2014

Merawat Kebudayaan dengan Tulisan

Merawat Kebudayaan dengan Tulisan


Oleh: Efri Fahmi Aziz


Prolog

Kemarin malam, ketika penulis membuka Facebook, penulis mengkrenyutkan dahi sekaligus memandangi layar kaca dengan penuh suka cita ketika membuka profil Fcebook. Kenapa tidak, setelah sekian lama “fakum” di jejaring sosial  tiba – tiba penulis dikagetkan dengan sebuah poster yang di tag-kan oleh salah seorang kerabat. Poster tersebut berisi – bisa dibilang – ajakan untuk ‘memungut’ kembali keping – keping budaya (kususnya ke arifan lokal) suatu daerah di Indonesia, Ya, poster itu tidak lain adalah Ekspedisi tentang data kebudayaan yang diprakarsai oleh tim sejutadatabudaya.com

Tercengang, dalam artian bangga. Bangga masih ada yang memikirkan dan memperjuangkan kebudayaan Indonesia. Karena memang bangsa ini kaya akan kebudayaan yang sedari dulu terus diperjuangkan. Akan tetapi, sangat disayangkan – tidak  perlu menjelaskan panjang lebar bagaimana kepedulian “elit” terhadap ke budayaan Indonesia – miris. Tampaknya, kita perlu mendobrak otak beton para pemangku jabatan publik yang “miskin” kepedulian tentang kebudayaan Indonesia. Maka dari itu penulis senang dan mengucapkan terima kasih kepada tim sejutadatabudaya.com akan kepeduliannya terhadap kebudayaan Indonesia.

Singkat Tentang Antropopogi Budaya

Entah mengapa, walaupun basic study penulis adalah Ekonomi tetapi penulis tertarik akan persoalan dan pembicaraan yang berkaitan tentang budaya. Yang jelas penulis yakin ketika berbicara kebudayaan, tidak hanya jadi fokus pemikiran para ahli budaya, tetapi menjadi fokus pemikiran semua (tanpa memandang istilah kelas sosial). Budaya tidak melulu harus dipelihara dan dikembangkan oleh segelintir orang, ini merupakan fokus perhatian bersama.

Bicara budaya tentunya tidak lepas dengan istilah Antropologi, karena keduanya bagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Antropologi merupakan istilah dari bahasa Yunani (Baca: Antropos) yang berarti “Manusia” dan logos yang berarti “wacana”. Secara harfiah Antropologi merupakan  suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk biologis. Secara umum Antropologi yaitu  sebuah ilmu yang mempelajari segala aspek dari manusia, yang terdiri dari aspek fisik dan non-fisik seperti: warna rambut, warna kulit, bentuk mata, kebudayaan, dan berbagai pengetahuan tentang corak kehidupan yang bermanfaat lainnya.

Apabila sedikit menilik tentang ilmu ini, betapa rasisnya para peletak dasar ilmu ini. Tidak dapat dipungkiri Antropologi datang dari kalangan Bangsa Eropa yang menilai ada perbedaan terhadap orang – orang di luar Bangsa Eropa. Dari ilmu ini kolonialisme lahir di negara – negara non –Eropa, karna ilmu ini pada dasarnya digunakan oleh orang – orang Eropa untuk mempelajari segala sesuatu tentang orang – orang di luar Eropa supaya bisa melanggengkan kolonialisme di negara – negara dunia ke tiga, termasuk Indonesia.

Bangsa ini lebih dari 3 abad dijajah oleh Bangsa Eropa (Portugis kemudian Belanda), tidak hanya tenaga dan Sumber Daya Alam yang dikuras habis, budaya pun tidak terlewatkan. Bisa dilihat dari berbagai, malah ribuan dokumen tentang kebudayaan Indonesia yang diboyong ke negeri Belanda dan diasosiasikan oleh suatu lembaga asal Belanda, penulis lupa apa nama lembaga tersebut. Lain waktu mungkin penulis bisa lampirkan.

Salah satu cabang dari ilmu antroplogi ada yang disebut dengan Antroplogi Sosial Dan Budaya. Di dalamnya ada yang membahas tentang Etnolinguistik yaitu ilmu yang mempelajari pelukisan tentang ciri dan tata bahasa dan beratus-ratus bahasa suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi. Selain itu ada pula tantang Etnologi yaitu ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.

Ketertarikan Atas Kampung Naga

Dalam hal ini, seperti yang telah dikategorikan oleh sejutadatabudaya.com. Penulis tertarik untuk mengkaji tentang kebudayaan masyarakat adat Kampung Naga. Alasannya selain penulis berdomisili di Cirebon, Jawa Barat, yang tentunya tidak terlalu jauh dengan Kampung Naga di Tasikmalaya. Penulis juga tertarik dengan keberadaan Kampung Naga tersebut, karena berada di daerah yang tidak terlalu jauh dengan pusat – pusat kota. Akan tetapi, Penduduk Kampung Naga (Masyarakat Adatnya) bisa bertahan’ mempertahankan kebudayaan “leluhur” di tengah – tengah hiruk-pikuknya gempuran budaya dari “tetangga sebelah”.

Itu alasan penulis mengapa tertarik ingin mengkaji masyarakat adat Kampung Naga, bukan berati penulis tidak tertarik dengan rumah adat, cara masyarakat melakukan kegiatan sosial-ekonomi, keagamaan dan sebagainya. Penulis tertarik terhadap itu semua. Seperti yang sudah disinggung di atas, ekspedisi budaya ini diharapkan bisa meraup puing – puing dan merangkainya menjadi suatu kesatuan yang utuh tentang kebudyaan Indonesia.

Mulailah Menulis!

Pertanyaannya bagai mana caranya? Penulis sepakat, Caranya dengan Ekspedisi data kebudayaan ini. Ekspedisi kebudayaan dengan observasi dan wawancara langsung, tentunya turba (turun ke basis) menetap dan menjadi bagian dari masyarakat adat, di situ sedikit demi sedikit akan menemukan titik terang. Dalam hal ini yang tidak bisa dilewatkan yaitu menulis. Karena dengan menulis kembali semua tentang kebudayaan dan kearifan lokal itu kita bisa melakukan perlawanan atas penjajahan dan penjarahan tentang Kebudayaan Indoensia.

Tidak dapat dipungkiri, selain stabilitas ekonomi,sosial dan politik. Salah satu cara yang ampuh untuk keluar dari “krisis” dan bertahan di era Globalisasi ini yaitu dengan kita tidak sedikitpun melupakan akar, yaitu kebudayaan dan kearifan lokal. Karna menurut penulis dua hal itu bisa menjadi senjata ampuh, dan modal dasarnya yaitu kemauan dari generasi penerus bangsa untuk mulai merangkai puing – puing yang sudah tercecer itu menjadi satu bangunan yang utuh. Sekali lagi caranya menurut penulis yaitu dengan mulai menulis tentang kebudayaan dan kearifan lokal di Indonesia. Dengan begitu kita akan mencoba merangkai wajah tentang (merawat) kebudayan Indonesia, dan ditulis oleh tangan – tangan asli Indonesia. Bukan tangan asing.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar