Selasa, 21 April 2015

Kartini Masa Kini: Katalis Perubahan





"Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam." (Kartini-Habis Gelap Terbitlah Terang)

Banyak apresiasi ucapan selamat hari Kartini yang penulis baca di BBM (Blackberry Masenger), facebook, dan twitter contohnya. Baik, 21 April ini setiap tahunnya memang diperingati sebagai hari Kartini. Sebagai apresiasi Ir. Soekarno terhadap perjuangan Kartini terhadap kaum perempuan, lalu yang jadi pertanyaannya kini adalah seberapa kenal kita dengan sosok Kartini? Lalu apa yang dilakukannya hingga ia tetap dikenang? Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, Hindia Belanda dan meninggal pada 17 September 1904 di Rembang, Jawa Tengah, Hindia Belanda di usianya yang ke 25 tahun. Kartini yang merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir.

Kartini yang menaruh perhatian pada kaum perempuan ini tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita tapi juga masalah umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Kartini yang peduli terhadap kondisi sosial di masa itu, mengungkapkan keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan wanita. Kartini yang mengeluhkan tentang keberadaan poligami yang dihalalkan waktu itu memandang ketidakadilan untuk kaum wanita, Walaupun akhirnya Kartini menikah dengan bupati Rembang K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang sudah memiliki 3 istri. Untungnya suami Kartini sangat mendukung Kartini, dari pernikahan tersebut Kartini berhasil mewujudkan cita-citanya untuk membangun sekolah khusus wanita di sebelah timur pintu gerbang komplek kantor kabupaten Rembang, yang fokus terhadap menjahit, menyulam, dan memasak. Kartini yang mengeluhkam kaum perempuan yang tidak bisa duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu. Itulah beberapa hal yang diceritakan Kartini dalam surat-suratnya kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Pada akhirnya surat-surat tersebut dibukukan oleh Mr. J.H. Abendanon dengan judul Door Duis ternis tot Licht kemudian diterjemahkan oleh Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru.

Lalu, apa yang dilakukan Kartini masa kini? Di manakah wanita yang bercita-cita sama dengan Kartini? Bisa saja kita membandingkan perubahan jaman namun pernah terpikirkan atau tidak sebuah surat yang ditulis Kartini bisa mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa kala itu. Bagaimana dengan jaman yang serba canggih ini? Teknologi sudah bukan barang mewah lagi. Sekarang bisa dengan mudahnya mengakses sebuah situs bahkan berinteraksi dengan negara tetangga. Masihkan sulit untuk berkata, "sulitnya membuat suatu perubahan." Pernah tidak terbayangkan bahwa Kartini sama sekali tidak punya pilihan ketika harus dinikahkan namun sebagai balasannya ia mampu mendirikan sekolah untuk kaum perempuan. Baiklah, ternyata Kartini ditakdirkan untuk meninggal di usia muda. Andai saja sosoknya masih ada kini. Andai saja wanita Indonesia kini mempunyai pemikiran yang sama atau setidaknya menyadari bahwa hak wanita sama dengan kaum pria. Bukan dengan cara harus bersedia dipoligami atau sulitnya duduk di bangku sekolah. Kita bisa berprestasi dan membawa perubahan di manapun kita berada, tanpa ada embel-embel kata sulitnya dan sulitnya. Mulailah dari hal terkecil, menjadi pribadi yang membawa pengaruh positif bagi orang terdekat. Jika kamu berhasil maka dengan sendirinya bermunculan orang-orang sepertimu. Jangan banyak bicara hal yang tak penting. Lakukan dan lakukan. Mari kita bawa semangat Kartini dimulai dari hari ini untuk membangun bangsa. Menjadi katalis perubahan.


Oleh:

Luqyana Dahlia

Mahasiswa FKIP Unswagati


Tidak ada komentar:

Posting Komentar