Kamis, 01 Oktober 2015

Ironi Kampus [biruku] Tercinta, Unswagati

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi. Salah satu dasar regulasi terbaru dalam penyelenggaraan perguruan tinggi yang menjunjung tinggi nilai-nilai Aplikatif Tri Dharma PT dalam proses penyelenggaraan pendidikan tinggi. Dalam pasal 11 Ayat (1) karakteristik proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a terdiri atas sifat interaktif, holistik, integratif, saintifik, kontekstual, tematik, efektif, kolaboratif, dan berpusat pada mahasiswa.

Itu semua dapat terwujud dengan standar sarana dan prasarana penunjang di mana didalamnya terdapat beberapa aspek standar yang terkutip dalam pasal 30: standar sarana dan prasarana pembelajaran merupakan kriteria minimal tentang sarana dan prasarana sesuai dengan kebutuhan isi dan proses pembelajaran dalam rangka pemenuhan CAPAIAN PEMBELAJARAN LULUSAN dan dikupas secara general pemetaannya pada pasal 31 (1) standar prasarana pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 paling sedikit terdiri atas:

a. lahan;

b. ruang kelas;

c. perpustakaan;

d. laboratorium/studio/bengkel kerja/unit produksi;

e. tempat berolahraga;

f. ruang untuk berkesenian;

g. ruang unit kegiatan mahasiswa;

h. ruang pimpinan perguruan tinggi;

i. ruang dosen;

j. ruang tata usaha; dan

k. fasilitas umum.

 

Sekarang dari gambaran umum diatas apakah semua itu sudah terlihat dalam kampus kita tercinta Unswagati (Universitas Swadaya Gunung Jati) Cirebon, realita ternyata membuat beberapa kawan-kawan nyaman di -Save Zone- nya masing-masing tanpa memperdulikan bagaimana ini, harus seperti apa dan langkah kongkreat apa yang harus dilakukan.

Berdiam diri santai, hang out, budaya-budaya hedon lainnya yang membuat hampir sebagian kawan-kawan lupa hak dan kewajiban kawan-kawan sebagai Civitas Akademika dari sebuah entitas pendidikan di mana kawan kawan memiliki sebuah hak untuk merima proses pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan yang layak. Dari hal kelas, rasio pengajaran jumlah satu dosen berhak mengajar  berapa jumlah mahasiswa, dosen yang memiliki intregritas dan loyalitas, dan jadwal perkuliahan yang normative normal. Ditunjang jumlah penerimaan mahasiswa baru dengan berbanding kuota dan berapa dosen yang dimiliki serta kapasitas sarana prasarana penunjang dari kampus kita,. Apakah kita ingin seperti saudara kita yang ada di salah satu PTS yang berada di Majalengka dengan status PENONAKTIFAN, QUO VADIS UNSWAGATI?

Kewajiban memang sangat penting guna penunjang proses pembelajaran itu sendiri, tetapi apa, bagaimana dan sudahkan kewajiban yang telah kita lakukan ditransparnasikan dan diakuntanbilitaskan oleh pihak kampus sebagai penyelenggara Pendidikan tinggi dikampus kita ini?

Undang-undang No 12/ 2012 tentang Pendidikan Tinggi (DIKTI) menyebutkan bahwa keuangan masing-masing Perguruan Tinggi (PT) harus transparan dalam penggunaan anggaran semakin ketat. Jika tidak maka sanksi pemecatan terhadap rektor akan diberlakukan. Dikutip selanjutnya oleh pasal dan ayat seterusnya.

Terkait transparansi pengelolaan keuangan kampus atau universitas hal ini bukanlah tuntutan mahasiswa semata namun sudah menjadi kewajiban kampus secara perundang-undangan. Terbitnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Pemerintah bersama DPR memudahkan masyarakat memiliki ruang lebih terbuka untuk memperoleh informasi dari Badan Publik Pemerintah maupun Badan Publik non-Pemerintah dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya.

Kenyataan hari ini dapat mudah dilihat koordinasi antara mahasiswa dengan pihak kampus hanya berupa hal akademik, administrasi akademik, dan kegiatan-kegiatan (itupun harus lewat verifikasi Rektor ataupun Dekan). Lalu di mana ruang mahasiswa ke universitas atau dekan dalam UU KIP ini (sudah sampai manakah Badan Legislatif dan Eksekutif Mahasiswa kita mengawalnya).  (NN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar