Sabtu, 07 April 2018

Media Sosial Panggung Kontestasi Pilkada di Kota Cirebon

Cirebon, setaranews.com - Aroma pilkada rupanya sudah sangat terasa di Kota Cirebon, terbukti banyak sekali baliho-baliho yang terpampang disepanjang jalan di kota. Para calon mulai dari Calon Bupati, Gubernur dan Walikota saling adu kekuatan dan kepiawaiannya untuk memikat hati masyarakat Kota Cirebon, segala hal dilakukan dalam rangka mengkampanyekan jagoannya masing-masing, mulai dari poster, baliho, belusukan, santunan sosial sampai postingan di media sosial di masing-masing akun timsesnya (tim sukses).

Hal ini membuat Komunitas Jaga Jari mengadakan kembali kajian media yang ke-5 di bulan april dengan mengusung tema ''Ruang Maya Arena Kontestasi Pilkada" yang diisi oleh dua pemateri, yaitu Khaerudin Imawan sebagai Dosen Ilmu Komunikasi Unswagati sekaligus Pakar Media dan Mohammad Rifki sebagai politisi Cirebon serta di pandu oleh moderator cantik dari kantor media Radar Cirebon, Mike Dwi Setiawati, pada 6 April 2018 di kedai kopi Saung Perjuangan.

Mohammad Rifki menjelaskan bahwa Media sosial memang menjadi lahan yang sangat strategis untuk arena kampanye pilkada dan tak banyak netizen (sebutan untuk pengguna media sosial) menjadi korban politik yang terprovokasi dengan begitu banyak sekali pengguna media sosial yang tidak cerdas dalam menggunakan media sosial.

"Sekarang banyak sekali masyarakat yang terprovokasi dengan postingan-postingan di IG (Instagram) , FB (Facebook) dan Twitter contoh yang masih hangat puisinya ibu Sukmawati yang berjudul Ibu Indonesia, itu banyak banget orang yang emosi." Jelasnya.

Ketidaktahuan generasi muda tentang keadaan politik di Indonesia khususnya Kota Cirebon membuat Rifki prihatin akan keadaan tersebut, diharapkan organisasi kemahasiswaan, eksternal maupun internal bisa mengedukasi masyarakat untuk cerdas menggunakan media sosial. "Yaa, saya prihatin ya dengan keadaan sekarang, generasi muda tidak tahu keadaan politik yang sedang terjadi disekitarnya sendiri, tidak adanya gerakan mahasiswa yang mengedukasi masyarakat membuat mereka semakin gelap." Tandasnya.

Berbeda dengan Mohammad Rifki, Khaerudin Imawan melihat dari kaca mata media dia menyebutkan hyperrealiti sudah memasuki kehidupan masyarakat Indonesia dimana setiap saat kita tidak bisa jauh dari gadget. Pria yang akrab disapa Kang Wawan itu menyatakan konteksnya dunia maya dengan pilkada atau politik Indonesia karena sebesar apapun kampanye anti hoax, hoax itu pasti ada, karena hoax adalah "kreativitas" pengguna ruang Maya (sebutan untuk dunia Maya). "Hoax itu kan kreativitas pengguna ruang maya, karena ini sudah diramalkan oleh Karl Marx dan banyak lagi pada beberapa ratus tahun yang lalu." Katanya.

Setelah prolog yang disampaikan oleh kedua pemateri, moderator pun mengarahkan untuk masuk pada sesi tanya jawab, terdapat 2 orang penanya yang dominan berstatus sosial sebagai mahasiswa. Dengan pertanyaan, yang pertama, penyebab hoax di dunia Maya dan yang kedua, tindakan pemerintah untuk melawan hoax.
Kang Wawan menjelaskan, "Faktor fantasi dan imajinasi orang tentang sesuatu hal yang benar sudah melewati batas ketika ada makna dan simbol yang di lewati, ruang fantasi dan imajinasi manusia harus diberi stimulus."

Dia juga menyinggung tentang cara kampanye yang di terapkan haruslah diganti. "Yang punya kewenangan di jalur pemerintah ketika dalam baligo yang masing memasang inkamer, harusnya kampanye sosial dan pemerintah ganti semua, adanya dominasi inkamen. Ruang mayanya dimana yaitu dipostingnya, relawan kampanye, tim sukses dan lain-lainIni tantangan kita harus menggunakan hati nurani dalam membuat produk untuk dijadikan representasi sebuah kebenaran," Tambahnya.

Tak mau kalah dengan kang Wawan, Mohamad Rifki yang saat itu menggunakan kemeja berwarna putih dan berkacamata mengatakan bahwa kita sebagai masyarakat hanya harus berani memilih untuk berada di arah yang benar atau kebohongan. "Mau ada di ruang kebenaran atau mau ada di ruang kebohongan, bukan karena kepentingan di parpol tapi karena soal kerakyatan dan hati nurani," Tandasnya

Acara pun ditutup dengan menyampaikan solusi dari pemateri yaitu adanya screaming yang dilindungi pemerintah, generasi muda harus cerdas dalam menggunakan media sosial dan melibatkan hati nurani dalam menentukan pilihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar