Selasa, 20 Mei 2014

Opini: Politik Masa Depan, yang Muda Harus Ambil Peran!

POLITIK MASA DEPAN, YANG MUDA HARUS AMBIL PERAN!


Oleh: Santosa


Proses pendewasaan berpolitik yang terjadi saat ini di Indonesia, masih dibilang jauh dari kata maju. Menengok pada pemilihan umum legislatif yang baru saja berjalan di setiap pelosok di Indonesia, sungguh sangat memprihatinkan. Betapa tidak, dari mulai kesalahan teknis panitia pemilu, kecurangan saat pemilu, hingga praktik money politic masih saja mewarnai proses demokrasi di negeri ini.

Satu hal yang membuat penulis merasa gerah dengan para pelaku calon yang katanya bakal menjadi ‘wakil rakyat kita’. Mengambil seribu cara untuk meraih suara rakyat yang saat ini masih buta, buta karena janji-janji manis dan tuli dengan suara nuraninya hanya karena persoalan ‘perut’ semata. ‘Kegalauan’ bangsa ini dalam berpolitik sangat jauh dari kata ‘sehat’, tidak lagi seperti dulu. Dimana rakyat membela cita-cita bangsa, semangat persatuan, dan menginginkan kemerdekaan bersama-sama di dalam satu wadah untuk diperjuangkan dengan bersama-sama pula.

Penulis masih ingat saat malam sebelum pencoblosan. Saat itu ada beberapa yang orang yang katanya ‘Tim Sukses’, mereka membagikan amplop di beberapa rumah warga sekitar. Isinya sudah bisa ditebak, dengan segepok uang dan nama calon legislatif dengan berikut nama partai yang dimaksud.

Ini nyata terjadi di sekitar kita, dan kita masih mendiamkan kejadian ini berlarut-larut. Seakan-akan kita membenarkan kejadian tersebut adalah ‘lumrah’ atau semacam ‘sudah biasa’. Penulis yakin, ada kebiasan-kebiasaan yang perlu kita rubah dalam proses berdemokrasi yang sakit seperti ini. Sebelum sakit ini kian parah dan harus dimasukkan ke dalam Rumah Sakit Reformasi Jilid II.

Penulis masih ingat dengan pekikan dari Bung Karno, “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku satu pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Penulis menterjemahkan maksud dari Bung Karno ini adalah, kebiasaan lama yang saat ini terjadi mungkin hanya sekuat letusan gunung. Namun jika sedikit pemuda yang bergerak saja, maka niscaya dapat merubah isi dunia. Penulis teringat dengan kekuatan mahasiswa yang saat itu merubah wajah Indonesia dalam tragedi tahun 1998 yang lalu.

Mulai dari Para Pemuda, Perbaiki Keadaan

            Tidak bisa kita pungkiri, budaya berpolitik saat ini masih didominasi dari para ‘orang-orang lama’ yang bisa dikatakan semangat idealisme, sosialisme, dan nasionalismenya sudah dimakan usia. Penulis sering mendengar dari jeritan rakyat kecil, mereka berkata ‘Idealisme cukup saat muda saja, kalau sudah tua yang diutamakan itu perut’. Kalau sudah seperti ini, apa jadinya bangsa ini di masa yang akan datang?

Tidak ada kata tidak bisa untuk merubah ke arah yang lebih baik, jika kita mau ambil peran sekarang juga untuk bisa mengambil peranan sikap dalam berpolitik. Tidak ada istilah tua, dalam berpolitik. Karena muda, bukan halangan untuk turun ke lapangan, memperbaiki keadaan demokrasi di Indonesia.

Di masa yang lalu, saat itu para kaum terpelajar berkumpul untuk menentukan sikap politiknya terhadap matinya demokrasi karena dibawah ancaman pejajahan Belanda. Mereka menyatukan pemikirannya di dalam melihat kondisi bangsanya yang bertahun-tahun terpuruk. Bukan hanya segi ekonomi, pendidikan, pembangunan, dan demokrasi, jiwa dan raganya pun telah banyak yang mati. Inilah yang kemudian, mendasari para kaum intelektual saat itu bersatu dalam satu suara untuk merubah.

Sama halnya saat sekarang, kesadaran akan politik yang sehat dan kurangnya pendidikan dalam berpolitik kurang disampaikan kepada masyarakat. Sehingga saat ini yang terjadi adalah, matinya demokrasi yang sehat karena money politic. Karena hampir setiap desa di pejuru negeri ini akan mendengar cerita yang sama, tentang ‘harumnya malam menjelang pencoblosan pemilu’. Bertahun-tahun para pejuang bangsa ini memperjuangkan agar bisa mendapatkan status kemerdekaan, kemudian kemerdekaan kita dilecehkan begitu saja hanya dengan segepok amplop tidak kurang dalam hitungan menit. Konyol memang, namun penulis optimis masih ada rakyat yang masih menggunakan hak pilihnya secara murni kepada mereka yang benar-benar ingin membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Membangun Politik Masa Depan Indonesia

            Agaknya kita perlu untuk mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan bahkan materi kita untuk mengobati sakitnya demokrasi di Indonesia. Satu persatu kita perlu mengecek; partai politik, calon wakil rakyat, dan rakyatnya sendiri ke dalam bingkai demokrasi. Apakah sudah punya niat berpolitik secara sehat, bermartabat, dan mau jujur?

Percayalah, masih ada bibit-bibit dari rakyat yang benar-benar mau untuk membangun tanah kelahirannya ini, disamping mereka yang hanya ingin mengambil kesempatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Siapakah mereka?

Penulis meyakini, mereka adalah orang-orang yang masih peduli dengan kondisi bangsa. Sama seperti apa yang terjadi pada masa silam, saat-saat masyarakat tidak lagi mampu untuk melawan kekuatan dari para penjajah. Para pemuda dan kaum intelektuallah yang mengambil peranan untuk menyelamatkan bangsanya dari keterpurukan. Sudah barang tentu, karena dukungan dari para orang tua yang menginginkan anak-anaknya dapat menikmati nikmatnya hidup merdeka tanpa penjajahan.

Teringat dengan pidato Bung Karno pada masa 1966 silam, “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang”. Artinya, untuk dapat memperbaiki sistem demokrasi pada saat ini yang masih belum dewasa, ada baiknya kita perlu untuk ikut turun langsung ke lapangan dengan menolak dengan tegas, stop money politic, dan serukan kepada calon wakil rakyat untuk turun langsung ke masyarakat dan ayo kita berlomba beradu ide, gagasan, untuk membangun bangsa yang lebih baik dan tunjukkan dukungan kita dengan berani untuk katakan tidak untuk golput.
Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Swadaya Gunung Jati, opini ini pernah dimuat di Koran Rakyat Cirebon di halaman 7 pada hari Jumat 16 Mei 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar