Selasa, 07 April 2015

Pertanian Ekologis dan Mahasiswa

Setaranews.com - Dewasa ini krisis pangan menjadi isu yang selalu hangat untuk diperbincangkan oleh kalangan intelektual, khususnya untuk intelektualis pertanian. Krisis pangan yang terjadi Indonesia bukanlah perkara remeh yang hanya bisa diatasi oleh satu bagian stakeholder saja, melainkan permasalahan yang begitu kompleks. Namun krisis pangan ini juga terjadi di masa-masa terdahulu, bisa di katakan ini adalah masalah klasik yang menimpa negara berkembang, yang berimplikasi pada berbagai kebijakan, teknologi dan budaya dalam menghasilkan pangan yang lebih berorientasi pada hasil yang sebanyak –banyaknya, walau dengan inipun yang minim tanpa memperhatikan kaidah – kaidah ekologis.

Sebagai salah satu contoh adalah revolusi hijau yang terjadi pada masa Orba, dimana hasil pertanian dalam hal ini padi, sangat melimpah bahkan pernah di gadang – gadang sebagai peng-ekspor beras terbesar di dunia. Di balik semua prestasi gemilang yang diceritakan sejarah milik para pemenang itu, terdapat dampak – dampak negatif yang berimbas pada buruknya kualitas lingkungan. Tidak akan mudah untuk mengembalikan kualitas lingkungan. Karna permasalahan dasar berada pada masyarakat pertanian itu sendiri. Yaitu budaya ketergantungan untuk mengasilkan produk sebanyak – banyaknya dengan cara – cara yang sudah tidak modern lagi. Seperti penggunaan pestisida, pupuk kimia dan bahan- bahan yang bersifat destruktif terhadap keberlangsungan ekologis. Yang memprihatinkan adalah masyarakat pertanian tidak pernah tahu bahwa budaya bertani yang mereka lakukan setiap hari selalu merusak keberlangsungan ekologis.

Permasalahan  budaya bertani negatif ini semakin di dukung dengan berbagai masalah yang menuntut bertani demi memperoleh hasil sebanyak –banyaknya. Di era ini ada banyak sekali isu populis yang selalu menyudutkan petani untuk bertani dengan mengenyampingkan keberlanjutan ekologis, diantaranya adalah ledakan jumlah penduduk yang berimbas pada kebutuhan ruang tinggal. Lahan – lahan produktif pertanian kemudian di konversi menjadi komplek – komplek perumahan, industri dan kepentingan publik non pangan lainya. Sehingga ruang untuk menghasilkan pangan semakin sempit, kebutuhan masyarakat dunia akan pangan selalu meningkat sedangkan produksi pangan dunia selalu menurun. Pada ujungnya petani di tuntut menghalalkan cara apapun demi menghasilkan produk pertanian dengan lahan pertanian yang minim, maka demi menjawab tantangan krisis pangan dengan cara yang paling cepat adalah dengan menggunakan bahan – bahan tidak ramah lingkungan dalam budaya bertaninya.

Pertanian Ekologis

Pertanian Ekologis adalah budaya bercocok tanam yang berlandaskan kajian ekologis, dimana dalam proses budidaya tidak menggangu komponen ekologis bahakan menjadi pendukung dalam  keberlanjutan proses ekologis.

Di dalam alam terdapat komponen – komponen ekologis yang dapat kita bagi menjadi dua komponen Biotik (hidup) dan Abiotik (benda mati). Komponen biotik berisi mahluk hidup seperti tumbuhan, hewan, jamur, bakteri dan masih banyak lagi. Sedangkan komponen benda mati adalah tanah , udara, sinar matahari, suhu, kelembaban, air. Kedua komponen ini saling terkait sehingga membentuk rantai keseimbangan , yang kemudian memebentuk dunia yang ideal untuk tumbuh dan berkembang. Bila salah satu diantara keduanya mengalami gangguan maka rantai yang sudah di bangun milyaran tahun lamanya akan rusak, keseimbangan dan keberlajutan proses ekologis akan terganggu yang terjadi adalah kualitas lingkungan yang semakin buruk untuk di tinggali.

Jalan Keluar?

Ada jargon yang kurang tepat bagi petani “Pahlawan Pangan” bukan “Pahlawan Pangan dan Lingkungan”.  Tujuan bertani bukan saja untuk menjadi pahlawan pangan yang tujuanya mencukupi kebutuhan pasar akan pangan, namun presepsi utama lebih harus diarahkan pada titik keseimbangan antara mempertimbangkan kaidah ekologis dan menciptakan produksi bertani yang optimal. Pencapaian bertani yang berorientasi kearah perbaikan lingkungan dan hasil produksi yang optimal harus menjadi tanggung jawab bersama.

Mungkin merubah secara total bertani kearah ekologis tidak akan mudah. karena rintangan terbesar sendiri terdapat pada setiap individu untuk sadar terhadap pentingnya menjaga keberlangsungan proses ekologi. Jalan perubahan ini hanya bisa di capai hanya dengan dua jalan, yang pertama adalah gelombang besar secara serempak untuk merubah budaya bertani dan yang kedua adalah perencanaan yang mendasar, proses penyadaran dari tiap elemen yang lebih berujung tombak  pada proses mendidik kembali petani.  Prosesnya mungkin akan lambat menuju budaya bertani ekologis namun ini lebih efektif. Dan jalan yang saya pilih adalah yang kedua, karna kemerdekaan pikiran tiap individu lebih harus di utamakan dari pada paksaan, sehingga petani bisa terus berinovasi dalam bertaninya menuju pertanian yang ideal. Ada beberapa stake holder yang harus bertanggung jawab dalam mengarahkan pertanian kearah sana diantaranya adalah pemerintah (policy maker), Akademisi (Inovation Stock), dan Pihak Swasta (Capital).

Namun yang kemudian di sayangkan adalah pihak – pihak yang bertanggung jawab dalam hal ini mengalami masa impotensi yang tak kunjung di obati. Ketumpulan pemerintah dalam kebijakannya, monopoli pihak swasta dan akademisis yang tidak bermoral, menjadi jalan berliku dan berbatu terjal kearah perubahan tersebut. Maka siapakah yang harus menyentuh ke dasar permasalahan ini??? Kita harus mencoba membuka kembali buku – buku mengenai makna dan peran mahasiwa dalam perubahan.

Peranan mahasiswa yang starategis sebagai kaum midlle class yang mampu terjun kebawah dan dapat menyentuh ke atas , sebagai kaum intelektual, sebagai agent of change, sebagai agent of control dan sebagai Iron stock. Begitu banyak embel – embel mulia yang melekat pada mahasiswa. Namun apakah mahasiswa mampu mewujudkan??? Saya fikir ini saatnya mahasiwa bergerak dalam suara yang sama, fikiran yang satu dan tindakan yang nyata.Mahasiwa harus terbebas dari belenggu tirani zaman yang melahirkan fikiran pragmatis. Egois dan individualis berlebihan harus di kikis dari sejak dalam fikiran, maka adillah sejak dalam fikiran.

Sudahi percaya pada agama tak bertuhan yang menelurkan budaya berperang, konsumeris, merusak, menindas dan menghisap. Mari menuju Budaya Pertanian yang ramah lingkungan dan menumbuhkan kesadaran untuk menjadi produktif.  Akhirnya disini mahasiswa menyadari bahwa perubahan kearah pertanian ekologis harus didasari dengan pendidikan yang mengakibatkan kesadaran kolektif dari tiap – tiap manusia. Agar sadar dan peduli untuk lebih mencintai ligkungannya bukan karena manusia bisa mengeruk sumber daya alam melainkan mencintai agar bisa menjaga kelestarian lingkungan. Kemudian hal ini yang disebut sebagai  peran mahasiswa terjun ke dalam masyarakat , yang dapat berperan aktif untuk melaksanakan proyek – proyek pendidikan. Sifat mahasiswa harus selalu kritis terhadap kondisi yang terjadi pada setiap detiknya sebagai peran aktif, dalam  pengawasan dan pembacaaan, sehingga dapat dievaluasi setiap tindakan perubahan dan melakukan penyadaran – penyadaran baik ke bawah atau ke atas.

“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa indonesia berkembang menjadi manusia –manusia biasa. Menjadi pemuda – pemuda dan Pemudi – pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan manusia.”- Soe Hok Gie.

 

Oleh :

Saeful Fatah

Mahasiswa Pertanian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar