Rabu, 21 Oktober 2015

Budaya Kaum Intelektual

Opini, Akhir – akhir ini saya sering menemui gagasan – gagasan yang tidaklah rasional di kalangan akademisi. Salah satu Pendapatnya mengenai cara berpkaian dan keharusan berpenampilan di lingkungan dan kehidupan kampus yang hanya di tinjau dari prespektif pribadinya. Bukan berarti saya manusia yang anti kritik, tetapi pendapat – pendapat mengenai budaya keharusan berpakaian itu begitu menggangu dan menyengat dikepala. Pasalnya banyak hal yang melatar belakangi ketidak setujuan saya terhadap persoalan ini. Padahal banyak persoalan yang lebih Urgen yang harus dibahas,  dikritisi dan diberikan solusi oleh mahasiswa dan akademisi. Misalnya Persoalan penegakan Hukum Agraria Di bidang Pertanian, Terwujudnya ekonomi Kolektif di bidang ekonomi, Penegakan Hukum yang Tidak adil di Bidang Hukum, Konglomerasi Pendidikan dan lain – lain. Ada apa dengan pemikiran dan budaya yang di pahami oleh masyarakat Kampus, Khususnya Mahasiswa?

Universitas atau institusi pendidikan seyogyanya adalah tempat bagi manusia untuk mencerdaskan dan memerdekakan pemikiran. Di ajarkan berfikir Dengan cara – cara yang rasional dan empiris, lewat metode – metode yang mendidik dan membangun moral manusia. Sehingga yang dihasilkan adalah manusia yang mampu dan menjadi lebih Arif menjawab persoalan dan tantangan Pembangunan Manusia. Dalam mewujudkan lingkungan Pendidikan yang ideal haruslah tercipta budaya kaum intelektual yaitu budaya Literasi (Baca, Diskusi dan Tulis), yang jelas tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi ( Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian). Lalu kenapa masyarakat Intelektual, Masrakat Kampus, kaum Akademisi lebih suka menyorot dan mensensor masalah berpakain? Memang benar pada realitanya kebanyakan manusia menilai segala sesuatu dari penampilan atau kulitnya, jarang menilai sesuatu dari substansinya. Tetapi Saya kira  dengan arif bagi masyarakat  Akademisi yang telah melaksanakan budaya Literasi atau Mengimplementasikan Tri Dharma, persoalan penampilan harus seperti apa dan bagai mana, hanyalah persolan subject dari tiap individu. Toh letak sopan santun, tatak rama, etika setiap manusia memilki cara yang berbeda. Yang jelas tidak melanggar sopan santun yang disepakati masyarakat indonesia secara luas. Dari pada Kita lantang memangkas kebebasan berekpresi dan mengatur manusia lain yang hanya mengkritisi kulitnya, Alangkah lebih bijak jika kita semua terus mengingatkan untuk tetap membudayakan budaya literasi yang mulai terkikis punah. Tentunya Agar tempurung kepla kita tetap sehat dan mampu mebedakan mana prioritas yang utama dan mana yang tidak terlalu penting.

Jika kita belajar dari sejarah bangsa ini mengenai perjuangan Mahsiswa dan Pemuda begitu kental dengan aroma kritik tajam dalam perjuangan melawan penindasan dan penghisapan . Di era Awal Gerakan Pemuda dan Mahasiswa di tahun 1908 Budi Utoemo begitu gencar mengkritisi Pemerintahan Belanda, Perhimpunan Indonesia  mengeluarkan manifesto 1925, di era 1928 Mahsiswa dan Pemuda berhasil melaksanakan Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda, pemuda berhasil mendesak Sukarno untuk mendeklarasikan kemerdakaan pada tahun 1945, di tahun 1966 Soe Hok Gie dengan Berani menginspirasi Perlawanan Terhadap  Pemerintahan yang sewenang – wenang, di tahun 1974 terjadi peristiwa Berdarah Malari, di mana mahasiswa dan Pemuda Menentang Keras Kediktaktoran Pemerintah, 1998 terjadi Reformasi mahasiswa bersatu menggulingkan Rezim Suharto yang Korup. Tentu yang diharapkan Founding Father kita terdahulu seperti Sjahrir dan Hatta Tidak ingin Mahasiswa, Pemuda dan Kaum Intelektual menjadi bungkam dan apatis. Saya pribadi terkadang begitu sulit percaya dengan sejarah panjang perjuangan Kaum Intelektual yang begitu menyakitkan, melelahkan dan menelan Korban Jiwa. Saya meyakini ketangguhan hati dan pemikiran para kaum pembaharu, di karnakan proses intelektualisasi pemikiran serta penyadaran untuk melawan ketidak adilan yang nyata di depann mata. Hal tersebut bisa terwujud di karnakan budaya Literasi yang begitu populis di kalangan Pemuda dan mahasiswa. Karna kesadaran untuk melawan muncul dari pemikiran yang revolusioner yang di barengi wawasan luas. Pemikiran revolusioner ini muncul dari ruang –ruang dialektika kaum intelektual, dengan bersenjatakan wawasan yang komprehensif dan holistik.  sehingga menghasilkan ide – ide yang mampu  melawan kaum – kaum penindas, penghisap dan pembunuh rakyat.

Mari saudaraku,  kita berkaca bersama dan meluruskan kembali pemikiran kita sebagai manusia dan sebagai mahasiswa. Apa kah kita sudah memberikan kontribusi terhadap pembangunan Manusia? apakah kita sudah menjalankan Fungsi dan Peran Kita Sebagai Mahasiswa? Mari kita bersama mewujudkan Budaya Membaca, Berdiskusi, Menulis dan Melawan! Sehingga kita tidak buta dan Tuli dalam menghadpi persoalan Bangsa ini!

“Lekas Bangun dari Tidur Berkepanjangan.


Menyatakan Mimpi MU.


Cuci Muka Biar Terlihat Segar .


Merapikan Wajahmu


Masih ada cara menjadi Besar


Memudakan Tua Mu


Menjelma dan Menjadi Indonesia” – Efek Rumah Kaca



Penulis : Saeful Fatah Mahasiswa Fakultas Pertanian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar