Jumat, 11 Oktober 2013

Meng-KRETEK adalah Budaya Indonesia

Opini, Setaranews.com - Kretek merupakan budaya Indonesia sekaligus merupakan Rokok khas Indonesia, industri tembakau Nasional lebih khusus lagi industri rokok kretek telah hidup dan berkembang lebih dari seratus tahun , setara dengan kegiatan ekspolitasi migas di negri ini, jumlah penerimaan Negara dari industri rokok jauh lebih tinggi dari jumlah eksploitasi sumber daya alam tambang yang slama ini menjadi andalan investasi di indonesia. Namun ironisnya, industri rokok nasinal dan sektor-sektor terkait termasuk pertanian juga perkebunan tembakau justru semakin tersisihkan, bahkan terancam akan “punah” akibat aturan–aturan hukum yang disponsori oleh kepentingan-kepentingan bisnis internasional.


Kampaye regulasi anti rokok yang dimulai di Negara–negara maju membuat perusahaan–perusahaan multinasional seperti Philip Morris berhasil meng-akuisisi PT HM Sampoerna, dan British Amerikan Tobacco berhasil meng-akuisisi PT Bentoel. Disisi lain, perusahaan–perusahaan farmasi internasional dengan sigap berdiri dibelakang kampanye–kampanye itu, seraya menyiapkan produk terapi anti nikotin mereka untuk dipasarkan demi meraup keuntungan yang menggiurkan.

Kegiatan merokok “dikriminalkan” secara sitematis, namun potensi keuntungan yang ada dilahan indutri ini dengan cepat dimonopoli secara “ilmiah”. Maraknya kampanye anti tembakau yang diikuti dengan dibuatnya berbagai peraturan hukum oleh pemerintah pusat atau daerah yang seakan menjadikan kegiatan produksi, perdagangan, serta konsumsi tembakau dan rokok sebagai kegatan KRIMINAL (Baca: Kriminalisasi Berujung Monopoli).

Tidak banyak masyarakat yang tau bahwa rujukan yang digunakan oleh PARA PEMBUAT KEBIJAKAN untuk membuat aturan–aturan anti tembakau dan rokok di berbagai level itu adalah Framework Convention On Tobacco Control (FCTC). Perjanjian FCTC yang diadopsi oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) tidaklah  “murni untuk kesehatan", terdapat kepentingan bisnis internasional yang bermain cantik dibelakangnya. Kepentingan–kepentingan tersebut tampak dari pembiayaan kampanye anti rokok dan pembuatan UU, Peraturan Daerah (PERDA) serta berbagai regulasi anti tembakau dan rokok lainnya dengan alasan Klasik yaitu “KESEHATAN PUBLIK” padahal alasan itu masih menjadi perdebatan banyak kalangan dikarnakan NIKOTIN juga bisa digunakan sebagai obat penyakit KANKER, HEPATITIS, DIABETES, SAKIT GIGI, LUKA BAKAR, dan sebagainya.

Kampanye tersebut bersumber dari perusahaan–perusahaan farmasi dan perusahaan rokok multinasional dibawah yayasan Michael Bloomberg dengan gerakan filantropinya yang mengatasnamakan “kesehatan masyarakat dunia” (Baca: Muslihat Kapitalis Global).

Kampanye anti tembakau berawal dari persaingan bisnis nikotin antara industri farmasi dengan inustri tembakau di Amerika Serikat, perusahaan farmasi berkepentingan menguasai nikotin sebagai bahan dasar produk Nicotine Replacement Therapy (NRT), adanya perang global melawan tembakau terutama kretek yang merupakan ciri khas Indonesia yang terkenal dengan aromanya, ini membuat perusahaan multinasional industri Rokok Putih ketakutan akan persaingan pasar global, sehingga membuat slogan ‘LOW TAR, LOW NIKOTIN’ semboyan ini mempengaruhi pasar global dikarenakan Kretek mengandung Tar dan Nikotin yang melebih Rokok Putih, kemudian membuat isu bahwa Tar dan Nikotin berbahaya bagi kesehatan (Baca:Membunuh Indonesia).

Seharusnya kita secara Kritis menyikapi Kampanye anti tembakau dengan mengatasnamakan “Kesehatan Publik” dengan tidak mengiakannya sebagai kebenaran yang absolut (Mutlak) tanpa adanya skeptime (Keraguan/kecurigaan) dibalik Kampanye tersebut, Hegemoni dari “Rezim Pengetahuan” seolah - olah merasionalkan opini publik, mari kita telaah bersama–sama ada apa dibalik Kampanye Anti Rokok tersebut.  Save Kretek For Indonesian!!!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar