Rabu, 27 April 2016

Opini: Mempertanyakan Pikiran Kritis Universitas

Opini- MEA (masyarakat ekonomi ASEAN) kini sudah digelar. Orentasi rezim pemerintah kini adalah pembangunan. Juga, pergeseran pola ekonomi berubah secepat kilat semenjak perkembangan tekonologi berbasis media sosial. Melalui perubahan semacam inilah publik dibuat reaktif dengan berbagai keriuhannya.

Kini, seolah-olah publik sedang mengalami kepanikan luar biasa. Promosi, pidato, jargon, dengan cepat diselenggarakan Universitas dan pemerintah sebagai bagian dari sosialisasi. Dengan doktrin wacana; ini adalah peluang.

Bahkan, publik seperti diharuskan berlari cepat melampaui cahaya untuk menyiapkan semuanya demi semata-mata agar publik tak tergilas dengan adanya MEA, pembangunan, dan perkembangan tekonologi yang kini menjadi bagian dari hidup. Dan, di antara semuanya kita sebagai bangsa Indonesia harus lebih cepat dan menjadi lebih unggul dibanding negara-negara lain.

Tersirat, tak ada yang keliru dengan semua itu. Tetapi, hal-hal di atas layaknya suatu yang sudah given. Tak bisa ditolak. Apalagi dikritisi. Itulah konsekuensi globalisasi. Publik harus terima. Suasana demikian yang menimbulkan pertanyaan, mengapa? Bahkan yang terjadi sebaliknya, banyak Univesitas mengamini tanpa lagi berpikir ulang, apa yang sebenarnya terjadi?

Fenomena MEA misalnya, disikapi dengan bagaimana visi Universitas menyiapkan tenaga handal yang mampu bersaing dengan tenaga-tenaga negara lainnya. Seolah-olah mahasiwa adalah komoditas lainnya seperti—layaknya produk mangga gincu yang dipasarkan pemerintah melalui program UMKM. Jadi, apa yang sebenarnya Indonesia tawarkan pada MEA? Apabila komoditas manusia yang menjadi konsep.

Melihat cara berpikir Universitas semacam ini tak elak menjadi pertanyaan, apa peran Universitas selain pantas disebut sebagai corong kekuasaan? Karena Univeritas menjadi media sosialisasi apa yang sedang coba pemerintah bangun. Dengan maksud, agar publik menerima ini dan bersikap yang hendaknya pemerintah inginkan. Jika demikian, pertanyaannya, di mana sikap kritis dan independensi Universitas?

Hal demikian lah yang menjadi kegelisahan. Bagaimana tidak. Universitas tanpa melakukan kajian ilimiah lantas mempromosikan MEA dengan berbagai jargon demagognya. Misalnya, tak memaparkan bagaimana sejarah MEA dibentuk, siapa aktor MEA, apa tujuan MEA, bagaimana mekanisme MEA, bagaimana securty MEA untuk melindungi lalu lintas barang dan tenaga manusia, bagaimana kondisi sosial politik negara-negara MEA, siapa aktor pasar dan objek pasar, apa yang menjadi keunggulan dan kekurangan Indonesia, danbagaiamana mengantisipasi dan merinci berbagai konsekuensinya? hal-hal seperti inilah yang absen dilakukan Universitas.

Tanpa ketajaman analisa dan pembongkaran suatu konsep bukan tidak mungkin kedepan hanya akan menimbulkan persoalan-persolan baru. Apalagi indikasi yang diedarkan hari ini adalah keuntungan bonus demografi. Sebatas melihat jumlah manusia. Bukan pada kapabilitas, kompetensi, dan kondisi realistis Indonesia di hadapan market MEA. Untuk bagaimana mengukur itu secara matematis. Tak sebatasbermodalkan kepedean. Hal-hal inilah yang tak banyakdipikirkan.

Sebagai contoh, pemabajakan kapal Indonesia di wilayah perairan Filipina oleh Abu Sayyap yang sekarang masih terjadi. Betapa perjanjian dengan Negara-negara MEA seperti Filipina, Indonesia tak memiliki hak untuk menginterversi. Padahal itu menyangkut nyawa dan perlindungan warga negara yang—seharusnya Indonesia berdaulat atas itu. Karena hal itu pun diakibatkan dari kondisi sosial politik Filiphina yang buruk.

MEA membuka kran ekonomi tapi mengkesampingan perlindungan dan jaminan keamanan sipil. Ini menandakan lemahnya perjanjian hukum di antara Negara-negara MEA. Sedangkan kita ketahui banyak di antara Negara-negara yang tergabung di MEA adalah negara yang non-demokrasi. Dengan berbagai gejolak sosial politik yang mengancam bagi aktivitas sipil. Dalam posisi ini, sebetulnya jelas Indoensiasangat dirugikan. Karena ini menyangkut jaminan keamanan lalu lintas barang dan manusia antar negara.

Ini adalah sedikit dari banyaknya persoalan MEA yang belum diketahui, ditambah dengan defisitnya kajian ilmiah dan ruang diskusi di Univesritas, jadi—sebetulnya patut diduga publik tak banyak mengetahui tentang MEA. Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri, di manakah ruang kritisismeUniversitas terhadap berbagai perubahan kebijakan dan konsep ekonomi itu? Apakah hilang diterpa bualan-bualan quote positif. Karena bagi sebagian orang, perilaku kritis disamakan dengan prilaku buruk. Tentu, jika demikianadanya, ini menjadi persoalan tersendiri di kalangan intelektual.

Tak berhenti di situ, karena paradigma sebagain  Univesitas mahasiswa adalah komoditas, pembangunan yang dilakukan pemerintah, seperti Kereta cepat, Jalan tol, Rekalamsi, dan infrasturktur-infrasturktur lainnya, diamini sebagai peluang untuk membuka lapangan pekerjaan. Tanpa melihat persoalan-persoalan yang akan dihadapinya. Seperti kerusakan ekositem alam, berpotensinya bisnis dan politik sebagai aktor pelanggaran HAM, karena persoalan pembebasan lahan dsb.

Sebagai contoh, bagaimana persoalan reklamasi dimulai dari Bali, Jakarta, Cirebon dan Makasar yang kini menghadapi gelombang penolakan yang besar bagi masyarakat adat dan setempat. Bagiamana kasus salim kancil yang dibunuh, penolakan Ibu-ibu rembang akan kehadiran perusahaan yang akan mengalola sumber penghidupannya, dan penolakan bongkar muat batu bara karena debunya berdampak terhadap kesahatan manusia.

Hal tersebut mestinya mejadi lampu kuning bagi Univesitas untuk berjarak dengan kekuasaan dan berdiri independet dalam bersikap. Untuk memberikan argumentasi dan jalan keluar lain. Menyodorkan pilihan-pilihan terhadap suatu kebijakan dan konsep ekonomi. Lebih dari itu, membantah modus pembangunan yang berdalih atas nama pertumbuhan ekonomi.

Sinyal inilah yang tak ditemukan oleh Universitas sebagai bagian dari lembaga yang memiliki tanggung jawab Tri Darma Perguruan Tingggi. Yang salah satu visinya adalah mengabdikan diri untuk publik. Diantaranya, memberikan informasi kepada publik dengan objektif, teruji, tepat dan jernih. Melalui pendekatan dan persoalan itulah mestinya publik kini mempertanykan pikiran kritis yang sepatutnya dimiliki Universitas. Di manakah ia?

Penulis : Kris Herwandi (Alumnus Universitas Swadaya Gunung Jati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar