Rabu, 06 Januari 2016

Unswagati Hanya Fiktif Belaka

Oleh Epri Fahmi Aziz


Semenjak beredarnya isu mengenai penegrian Universitas Swadaya Gunung Jati (Unswagi) – kalau tak salah sekitar 7 tahun yang lalu – nama Unswagati langsung melejit dan ngehits di wilayah Ciayumajakuning. Beriringan dengan isu  tersebut  lah Unswagati menjadi peguruan tinggi swasta yang ‘besar’ dan diminati masyarakat. Sehingga, membuat Unswagati menjadi  PTS  unggulan. Tak dipungkiri, hal itu berkat kontribusi dari  isu PTN sebagai  alat promosi yang berhasil membius si konsumen (masyarakat) agar meng-amini dan memakannya bulat – bulat. Strategi pemasaran yang efektif dan efisien. Berhasil dan tepat sasaran.

Keberhasilan alat promosi itu bisa dilihat dari tingkat kepercayaan masyarakat kepada Unswagati yang dianggap akan membawa ‘prestasi’ bagi anak-anaknya,  dengan penuh harapan ketika masuk  berubah jadi negri. Kemudian, hal itu membuat jumlah mahasiswa yang mendaftar ke Unswagati melonjak dengan tajam, bahkan sampai overload (melebihi kapasitas daya tampung). Bagi penulis, tak aneh apabila hal ini (sering) terjadi, karena memang kuantitas dinomor satukan ketimbang kualitas,  “Yang penting mah banyak konsumennya, supaya bisa meraih keuntungan sebanyak - banyaknya” celetuk seorang teman. Sangat wajar apabila  statement – statement negatif pun berkembang, ada yang bilang “Tidak memperdulikan bagaimana dampak dan risiko dari cara – cara yang dilakukan,” keluhnya. Bahkan ada yang nyinyir dan sinis (sangking kecewanya) menanggapi wacana yang beredar dengan mengatakan “Tampaknya,  watak kapitalistik sudah merasuki relung hati dan pikiran para pemangku kebijakan di Unswagati” pungkasnya.  Memang sangat mengerikan, apabila sebuah lembaga pendidikan memiliki watak kapitalistik, seperti apa jadinya output dari produk (mahasiswa) yang dikeluarkan Unswagati?

Penulis masih ingat betul – tiga tahun yang lalu-  salah satu elit  Unswagati yang dengan gegap gempita mengatakan   bahwa mengenai penegrian sedang dalam proses. “Proses terus, kapan jadinya?” celetuk lagi seorang teman. Aset – aset yang dimiliki Unswagati pun konon katanya telah di ’serahkan’ kepada pihak Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) untuk ditindak lanjuti. Dan selama proses tersebut, Unswagati dilarang untuk menambah asetnya. Ketika overload kuota, mau tak mau Unswagati pun menambah asetnya dengan membangun gedung baru. Pembangunan sudah dilakukan dua kali selama proses penegrian. Celetuka terus berdatangan, “Katanya gak boleh nambah asset, tapi pembangunan terus dilakukan, gimana sih!”. Dari statement yang berkembang itulah penulis mulai ragu dengan wacana penegrian.

Selama proses penegrian penulis terus  berusaha mencari tahu sejauh mana kebenaran prosesnya, alasan klasik pun selalu dilontarkan oleh  pihak Rektorat dan Yayasan, yaitu masih kurangnya lahan sebanyak 9 hektar (Unswagati baru memiliki 21 hektar), katanya pula Pemda atau Pemkot mau memberikan hibah untuk menutupi kekurang lahan tersebut. Tapi Pemd mendadak tidak jadi memberikan lahan, dan akhirnya Pemda atau Pemkot menjadi kambing hitam oleh pihak Rektorat atau Yayasan setiap mahasiswa mempertanyakan kembali soal penegirian. Sementara itu, konon lahan 19 (dari total 21 yang dimiliki) hektar berupa hibah dari Pemprov Jabar.  Seorang teman mempertanyakan “Apakah dokumen hibah sebagai bukti telah dihibahkan benar adanya?  Perasaan dari kapan juga alasannya itu – itu aja, apa itu yang dinamakan proses?” ungkapnya. Sepertinya celotehan – celoteh tersebut sampai terdengar ke telinga Gubernur Jabar. Sampai pada akhirnya - mungkin karena kekesalan Pemprov juga yang menganggap Unswagati tak serius mengurus soal penegrian -  tak jarang Gubernur Jabar melontarkan statement di media  “Saya akan membangun ITB di Cirebon apabila Unswagati tak serius,” tukasnya.    

Klimaks soal penegrian pun terjadi pada saat perayaan Diesnatalis Unswagati yang baru saja digelar beberapa minggu lalu. Gubernur pun dengan gagahnya memberikan bocoran bahwa ingin membangun ITB di Cirebon 2016 mendatang, karena tak mau lahan 19 hektar milik pemprov mubazir begitu saja. ‘Saya mau bangun ITB diluar daerah (DD) di Cirebon, dari pada lahan milik Pemrov mubazir,” ucapnya. Dari statement tersebut sudah jelas bahwa lahan yang semula diperuntukan untuk penegrian Unswagati dialihkan untuk pembangunan ITB, dengan alasan masih menunggu evaluasi dari pemerintah pusat mengenai kampus – kampus yang akan dinegrikan.

Tampaknya wacana yang berkembang di internal benar adanya, ada yang mengatakan dengan nada yang menggebu - gebu “Unswagati gak negri – negri ya karena dari Unswagatinya sendiri yang mempersulit dan berusaha mengulur waktu. Nunggu balik modal  dan untung banyak dulu,” pungkasnya. Jangan – jangan hal itu benar adanya, bahwasannya yang betul – betul  tak mau Unswagati menjadi negri itu adalah dari pihak civitas akademik  itu sendiri– tak terkecuali yayasan – yang saling tarik ulur kepentingan. Kalau ada keseriusan sudah dari dulu sebetulnya bisa jadi negri. Kalah dengan  Politeknik Indramayu dan Unsil yang baru kemarin sore menabuh genderang penegrian, malah lebih dulu mengibarkan bendera negrinya.  Menyalip Unswagati yang jauh lebih dulu dan lebih ‘akbar’ menggembar – gemborkan isu PTN. Tapi tak kunjung terlaksana. Miris. Dari tarik ulur kepentingan itu siapa yang dirugikan? Jelas mahasiswa lah yang langsung akan terkena dampaknya. Berapa ribu mahasiswa (dan orang tuanya) yang merasa dibohongi, dikecewakan?  Mahasiswa, bahkan masyarakat (orang tua mahasiswa) sebetulnya bisa menggunakan haknya untuk melakukan gugatan class action ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kalau mau itu juga.

Penulis merasa tersinggung sebagai bagian dari Unswagati ketika mendengar Isu yang berkembang dimasyarakat, yang akhirnya  berbalik ibarat senjata makan tuan. “Boro – boro negri, ngurusin jadwal wisuda aja gak bisa,” sindir salah satu orang tua mahasiswa. Sebetulnya – apabila sadar – tidak penting itu mau negri atau tidak, yang lebih subtansi yaitu pembenahan kualitas dari semua aspek; manajemen, fasilitas belajar-mengajar, perpustakaan dengan buku-bukunya yang memadai, dosen dll.  Sekarang, lantas langkah apa yang akan dilakukan oleh Unswagati ketika  penegrian itu tidak jadi. Apakah ingin memperbaiki kualitas? Kualitas yang mana, seperti apa? jadwal wisuda saja sampai diundur. Sepele kelihatannya, justru dari hal yang dianggap sepele itu bisa terlihat ‘bobroknya’. Sangat tidak rasional apabila alasannya gara – gara mahasiswa libur. Aneh, Wisuda   masuk dalam jadwal kalender akademik, yang penyusunannya direncanakan jauh-jauh hari. Kok bisa diundur? Berangkat dari proses perencanaan saja tidak becus! Apalagi bicara soal eksekusi program?

Menyelenggarakan perayaan Diesnatalis yang kesannya hanya hura – hura dan tidak menyentuh pada  sbutansi aja bisa, seperti; lomba karoke, jalan sehat dan berbagai kegiatan lainnya. Kenapa  wisuda  gak bisa dan sampai di undur? Perayaan Diesnatalis pun sebetulnya penulis miris, karena tidak merepresentasikan sebuah lembaga pendidikan berupa Universitas. Mbo ya, perayaan Diesnatalis diwarnai dengan nuansa – nuansa budaya akademik yang lebih dominannya, seperti misalnya; Refleksi Unswagati,  perlombaan membuat karya tulis untuk dosen dan mahasiswa, diskusi publik, bedah buku dll. Apa itu dilakukan pada saat perayaan Diesnatalis? Jangankan dilakukan, terbesit dibenak saja sepertinya tidak. Kualitas macam apa?

Sudah bukan rahasia umum lagi soal pembangunan gedung baru yang sedang digarap  diwarnai dengan pro-kontra. Karena konstruksi yang digunakan jauh dari standar (gagal struktur), dan lebih parahnya lagi konon sampai ada penyalahgunaan wewenang dan anggaran. Apabila memang sampai terjadi hal semacam itu dilingkungan Universitas,  keterlaluan, dan tak pantas disebut sebagai lembaga pendidikan. Karena lembaga pendidikan sebenarnya sangat menjung – jung tinggi nilai – nilai moralitas dan integritas. Jangankan memproses atau memperjuangkan dengan penuh cinta-kasih untuk membawa Unswagati menuju negri, yang memang sudah menjdai program (katanya). Mengurus kalender akademik saja tak mampu, mengurus pembangunan agar terhindar dari budaya KKN saja tak becus. Apa itu yang dinamakan lembaga pendidikan? Apa itu yang dimaksud Kualitas? Memalukan dan menjijikan! Tampaknya, campur tangan Yayasan sudah terlalu jauh sampai ke ‘dapur’ Unswagati, akhirnya Rektor sebagai pucuk pimpinan hanya sebatas simbol, bahkan boneka! Malang sekali.

Dengan di bangunnya ITB di Cirebon 2016 mendatang, harapan Unswagati menjadi kampus negri di Ciayumajakuning pupuslah sudah. Embel - embel label 'menuju negri' dalam setiap promosinya hanyalah alat untuk menarik minat masyarakat, yang akhirnya dilanda kekecewaan yang luar biasa karena harapan 'menuju negri' tersebut tak kunjung datang, dan bahkan tak akan pernah datang. Pembohongan publik. Stop berharap. Tidak ada kata Unswagati menuju negri, itu hanya fiktif belaka.  Mahasiswanya pun (BEM, DPM, UKM ,) fiktif belaka, karena hanya diam saja melihat situasi dan kondisi seperti saat ini, sibuk dan asik dengan dunianya masing-masing (zona nyaman). Miris dan Memperihatinkan!

Tulisan ini merupakan bentuk cinta-kasih penulis terhadap kampus tercinta khususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bentuk pengabdian yang bisa penulis lakukan. Mari kita membangun bersama Unswagati menjadi perguruan tinggi yang berkualitas dan tentunya humanis. Dimana bisa menciptakan manusia – manusia handal, berintegritas dan bermoral. Apabila kondisinya masih seperti ini, dan terus dibiarkan begitu saja, cita – cita pada saat didirikian Yayasan dan membangun Unswagati untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat cuman sekedar mitos, dan akhirnya hanya fiktif belaka.  Hanya kesadaranlah sarat mutlak transformasi sosial; Unswagatyang lebih baik. Bukannya begitu wahai Unswagati? Cuci mukalah biar terlihat segar!

1 komentar: