Sabtu, 09 Januari 2016

Gandrung Budaya (K)Pop Biar Dibilang ‘Kekinian’

Oleh Epri Fahmi Aziz


                Saudaraku, sebangsa dan setanah air.  Saya lagi galau nih, maunya sih dalam kesempatan kali ini, saya bisa menceritakan keluh kesah yang mengganjal di benak dan hati saya, yang mebuat saya makan jadi tak teratur, mandi apalagi, sehari sekali juga udah untung banget.  Ceritanya mah  saya tuh mau ‘curhat’ tau.  Eh, eh nanti dulu, jangan salah pikir, curhatan saya kali ini bukan soal perkara yang selalu ngehits dibicarakan oleh kalangan muda mudi seperti kita, mulai dari fesbuk, twiter, instagram, bbm, sekolah, kampus, kos-kosan, kafe, pojok warung kopi sampe ke sudut wece, yaitu cinta.

Tau sendiri kan Cinta sekarang  juga mengalami pergesaran makna, bahkan dangkal, hanya direpresentasikan dengan sebuah kasih-sayang (katanya) dan diikat dengan sebuah tali yang sangat, ngat, ngat sakral, yang melambangkan gelar sebagai –kalo bahasa gaulnya –  pacar. Bukan seputar itu curhatan saya, walaupun ada sedikit pembahasan seputar cinta, ntar temen – temen tau sendiri deh cintanya seperti apa. Eh, ko jadi ngomongin soal cinte, gak bakal ada matinye, kata mandra sih begono. Sampe komputer ini jeblug juga gak bakalan ada endingnya, heehe.

Owh iya, sebelum saya curhat ke inti persoalan, alangkah lebih baiknya kalo kita plesbek dulu nih, tapi bukan untuk merenung apalagi sampe galau – galauan mengingat masa lalu yang bikin kita gagal move up, eh ngomongin cinta lagi, sory pemirsah.  Sejarah kan  telah membuktikan, bahwa culture (budaya) memiliki perananan penting dalam sebuah pencapaian peradaban suatu bangsa. Indonesia, negri saya tercinta – dan juga kalian (mungkin) - sebuah negri dibelahan timur dunia, memiliki culture yang begitu beraneka ragam loh. Negri yang terkenal dengan gemah ripah loh jinawinya sampai dikenal dengan ‘samudra atlantik yang hilang’. Kita semua tau, rumusnya seperti itu.

Mengapa? Kita pasti mengakui negri ini memiliki keanegaraman yang sangat luar biasa, dimulai dari; alam, budaya, suku, ras, agama, bahasan dan prilaku masyarakatnya yang heterogen, pokoknya banyak banget deh.  Sejarah mencatat demikian, tapi itu hanya sebuah sejarah, sayangnya cuman tercatat di buku – buku pelajaran aja. Saya juga sering dengar,  dulu  pas jaman sekolah sampe sekarang, baca juga pernah, dan itu sangat sangat berguna buat saya, masuk ke otak saya, sangking masuknya sampe hafal diluar kepala. Akhirnya saya bisa ngisi jawaban soal – soal ujian dengan nilai yang sempurna. Hoo..rrreeeee!

Saudaraku, sebelum curhat saya terlalu jauh, kalian pasti punya pemikiran dan pendapat masing – masing nih terkait kebudayaan kita. Sebagai manusia –yang mengaku- moderen, gimana pandangan kalian? Biasa saja, memprihatinkan kah, atau tak terpikiran bahkan tak diperhatikan sama sekali? Kasian ya Indonesia kena PHP sampe baper yang berkepanjangan, ha..haa.  Temen – temen pasti tau kan kita sekarang – mau gak mau -  memasuki era globalisasi. Era ini semuanya ditandai dengan hal – hal yang semuanya itu berbau serba moderen.

Pakaian, hp, rumah, apa lagi, pasti banyak kan? Prilaku kita pun sama,  di tuntut (secara tidak langsung dipaksa) untuk mengikutinya. Akhirnya pergeseran nilai – nilai cultural, apalagi spritiual, tak bisa lagi kita bendung loh. Pada titik klimaks bahkan manusia moderen itu kaya binatang, banyak kasusunya, gak perlu diceritain, pasti udah pada tau.  percaya gak? Terserah sih, mau percaya atau gak, gak juga gak apa – apa. Aku mah apa atuh, makan, mandi, gosok gigi, ee juga dikampus. Sedih, ya, haha..ha.

Jadi gini asal muasalnya, kapitalisme dengan kekuatan capital (modal) menciptakan sebuah era yang disebut globalisasi. Dengan kekuatan modal itu bisa menciptakan pasar (teori ekonomi). Demi kepentingan untuk meraup keuntungan sebanyak – banyaknya, tentunya dengan mission imposiblnya untuk memporak – porandakan budaya kita yang agung nan luhur ini. Nah, makanya  sebagai pasar (karena penduduk kita banyak) – dengan berbagai komoditi khas modernitas –  kita digempur bertubi – tubi  dari segala lini sektor dengan prodak – prodak budaya modernnya. Prodaknya yaitu berupa industry budaya (media) yang mencipatakan apa itu yang dimaksud budaya pop.

Sampe sini, udah bisa di tangkap belum soal curhatan saya? Kalo gak didengerin saya mau pundung ah, gak mau dilanjut, ha.. haha. Tenang saya gak pundungan ko orangnya, sabar, tawakal, baik hati dan tidak sombong. Dilanjut ya curhatnya, boleh kan? Gak juga saya mau maksa. Kapitalisme itu emang pinter, bikin kita terpesona dan terlena.  Gampangnya sih gini, modenitas itu anak kandung dari kapitalisme, yang melahirkan anak cucu sampe cicit. Budaya pop (populer), yang akan menjadi fokus curhatan saya inilah salah satunya. Budaya pop tau? Pasti tau, paling tidak, pernah denger K-POP.  Ada yang suka K-POP atau drama korea, film, musik, sinetron, selfi, ngemall, shophing, nongkrong di kafe, pacaran? Pasti suka semua, saja juga suka, hahaha.

Nah itu semua merupakan budaya pop yang diciptakan oleh kapitalisme melalui modernitasnya. Makanya saya curhat, supaya kita bisa berbagi, dan bisa mengendalikan diri, supaya gak bablas, blas. Saat ini kita hidup dalam sebuah dunia yang penuh dengan identitas-identitas dari merek global. Hp pengennya yang bermerek, nongkrong ditempat yang bermerek, makanan minuman bermerek, sampe cinta pun kudu bermerek (pacaran).   Media massa inilah yang menjadi senjata utamanya, yang dimodali oleh perusahaan - perusahaan kapitalis tulen bertaraf global (multinasional). Akhrinya kita menjadi konsumen dari industri hiburan, kita jadi komoditas ekonomi, dan menjadi alat yang diperbudak oleh capital karena sekarang tolak ukur kita sebagai manusia moderen pasti berupa materi, yang melambang status, gaya hidup, tren, dan akhirnya jadi membudaya diantara kita semua.

Televisi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pendapat umum, pola pikir, perilaku, dan kepribadian kita, temen – temen sadar gak?. Acara televisi itu mengusung nilai-nilai tertentu, kemudian nilai-nilai tersebut diadopsi oleh khalayak dan menjadi budaya yang berkembang dan menjadi tren diantara kita semua (masyarakat). Hal inilah yang dimaksud dengan budaya pop. Pengaruh media sangatlah dominan pada kehidupan kita, tingkah laku, sikap, gaya hidup kita, semuanya dipengeruhi, tanpa terkecuali.  Modernitas dengan membawa teknologi serta sarana dan prasarana, apabila kita tidak bisa mengontrol, maka akan tergoda, terbuai, terlena, dan lupa akan jati diri kita yang sebenarnya sebagai orang timur, yang terkenal dengan solidaritasnya, kepekaannya, kepintarannya, dan ‘keberadabannya’ dengan nilai – nilai luhur yang kita punya. Tau gak nilai luhur kita?  Coba pelajarin deh sejarah kebudayaan Indonesia;sosial,kultur,dan ekonomi. Kalau mau itu juga, gak juga gpp, saya sih gak rugi, gak ngeluarin modal ko, hehe.

Budaya pop itu memiliki berbagai dampak negative diantarnya  membuat kita jadi konsumtif, contohnya berbelanja, pacaran,nongkrong,  mendengarkan musik dan film cengeng dll.  Misalnya dalam dunia mahasiswa kekinian (masyarakat pada umumnya), lebih baik nongkrong sambil ngerumpi daripada diskusi, lebih seneng ngemall belanja yang gak – gak ketimbang beli buku, lebih asik bbman, twiteran, instgram ketimbang nulis.  Bener gak? Kalo salah maafin saya ya, please, heehe. Alhasil apa yang terjadi? Mental kita cengeng, moral kita rendah, individualistik, permisif, hedon, jauh terhadap nilai – nilai budaya, apalagi spiritual. Itu semua dampak negatif yang dibawa modernitas, selain mencari keuntungan karena kita memiliki penduduk yang luar biasa banyak dan konsumtif. Misi paling mengerikan dari kapitalisme itu menghancurkan pondasi  dari nilai – nilai luhur yang dimiliki oleh budaya kita. Dalam kondisi seperti ini, kemungkinan akan muncul fenomena kegalauan budaya pada tingkat individu dan tingkat sosial. Seperti yang sedang saya alami,  makanya saya curhat, karena saya lagi galau nich. Saya berfikir kalo terus – terusan kaya gini, gak bakalan ada lagi tuh manusia Indonesia,  adanya robot, mending robot sih , kalo zombi-zombi yang bermunculan kan ngeri. Hiiihhh, atut  gak sih, mengerikan.

Bagiamana ya cara membendungnya kawan - kawan? Menurut saya gampang ko, gak susah untuk membendung kapitalisme (barat), dengan gempuran budayanya. Kembali kepada fitrah kita sebagai manusia Indonesia yang sadar dan cinta atas nilai – nilai luhur budaya dan spiritual kita. Cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama, dan cinta pada Indonesia.  Kita ini merupakan ras paling istimewa loh  di dunia, makanya di bikin gak maju-maju, kalo maju Indonesia itu bisa jadi negara adidaya dari negara adidaya yang lainnya. Percaya gak? Peradaban dimulai dari negri kita, tidak bakal ada barat kalo belum ada timur. Budaya timur merupakan budaya yang paling luhur, tidak hanya untuk kita, sesama, Indonesia bahkan untuk dunia.

Jangan malu apalagi gengsi kalo kita dianggap tidak moderen – gak kekinian -  karena manusia moderen itu hakikatnya manusia yang tidak beradab. Sementara nilai cultur dan spiritual  kita itu mengajarkan kita jadi manusia yang bijak, bermoral dan spiritual, dan tentunya lebih beradab. Jangan malu jadi orang Indonesia justru harus bangga.  Ayo kawan, jangan muluk – muluk, cukup dimulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil, dan mulai saat ini. Kenali, pahami, rasakan, renungkan, dan kobarkan dalam hati, teriakan dalam dada, tekad kan dalam sanubari , katakan dengan lantang SAYA MANUSIA, MANUSIA INDONESIA. MANUSIA YANG PENUH RASA CINTA-KASIH UNTUK SESAMA, NUSANTARA DAN DUNIA. Ini curhatanku, curhatanmu? Sekian dulu, nanti dilanjut lagi ya, dadaaaahhhh.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar