Rabu, 29 April 2015

Menakar Efeksitas Hukuman Mati

Hukuman mati, Sebuah selogan baru yang (mungkin) sedang menjadi buah bibir. Kehebohannya tidak kalah dengan batu akik. Di koran, di televisi, hingga bahkan di bawah lampu remang warung-warung pantura, semua berbincang lebar menyoal bagaimana hukum menyelesaikan kisah hidup seseorang (Death Penalty).

Dari cuap-cuap yang terserak itu, didapati dua hal yang bisa disimpulkan sebagai dasar penerimaan, dan dua hal sebagai dasar penolakan.

Yang menerima, memiliki dua pandangan pokok. Satu, hukuman mati adalah hukuman paling pantas bagi teroris, pengedar narkoba dan pembunuh. Rasio Logisnya (secara akal sehat) bahwa yang menghilangkan nyawa harus dibalas nyawa. Kedua, hukuman mati adalah tindakan yang lebih manusiawi dibandingkan membiarkan orang hidup sebatang kara di penjara. Mereka menguras kesedihan korban, juga menguras duit negara membiayai hidup mereka.

Intinya, bagi yang menerima, mereka menggunakan prinsip retribusi. Prinsip tersebut berkutat pada pemahaman sederhana, mata ganti mata, bunuh dibayar dengan bunuh, hidup dilunasi oleh hidup (do ut des), Seperti  itu.

Yang menolak, pun, memiliki dua keyakinan pokok mengapa hukuman mati haruslah di tolak. Satu, hukuman mati adalah tindakan penghentian harapan dari orang yang jahat untuk menjadi orang yang lebih baik. Mereka yang bersalah sejatinya mempunyai kesempatan untuk bertobat, dan kesempatan itu bisa dilakukan hanya apabila diberikan kehidupan. Dua, hukuman mati, apapun alasannya, adalah sebuah perbuatan yang menciderai prinsip hak manusia untuk hidup. Prinsip tersebut tidaklah luntur sekalipun terhadap pribadi yang melakukan kejahatan dengan menghilangkan nyawa yang lainnya.

Mereka yang menolak tentunya mempunyai suatu pedoman, yakni kemanusiaan. Dalam sebuah risalah diceritakan bahwa, Nabi Isa suatu ketika ditanyai atau dipaksai soal “sebaiknya pelaku zinah ini kita rajam saja sampai mati!!! ????”. Isa diam dan setelah itu menjawab “dia yang tanpa dosa di antara kamu, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu..”. Lalu semua diam, mendadak hening dan pengampunan terjadi.

HUKUMAN MATI INDONESIA

Jikalau kita ingat, mengenai hukuman mati, Tiongkok tentunya adalah negara yang seringkali diagung-agungkan sebagai contoh yang masyhur. Dengan ketegasannya, negara tersebut berhasil menyapu bersih anggaran pendapatan dari korupsi. Dan, ancaman hukuman mati terhadap koruptor itu, telah membuat negara tersebut merangsek menjadi adidaya menyaingi Amerika Serikat. Hal itu pun katanya, karena tidak diketahui secara pasti datanya.

Singkatnya, semenjak itu, hukuman mati mulai tidak lagi dikenal sebagai prosedur hukum tetapi juga telah menjadi tolak ukur menyoal efek jera. Hukuman mati dijadikan indikasi atau alat untuk menurunkan tindakan yang buruk.

Ada sebuah kebiasaan, yaitu negara berkembang selalu mengikuti negara maju. Indonesia yang tidak melakukan eksekusi mati pada 2014, secara mengejutkan pada 2015 melaksanakan enam eksekusi mati terkait kasus narkotika hingga bulan Maret. Hal itu bertujuan, tentu, untuk mengurangi peredaran narkoba yang dinilai merusak generasi penerus.

EFEKTIFITAS

Setiap persoalan, apalagi itu menyangkut etika, selalu melibatkan apa yang disebut dengan hak prima facie atau hak pada pandangan pertama. Artinya, hak negara terhadap hukuman mati itu berlaku sampai dikalahkan oleh hak lain yang lebih kuat. Dan, hak negara itu, bisa runtuh apabila tujuan efek jera tersebut nyatanya tidak menunjukan hasil bahkan nihil.

Efektifitas mengenai penurunan tindak pidana dengan sarana hukuman mati tersebut belum secara gamblang dibeberkan. Hendardi, ketua Setara Institute, menilai bahwa malah sejauh ini tidak ada statistik yang menyebutkan adanya penurunan.

Di sisi lain, masih menurut Hendardi, hukuman mati seringkali dibisniskan dan riskan kesalahan apabila dilaksanakan dengan tidak hati-hati. Hukuman mati bisa dilakukan apabila penegak hukum secara terang bisa memahami antara motif (motive) dan penyebab (causa). Jika tidak, hukuman mati hanyalah sebuah kegiatan yang menabrak moral karena memperalat nyawa manusia untuk percobaan.

PENUTUP

Dalam setiap tindakan selalu memiliki konsekuensi. Jikalau relevansi antara hukuman mati dan penurunan tingkat penggunaan narkotik tidak berjalan, artinya, hukuman mati hanyalah menjadi seperti; kejutan budaya (cultural shock).

Seyogyianya, jika hidup dan menghirup nafas adalah suatu bentuk kebebasan, Sartre benar bahwa “we are condemned to be free” atau kita ditakdirkan untuk bebas. Namun, yang perlu menjadi catatan, hukuman mati seolah “menggunakan kebebasan untuk menyangkal adanya kebebasan itu sendiri”.

 

Oleh :

Bakhrul Amal

peneliti di Satjipto Rahardjo Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar