Jumat, 06 April 2018

Cerpen: Tamu Bernama Sunyi

Setaranews.com - Di ruang tamu itu Bapak dan Mamak tengah duduk. Merenung-renung seperti sepasang burung yang kehilangan riang kicaunya. Suara-suara jangkrik mendominasi seperti biasanya sesaat malam hari datang. Bangku-bangku di ruang tamu itu terbuat dari kayu dan anyaman bambu. Ubinnya terbuat dari semen yang mulai merupus seperti tulang belulang Bapak dan Mamak. Di dindingnya tak ada satu pun figura Bapak dan Mamak atau anak-anaknya. Bisa bayangkan betapa sunyi sekali ruang tamu itu. Sesunyi hati Bapak dan Mamak yang hanya menua berdua. Mereka berbicara dengan suara yang tak semerdu sewaktu muda dahulu.

“….rumah ini sunyi sekali ya, Mak?” Itu-itu saja yang tiap hari Bapak ucapkan sesaat malam hari datang dan mereka berdua baru saja duduk di ruang tamu itu.

“Tidak, Pak. Rumah ini tidak sunyi, buktinya tiap malam suara jangkrik, sesekali suara walang sangit, sesekali lagi suara katak saling sahut bersahutan menemani kita. Kalau pagi datang suara orang-orang berjalan ke pasar membangunkan kita juga. Ku kira yang sunyi ialah hati kita berdua….” Jawab Mamak berpaling muka.

“Coba kau nyanyikan satu saja lagu Rita Sugiarto yang biasa kau nyanyikan saat masih jadi biduan dahulu.” Pinta Bapak menatap Mamak. “Biar rumah kita ini tidak terasa sunyi lagi.” Lanjutnya.

“Sudah ku katakan, hati kita berdua yang sunyi, Pak. Mau aku menyanyikan puluhan lagu Rita Sugiarto sekalipun, sunyi itu akan terus melekat di hati kita berdua yang kotor ini.” Ujar Mamak agak tersengal-sengal bicaranya, maklum sudah tua, tarikan nafasnya tak semulus sewaktu muda dahulu. Selain itu, ada sedih yang ditahan di kerongkongan, sebab sedih itu tak ia kehendaki mencapai puncak.

Bapak terdiam tidak minta yang aneh-aneh lagi pada Mamak. Itu cukup membuat Mamak merasa agak bersalah, lalu melirik Bapak lewat ekor matanya. “Lagipula suaraku sudah tak kuat untuk bernyanyi.”

Bapak manggut-manggut. Pandangannya menerawang menatap bias-bias cahaya lampu kekuningan. Kau tahu di pundaknya yang tak kokoh lagi itu penyesalan bergelayut. Hari-hari Bapak menjadi terasa berat. “Kemarin lusa, aku bertandang ke rumah Harto. Kau ingat kan Mak kawan lamaku di pabrik rotan itu?” Bapak meminta persetujuan Mamak.

Mamak balas manggut-manggut. Tentu ia tak akan lupa sosok Harto yang kalau bertandang ke rumah ini tak pernah luput membelikan roti isi ayam pada Laila yang dijumpainya sejak kecil itu. Ah, Laila lagi, haru Mamak tak sudah-sudah.

“Ia sekarang tinggal di kota dengan anak sematawayangnya Rudy. Di sebuah rumah semi Belanda yang cukup megah.” Mamak ingat sekarang mengapa Harto begitu baik pada Laila, sebab ia tak punya anak perempuan.

Pernah suatu ketika saat Harto masih sering bertandang ke rumah ini, dengan logat candanya ia berniat menjodohkan Laila dan Rudy, supaya semakin erat lah tali persaudaraan itu. Tapi rupanya takdir berkehendak lain, Rudy yang disekolahkan Harto tinggi-tinggi itu meminang seorang perempuan dari kota yang tampak cantik dan cerdas, setidaknya sepadanlah menurut Mamak untuk latar belakang pendidikan Rudy.

Sementara anak gadisnya Laila hanyalah lulusan Sekolah Menengah Atas di desa, tak terlalu pandai bergaul, tak pandai memikat hati lelaki, hanya pandai menyulam, memasak dan beberes rumah. Ia hanya pernah bilang ingin sekolah tinggi di kota macam abangnya Yunus, tapi yang paling melarang keras Laila ialah Bapak, menurutnya anak gadis tak boleh jauh dari orangtua, lagipula gaji Bapak sudah habis untuk membiayai Yunus. Tak sangguplah ia bila harus membiayai Laila juga sekolah tinggi-tinggi. Yang ada ekonomi keluarga mereka akan morat-marit. Tapi pada akhirnya kecewalah Bapak sesaat mengetahui bahwa Yunus, anak lelaki kesayangannya itu tak pernah mengenyam sekolah dengan benar, tak pernah memegang ijazah universitas, padahal waktu itu tiap bulan ia rutin minta uang sekolah pada Bapak.

Bapak hampir stroke ringan, saking kesalnya ia mengusir Yunus dari rumah, tak tahu sekarang dimana rimbanya anak lelakinya itu.

“Pergi sana kau anak lelaki kurang ajar, sudah ku beri hati, kau renggut paksa rempelo. Tak sudi Bapak melihat mukamu lagi!” Bapak berteriak-teriak marah, tersengal-sengal kesal di teras rumah. Pupus sudah harapannya untuk melihat anak lelakinya bersekolah tinggi, berijazah universitas dan meraih pekerjaan yang lebih baik darinya. Mamak menangis sembari mencoba menghentikan Bapak, sebab teriakannya itu terdengar tetangga. Bahkan beberapa tetangga melongok keluar. Sedih dan malu Mamak waktu itu.

“Aku tak salah, Pak! Sudah ku katakan kan waktu itu, aku tak senang bersekolah menjadi guru! Aku ini senangnya bermain sepak bola.”

“Bisa makan kau dari sepak bola?! Masih berani kau bilang tak bersalah?!” Bentak Bapak lagi. Yunus diam. “Diam kan kau? Sepak bola itu tak akan membuat perutmu kenyang! Tak akan menaikkan derajat keluargamu! Sekarang kau malah foya-foyakan uang dari keringat Bapak. Dasar tak tahu malu!” Bapak hampir memukuli Yunus kalau saja Mamak tidak menghalanginya.

Pergilah Yunus dari rumah, berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan. Mamak sempat mencari Yunus ke rumah kawan sepermainannya, ada yang bilang Yunus mencari kerja di kota. Maka Mamak dan Laila sempat mencari Yunus ke kota, tapi nihil. Mamak cemas bukan main, bagaimanapun Yunus adalah darah dagingnya, sedih ia memikirkan nasib Yunus yang mungkin saja menggelandang dan kebingungan. Maka tiap sembahyang nama Yunus tak pernah luput dari doa Mamak.

Masalah tidak berhenti disitu, Bapak yang kepepet menjodohkan Laila dengan seorang lelaki di desa bernama Gatot anak seorang saudagar beras. Waktu itu Gatot baik-baik meminang Laila pada Bapak dan Mamak. Lupa Bapak kalau Gatot punya reputasi yang jelek. Yang terpenting waktu itu untuk Bapak, Laila laku, apalagi punya suami yang berharta. Laila tak mau. Ia menangis semalaman, suaranya serak hampir hilang. Sebagai anak gadis tentunya Laila ingin menikahi seorang lelaki yang dicintainya, yang dikehendakinya, seperti anak-anak gadis lainnya di desa ini. Mamak membujuk Laila atas titah Bapak. Padahal jauh di lubuk hati Mamak pula lah, ia ingin Laila bahagia, tapi apa boleh dikata untuk memperbaiki nasib sekarang ini, mereka lebih butuh harta ketimbang kebahagiaan.

“Laila… sudahi tangismu. Raunganmu itu macam kau tak pernah menangis seumur hidup saja.” Mamak berdiri di muka pintu kamar Laila, ia menguncinya seharian setelah tahu bahwa Bapak akan menjodohkannya dengan Gatot. Lelaki yang kata para tetangga sering membentak-bentak para petani yang bekerja padanya, sering berjudi, dan terakhir ia ketahuan menampar seorang gadis karena tak mau berkencan dengannya. Apakah setega itu Bapak padanya?

“Katakan pada Bapak, Mak, aku ini bukan tumbal atas kekecewaannya pada abang. Bukan pula anak perempuan kepunyaannya yang bisa ia lakukan seenaknya.” Serunya keras, tersendat-sendat karena serak, tapi Mamak masih jelas menangkap ucapan Laila.

“Buka dahulu pintu kamarmu, Laila! Sesungguhnya tak sampai hati juga Mamak merelakanmu pada anak lelaki itu.” Nada Mamak mulai terdengar putus asa. “….bagaimana ya, Bapakmu itu tampak hampir mati karena kecewa pada abangmu. Maksud Bapak menjodohkanmu dengan si Gatot itu, supaya kau bisa berbahagia. Uang mereka itu bisa saja tak habis-habis, barangkali saja kau bisa meneruskan sekolah tinggi di kota seperti keinginanmu waktu itu.” Mamak tak pikir panjang berujar begitu. Iming-imingannya menggelitik hati Laila, meneruskan sekolah tinggi di kota, dan bagai sulap sekali kejapan mata. Itu berhasil membuat Laila menerima pinangan Gatot dengan satu syarat, jika Gatot tak memenuhi keinginannya yang satu itu, Laila bertekad akan menceraikannya.

Diawal-awal pernikahannya Laila berbahagia, bahkan Gatot memenuhi segala keinginannya. Dibawanya Laila menetap di kota, Gatot berbisnis disana, dan Laila meneruskan sekolah tinggi. Hati Bapak terutama hati Mamak amat lega, tapi lama-kelamaan dan lambat-laun mereka kehilangan kabar Laila.

Suatu pagi saat orang-orang berjalan ke pasar, dan Mamak juga hendak ke pasar, sekonyong-konyong seorang lelaki sepantaran dengan Yunus tergesa-gesa menghampirinya di ambang pintu rumahnya. Ia tampak dari kota dan samar-samar mukanya mengingatkan Mamak pada seseorang. Ialah Rudy, seorang anak lelaki dari kawan lamanya Harto. Lama ia tak menjumpainya, anak lelaki itu makin dewasa. Sayang ia kemari membawa kabar duka tentang Laila yang tewas mengenaskan akibat diperkosa secara bergilir oleh tiga orang lelaki tak dikenal di sebuah hotel. Beritanya bahkan menjadi headline di beberapa surat kabar kemarin.

“Ya Tuhan… bagaimana bisa seorang wanita bersuami diperkosa bergilir oleh tiga orang lelaki tak dikenal begitu?” Mamak langsung terkejut. Lalu berteriak-teriak histeris memanggil suaminya. “Bapak! Bapak! Bapak!”

Bapak menghampiri, masih bersarung. “Ada apa?”

“Laila, Pak… Laila tewas.” Ujar Mamak sudah berlinangan air mata.

Bapak juga terkejut bukan main, pikirannya langsung kosong. Dan Rudy menjelaskan semuanya, termasuk bagian bahwa Laila dijual oleh suaminya sendiri, Gatot. “Setan kau Gatot!” Emosi Bapak membuncah, ia langsung tergesa-gesa berjalan ke rumah keluarga Gatot dibuntuti Mamak dan Rudy.

Sejak peristiwa yang menimpa anak-anaknya, Bapak dan Mamak hanya berdua di rumah itu. Terus merenungi apa-apa saja yang telah terjadi. Sampai-sampai jekong itu bawah mata Bapak dan Mamak, bukan karena menangis, tapi ada banyak kesedihan dan penyesalan di bawah mata itu yang menumpuk, yang membuat mereka menangis saja merasa tak berhak.

“Bagaimana aku bisa lupa dengan Rudy?” Ujar Mamak. “Ia yang membawa kabar duka tentang anak perempuanku… Laila.” Lanjutnya dengan nada duka pada tiap hembusan nafas nama Laila, entah dari mulut Mamak atau Bapak. Entah dari mulut masyarakat seantero desa yang mendadak mengenal Laila, terlebih setelah kabar tewasnya ia yang tragis menyebar.

“Sudah lama aku tak mendengar nama Laila dari mulutmu, Mak.”

“Kau juga hampir lupa bahwa anak kita bukan Laila saja. Masih ada Yunus….”

“Saat adiknya mati saja, ia sama sekali tak datang kemari.”

“Bukankah kau dulu yang tak sudi melihat mukanya lagi? Anak lelaki itu ego nya besar, tak kan pulang ia Pak, walau badai menerjang rumahnya.”

Bapak tidak mengindahkan perkataan Mamak. Benar anak lelaki itu ego nya besar, Bapak pun begitu. Hening sejenak. Lalu dipandangi dinding-dinding rumahnya itu satu per satu dari sudut ia duduk. Tampak kosong dan cat putihnya sudah pudar.

"Rasa-rasanya aku tahu, penyebab rumah ini sunyi sekali. Lihat dinding-dinding rumah kita, tak pernah ada figura kita. Harusnya sejak dahulu aku pasang figura pernikahan kita di dekat televisi, pasang figura Yunus yang juara sepak bola, dan pasang figura Laila saat jadi pengantin. Setidaknya rumah ini pasti lebih bernyawa, Mak." Ujar Bapak.

Kali ini ada yang aneh dengan Bapak, biasanya ia lebih banyak terdiam dan merenung dengan pandangan kosong, seperti orang yang mulai tak waras. Tapi sekarang ia bicara panjang lebar tentang usaha untuk memangkas sunyi yang Bapak terus pertanyakan tiap malam itu membuat perasaan Mamak mendadak tak enak.

Benar saja kan sedetik kemudian Bapak melanjutkan ujarannya. Mamak jadi sedih betulan mendengar ucapan Bapak itu.

"Rasanya berat pundakku tiap hari, Mak, ingat anak-anakku, ingat dosa-dosaku. Esok akan ku minta foto pernikahan Laila pada Bapaknya si Gatot itu, semoga masih ada, akan ku potong mukanya Laila saja lalu ku pasang foto itu di dinding-dinding rumah kita. Akan ku cari juga foto Yunus di berkas-berkas lama, semoga masih ada. Biar foto itu menemani kita, biar tidak terlalu sunyi, sudah terlalu lama rumah kita ini kedatangan tamu bernama sunyi….”

“Esok akan ku nyanyikan juga satu lagu Rita Sugiarto untukmu, Pak. Maafkanlah kalau nanti suara Mamak tak semerdu sewaktu muda dahulu."

“Tak apa, Mak. Tak apa…."

Tak sempat Mamak bernyanyi sebait pun, esoknya Bapak sudah tewas dalam tidurnya. Pagi-pagi sekali saat Mamak membangunkan Bapak untuk sembahyang, tapi suaminya itu diam saja, bibirnya terkatup rapat dan badannya mendingin. Duka itu kembali menghantam Mamak, daun-daun mangga kering di rumah itu satu per satu mematahkan dirinya, sunyi paling sunyi ialah saat ini, saat Bapak tak lagi bertanya, "....rumah ini sunyi sekali ya, Mak?"

“Iya, Pak, rumah ini sunyi sekali.” Bisik Mamak seorang diri di ruang tamu itu.

2 komentar: