Rabu, 06 Januari 2016

Kualitas Dosen Unswagati Buruk

Mahasiswa yang sejatinya memenuhi kewajibannya untuk membayar DPP dan SKS sebagai syarat (apabila mampu) ditetapkannya sebagai mahasiswa aktif sebuah Universitas. Bicara hak dan kewajiban tentunya pada prinsip yang berimbang, ketika kenyataannya antara hak dan kewajiban itu tidak selaras. Sebagai mahasiswa kita telah melakukan  kewajiban; membayar DPP dan SKS, tapi apakah kita mendapatkan hak kita sebagai mahasiswa? Lalu, apa yang akan dilakukan oleh mahasiswa khususnya? Diam. Mungkin ini salah satu hal yang dialami oleh sekelompok mahasiswa atau mahasiswa pada umumnya. Angket dosen yang kenyataannya harus diisi oleh pendapat mahasiswa dijadikan alat untuk protes habis-habisan terhadap kinerja dosen selama satu semester.

Penulis menemukan satu kejanggalan, yang menurut penulis itu merupakan masalah. Dosen yang tugasnya mengajar dan mentransferkan ilmu untuk diimplementasikan mahasiswa, jangankan mengajar untuk memasuki kelas aja tidak. Anehnya lagi, dosen tersebut malah mengharuskan mahasiswanya untuk membeli buku sebagai bahan ajaran, “ngapain disuruh beli buku, toh dia ga’ pernah masuk, sayang uangnya”, ujar salah satu teman. Kenyataan lain berkata bahwa dosen tersebut memberikan pengajaran kilat, tujuh pertemuan itu diganti dengan waktu 15 menit saja ketika menjelang Ujian. Miris bukan? Tanggung jawab yang seharusnya memang dilaksanakan dengan baik nyatanya menjadi bahan permainan. Lalu, bagaimana mahasiswa bisa berkualitas, dalam segi pengajarannya saja tidak becus, apalagi dijadikan sebagai suri tauladan.

Disisi lain, beberapa dosen nampaknya menutupi kesalahan dosen yang satu ini. Salah seorang teman bahkan bercerita bahwa wali dosennya saja sampai berkata, “dia orang penting di sini”, lalu pertanyaannya, seberapa penting jabatan seseorang apakah akan mempengaruhi tingkat tanggung jawabnya? Penulis pribadi tak urus mau dia orang penting atau enggak, masalah kewajiban tetap tidak bisa dinomor duakan. Di sisi lain, ada dosen yang dianggap juga penting dalam satu jurusan tersebut, tapi ia masih bisa tanggung jawab, “ia, dosen yang lain masih minta kalau ada pergantian jadwal”, ujar teman yang lain.

Jadi memang di sini masalahnya bukan pada mahasiswanya itu sendiri, bisa jadi karena dosen dan atau pimpinan jurusan terlalu membiarkan sikap dosen tersebut sampai tidak adanya teguran terhadap dosen yang membiarkan mahasiswanya menunggu jadwal ujian dari pagi kenyataannya harus diganti jadwal menjadi esok harinya.

Beberapa permasalahan dan kritikan terhadap dosen yang dinilai mengabaikan tanggung jawabnya memang hanya jadi opini public saja. Bagaimana pun, angket yang seolah hanya berbentuk tulisan jika tidak ditindak lanjuti juga untuk apa menghabiskan waktu meminta mahasiswa yang tak pernah mendapatkan ilmu sedikit pun dari dosen yang bersangkutan untuk mengisi angket tak berguna itu? Bukankah seharusnya angket dosen adalah sebagai bagian dari evaluasi perjalanan satu semester? Beberapa semester penulis lalui dengan dosen yang sama, nyatanya tetap tidak ada pergantian untuk dosen dengan mata kuliah yang sama. Sampai kapan pembiaran ini akan berlanjut?

Ketika ditanya mengenai alasan dosen tersebut tidak masuk, teman lain memberikan pendapat bahwa, “saya sedang ada bimbingan, saya sedang ada di rumah sakit”, begitu seharusnya seorang intelek (manusia berpendidikan S2) memberikan jawaban terhadap seorang MAHAsiswa? Kaitannya dengan pengembangan Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Di sini keadaan kampus kita sedang dihadapi isu penegerian yang tak pernah kunjung usai. Lihat saja di internal-nya sendiri. Seperti inikah kualitas dosen sebuah perguruan tinggi negeri? Memang, penulis akui, tidak adanya manusia yang sempurna bahkan untuk seorang dosen itu sendiri. Tentu ada beberapa hak preogatif yang akan menyelamatkan nyawa seorang dosen di satu universitas.

Jika kenyataannya dosen tersebut tidak pernah mengevaluasi dirinya sendiri, tidak pernah mendengarkan pendapat manusia, atau membiarkan sikapnya seperti itu, -mentang-mentang anak seorang petinggi universitas-, itukah yang dijadikan alasan kuat untuk berlaku seenaknya, wahai bapak dan ibu dosen yang terhormat. Adakah satu solusi agar kami nyaman di rumah sendiri? “Setidaknya kami minta diganti dosennya untuk semester depan”, kawan yang lain berpendapat.

Pasal 1: Dosen tidak pernah salah. Pasal 2: Jika dosen salah kembali ke Pasal 1. Inilah kondisi yang pantas untuk menggambarkan dosen yang bersangkutan.

”Disuruh beli buku tapi gak ngerti mau diisi apa. Pernah dilayangkan surat peringatan tapi tidak ada tanggapan”, pungkas seorang teman. Pembiaran seperti ini sebenarnya akan membuat mahasiswa memberikan opini-nya sendiri terhadap keseriusan kampus ini dalam memberikan kualitas yang baik. Seiring berjalannya waktu biaya kuliah semakin mahal dengan kualitas yang seperti ini, sebenarnya siapa yang patut disalahkan kemudian?

Opini ini ditulis sebagai bentuk otokritik penulis terhadap lembaga, Unswagati. Atas nama mahasiswa biasa penulis menyayangkan tidak adanya ketegasan terhadap dosen yang tidak bertanggung-jawab. Melakukan kritikan dalam bentuk tulisan mungkin salah satu langkah terakhir karena beberapa tindakan kami (pernah) tidak dihiraukan. Penulis berharap ini tidak dijadikan hal negatif untuk beberapa pihak. Kita bangun opini yang baik bersama-sama, di dalam maupun di luar kampus. Membentuk pola pikir mahasiswa ternyata bergantung pada beberapa hal termasuk lingkungan dan dosen sebagai salah satu pengajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar