Sabtu, 16 April 2016

Opini: Heregistrasi untuk Siapa?

Opini,Setaranews.com- Bicara cinta tentunya harus diperjuangkan, begitupun sebaliknya perjuangan butuh cinta. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Suara – suara itu tidak akan pernah terpenjarakan, walaupun dipaksa untuk diam. Dorongan cinta yang begitu besar akan menghasilkan sikap perjuangan yang begitu massif, konsisten, dan akan selalu bangkit dan bergerak. Cinta tidak melulu disimbolkan kepada sepasang lawan jenis yang sedang bercumbu memadu asmara, tidak, tidak begitu. Berbagai persoalan yang ada di Unswagati, khususnya heregistrasi yang sedang buming belakangan ini, dan kemudian memicu reaksi dari mahasiswa. Sayangnya, reaksi terebut dipahami sebagai sebuh pencorengan terhadap lembaga? Pemikiran yang begitu sempit!

Sepertinya tidak elok, apabila mengenai hukum sebab-akibat saja tidak mahfum (paham). Reaksi penolakan heregistrasi dari mahasiswa merupakan sebab dari sebuah kebijakan, yang menurut saya, tidak hanya tingkat satu (yang dibebankan) saja yang menolak, semua tingkatan pun jelas pasti menolak. Pertanyaan, mengapa mahasiswa begitu keras menyuarakan penolakan? Sepertinya, pihak rektorat dan Yayasan lupa, atau enggan untuk mengingat, bahwa mahasiswanya memiliki mata, hati dan pikiran. Yang hanya dengan pandangan mata saja, menurut saya menjadi argumentasi yang kuat untuk menolaknya.

Saya pun sampai saat ini masih bertanya – tanya, entah logika apa yang digunakan oleh lembaga saya tercinta dalam melakukan sistem dan pengelolaannya. Baiklah, mari kita coba analisis menggunakan logika bisnis (perusahaan). Apabila menggunakan logika ini, kita sebagai lembaga pendidikan tentunya bergerak dibidang jasa. Dalam sebuah perusahaan jasa, yang diutamkan yaitu kepuasan dari pelanggan, Kalau pelanggan tidak puas tentu akan merekomendasikan sanak saudarnya untuk tidak berlangganan, betul atau tidak? Maaf kalo saya salah, maklum masih mahasiswa, bukan dosen, doctor, professor, apalagi tentara. Dalam konteks ini, mahasiswa sebagai pelanggan yang benar – benar harus diberi kepuasan. Coba lakukan survey pelanggan (mahasiswa) apakah puas? Silahkan jawab sendiri pertanyaan tersebut.

Itu yang pertama, kemudian selanjutnya sebagai seorang pelanggan tentunya tidak bodoh, apalagi dengan mudah dibohongi begitu saja. Pelanggan pun tentunya tak mau rugi, apa yang mereka keluarkan, tentunya harus berbanding lurus dengan apa yang didapat. Dari contoh kasus di Unswagati, dengan biaya kuliah yang semakin meningkat, wisuda, praktikum, heregistrasi, dan biaya – biaya lainnya silahkan sebutkan sendiri. saya akan kembali bertanya, dengan kocek yang dikeluarkan  – yang menurut saya tidak umum untuk tingkatan Universitas di Cirebon, sesuai dengan apa yang kita terima? Sebagai manusia normal, punya bola mata kan? Saya hanya bertanya, tak lebih.

Apabila kita menggunakan logika sebagai lembaga nirlaba, mahasiswa sebagai stackholder sekaligus donator utama tentu memiliki hak untuk mendapatkan apa yang memang seharusnya didapatkan. Jangan untuk itu, meminta laporan keuangan sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas saja harus berkeringat, dan berbondong – bonding memnitanya. Karena ketidak terbukaan dari pihak Universitas atau yayasan ini yang menurut saya ada benang merah informasi yang tertutup. Sehingga tidak menutup kemungkinan terdapat inefisiensi anggaran dan terjadi kebocoran anggaran. Lantas kalau sudah begitu, siapa lagi yang kemudian akan menanggung akibatnya? Lagi dan lagi, selalu dikorbankan.

Bagaimana mau terjalin komunikasi informasi yang baik, sedangkan sumber daya manusianya itu sendiri masih berfikir kolot. Untuk menemui rektor dan yayasa saja perlu birokrasi yang berbelit – belit, menemui mahasiswanya sendiri enggan. Maunya  mahasiswa yang harus cium tangan, menghadap, sundawu kanjeng. Masih saja berwatak feodal, merasa sebagai kasta tertinggi, seperti ingin menemui seorang raja.  Sudah pikun tanmpaknya kalau rektor dan yayasan seorang terpelajar yang seharusnya memberikan contoh sebuah sikap yang egaliter (setara). Ya akhrinya, untuk bisa bertemu dan menyuarakan apa yang seharusnya didapatkan saja harus menggelar aksi demonstrasi. Padahalkan itu sudah kewajiban, bukannya begitu? Kalau salah ya wajar, saya mahasiswa bukan anak TEKA.

Kemudian ada argumentasi lagi yang saya geli mendengarnya. Kebijakan heregistrasi mengacu pada UU Pendidikan Tinggi no 12 tahun 2012 dan permen turunannya. Pasal berapa, ayat berapa?  Kalau memang UU tersebut mengatur dengan rinci soal biaya – biaya perkuliahan, mengapa biaya kuliah tiap kampus entah itu swasta ataupun negri bisa berbeda, harusnya sama semua dong karena diatur dalam UU? Lantas ketika Peraturan Mentri sebagai turunannya, mengapa baru diberlakukan tahun ini? Berati dapat disimpulkan, bahwa soal biaya kuliah disesuaikan dan diserahkan atas kebijakan Perguruan Tinggi masing – masing.

Jelas dalam UU dasar pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan untuk mencekik kehidupan warga. Pak, persoalannya apa yang mahasiswa keluarkan tidak sebanding dengan yang didapat. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan, Kualitas pelayanan mana yang dimaksud? Kualitas pelayanan terhadap dosen,  rektor dan yayasan beserta jajarannya? Berbagai biaya yang dikeluarkan, termasuk heregistrasi untuk siapa? Silahkan jawab sendiri untuk pertanyaain ini Pak. Mahasiswa kalau mau jawab juga boleh. Untuk mahasiswa suara dan reaksi yang bermunculan, saya rasa itu sebuh bentuk kecintaan yang luar biasa terhadap lembaga. Sebagai otokritik agar lembaganya menjadi lebih baik, Ia atau tidak?

Kalau memang pos heregistrasi itu sudah ada sejak tahun 2012 – 2014, dengan biaya kuliah yang turun namun pos anggaran heregistrasi tersebut bisa ditambal dengan pos anggaran yang lain, karena tidak dibebankan kepada mahasiswa. Saat ini, dengan biaya kuliah yang meningkat drastis – bisa dibilang mahal- mengapa biaya heregistrasi dibebankan? Inefisisien anggaran kah? Kenapa lantas mahasiswa yang harus menanggungnya? Unswagati yayasan, lembaga pendidikan, bukan perusahaan. Kalau mau mencari keuntungan semaksimal mungkin rubah namanya jadi PT. Gunung Jati Persero. Betul tidak? Saya hanya berasumsi, kalau salah ya harap dimalum, sekali lagi, saya masih mahasiswa.

Yang perlu dievaluasi itu bukan mahasiswanya atau reaksi dari mahasiswa, dengan berbagai intervensi dan intimidasi. Niat mahasiswa tulus,  untuk memperbaiki dan menuntut haknya. Ingat yang perlu dievaluasi kebijakan itu sendiri, sebagai akar sebab musabab berbagai persoalan yang ahirnya menimbulkan reaksi. Dihapus atau tidaknya kebijakan tersebut ya kembali kepada keberpihakan rektorat dan yayasan.  Kalau memang tetap saja memaksakan kehendak, atas nama Kemanusiaan, Keadilan, dan solidaritas, mari kita suarakan apa yang seharusnya kita dapatkan. Sebagai bentuk cinta kita, mari kita perjuangkan. Mahasiswa harus bersatu, hilangkan ego sektoral, dan selesaikan apa yang telah kita mulai. Bukannya begitu ??

#SaveMahasiswaUnswagati

#BangkitBergerak

 

Oleh Epri F. Aziz mahasiswa Fakultas Ekonomi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar