Rabu, 15 Maret 2017

Opini: DAK 96 M dan Lemah Syahwat Aparat yang Tidak Tegak

Opini, Setaranews.com - Persoalan dugaan adanya penyimpangan anggaran, pelanggaran hukum, sampai kepada titik adanya indikasi kuat dugaan korupsi dalam pelaksanaan proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) 96 M. Anggaran yang tidak kecil tersebut dimaksudkan untuk membangun infrastruktur publik daerah seperti jalan, jembatan, trotoar dan drainase semakin memanas. Bisa jadi membuat kuping panas, muka pedas, bagi mereka yang merasa terlibat akibat gempuran sarkas dari publik yang tak sabar ingin memberantas. Lalu akan seperti apa kelanjutan drama mega proyek DAK? Mari kita saksikan bersama-sama alur ceritanya.

Sampai detik ini, memang masih belum ada kepastian kelanjutan ceritanya. Bahkan alurnya cenderung mundur lagi kebelakang, mengulur-ngulur waktu sampai publik lupa, dan akhirnya kasusnya pun lenyap begitu saja. Berhenti dikolong meja, selesai di kantong-kantong mafia. Hal itu tidak menutup kemungkinan ketika polemik mega proyek DAK tidak lagi menjadi perhatian dan sorotan tajam mata masyarakat. Sebaliknya, adanya dorongan perhatian khusus dari masyarakat terhadap kasus ini akan memudahkan membongkar skandal atau konspirasi-konspirasi yang membelit.
Penyimpangan dan pelanggaran apa saja yang menimpa pelaksanaan proyek DAK 96 M? Baiklah mari kita sedikit membahas dan membedahnya. Tujuannya jelas, yang tidak tahu menjadi tahu, yang tahu semakin yakin akan adanya indkasi korupsi. Pertama, Pemerintah Kota (Pemkot) melalui dinas terkait (DPUPR) melakukan bebrapa tahap awal, diantaranya yaitu adanya studi kelayakan terlebih dahulu. Hal itu dilakukan dalam rangka menguji sekaligus mengetahui mana saja yang harus diperbaiki dan mana saja yang harus dibangun. Hasil dari studi ini akan dibuat Rencana Kerja Anggaran (RKA) yang merupakan benih dari Rencana Anggaran Belanja (RAB) yang dimasukan dalam proposal pengajuan DAK kepada Pemerintah Pusat.

Berbagai Pelanggaran Dan Penyimpangan Poyek DAK 96 M!

Pemirsa sekalian, menurut analisis penulis, dari titik awal ini lah bisa dilihat pula adanya indikasi niatan buruk (permufakatan jahat) dari para oknum tertentu yang ingin memperkaya pribadi atau golongan. Bagaimana caranya? Yaitu dengan memasukan dalam studi kelayakan. Misalnya jalan, trotoar, drainase atau jembatan yang sebetulnya masih tergolong layak, namun kemudian dikategorikan tidak layak. Atau yang sebetulnya cukup diperbaiki, tapi dibangun total dari nol. Jelas ? ini dugaan pertama.

Kedua, dalam proses lelang tender. Setelah proposal dikirimkan dan kemudian anggaran DAK sudah dipastikan cair, langkah selanjutnya yaitu menggelar lelang melalui Unit Layanan Pemerintah (ULP). Kalau tidak salah ingat, lelang awal mega proyek tersebut dibagi kedalam 60 paket lebih. Namun dalam lelang awal ini terjadi beberapa persoalan yang kemudian lelang gagal. Kemudian, dilelang berikutnya mega proyek DAK tersebut dibagi kedalam 3 paket besar yang mencakup 5 kecamatan di Kota Cirebon yang dibagi menjadi 3 Dapil. Dikarenakan kualifikasi dan standar yang terlalu berat maka hasil lelang tender ini dimenangkan oleh perusahaan-perusahaan asal Jakarta. Kontraktor lokal yang tidak memenuhi kualifikasi gagal mendapatkannya. Dari hasil lelang inilah kemudian persoalan mega proyek DAK 96 M semakin mencuat kepermukaan. Kontraktor lokal merasa adanya permainan politis untuk mengkondisikan agar lelang tersebut ditujukan kepada kontraktor tertentu. Merasa dizalimi, akhirnya terdapat kontraktor yang melaporkan si pemenang tender kepada kepolisan atas berbagai macam tuduhan. Ketiga, adanya dugaan persekongkolan untuk memenangkan tender.

Penulis masih meyakini dalam urusan apapun, bahwa hasil yang akan didapat tergantung proses yang telah dilalui sebelumnya. Keempat, pelaksaan pengerjaan proyek DAK 96 M. Hasil lelang yang dimenangkan oleh 3 perusahaan (konon dalam naungan satu grup yang sama), dalam pengerjaan proyek mengundang persoalan semakin meruncing dan membuat bau tak sedap bagi masyarakat Kota Cirebon. Kegaduhan polistis semakin terasa ketika Tim Pengawas Lapangan Independent menemukan adanya temuan-temuan pelanggaran yang dilakukan oleh kontraktor.

Dalam laporan pengawas ke Pejabat Pembuat Komiten (PPK) yang tidak lain merupakan Sekertaris DPUPR, menyebutkan terdapat dibeberapa titik pengerjaan yang tidak sesuai spesifikasi, tidak sesuai SOP, dan tidak sesuai SNI yang melanggar UU Jasa Kontruksi. Sehingga pengawas merekomendasikan agar pengerjaan diberhetikan terlebih dahulu, agar kontraktor memperbaiki pengerjaan yang tidak sesuai tersebut. Namun, teguran, peringatan, dan laporan konsultan pengawas tersebut tidak diindahkan oleh kontraktor dan juga pemerintah (PPK). Kelima, Melanggar UU Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah terkait efektifitas, efisiensi dan ketepatan sasaran pengerjaan proyek.

Mencium ada gelagat tak sedap, tidak sedikit pengerjaan proyek DAK tersebut dilakukan oleh pihak ketiga (disub-kan). DPRD mengendus adanya penyimpangan setelah mengetahui laporan dari konsultan pengawas dan hasil progres dari kontraktor yang menjelang kontrak habis tetap saja proyek DAK masih belum mencapai target, bahkan progresnya sangat memprihatinkan. Kemudian DPRD mengeluarkan rekomendasi kepada Pemkot yang isinya memberhentikan proyek, meminta kontraktor memperbaiki pengerjaan yang tidak sesuai, dan memutus kontrak terhadap kontraktor nakal tersebut, serta meminta agar proyek dilelang ulang.

Lagi-lagi, surat sakti (rekomendasi) dari DPRD sama sekali tidak diindahkan oleh Pemkot, bahkan DPUPR sendiri mangkir dari panggilan. Mengejutkannya, bukannya memberhentikan, justru Pemkot menyetujui adanya perpanjangan kontrak (addendum) bagi kontraktor untuk mengerjakan sampai selesai proyek DAK 96 M tersebut hingga 21 Maret 2017. Disini kemudian ada lagi aturan yang ditabrak, yaitu soal pengelolaan keuangan negara (daerah). Perlu diketahui bahwa sumber dana mega proyek tersebut dari DAK yang merupakan anggaran tahun tunggal. Artinya, anggaran harus habis dalam satu periode (Januari-Desember).

Dalam kasus DAK 96 M, sisa anggaran pengerjaan proyek seharusnya disiapkan terlebih dahulu, kemudian dimasukan dalam APBD, dan proyek pun ditender ulang. Namun, fakta yang ada justru sebaliknya, addendum berjalan begitu saja proyek tetap berjalan dengan kontraktor sama tanpa adanya tim konsultan pengawas lapangan. Keenam, adanya pelanggaran terhadap pengelolaan keuangan daerah dimana anggaran tahun tunggal disulap menjadi anggaran tahun jamak. Dan lebih memprihatinkan lagi, ketika dimasa addendum belum habis masa kontraknya dan masih banyak pekerjaan proyek yang belum selesai, justru pihak DPUPR mengatakan bahwa anggaran mega proyek DAK 96 M itu sudah habis. Artinya, adanya dugaan kuat bahwa kontraktor yang mengerjakan tidak sesuai spek dan asal-asalan tetap dibayar. Disini kemudian rakyat merasa dibodohi dan dibohongi!

Peran Penegak Hukum

Saat ini, yang menjadi sorotan masyarakat yaitu aparatur penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Terutama dalam hal ini yaitu sesuai dengan cita-cita konstitusi dan peran dan fungsi Kejaksaan merupakan lembaga yang menjadi corong utama pemberantasan korupsi. Dimana Kejaksaan memiliki perangka-perangkat yang bisa melakukan pengumpulan data dan informasi, pemanggilan dan lain-lain. Khusus dalam soal pembangunan infrastruktur yang memang sedang gencar-gencarnya dilakukan pemerintah pusat sampai daerah, maka keluar lah Keputusan Presiden (Kepres) mengenai Tim Pengawas Percepatan Pembangunan Daerah (TP4D), yang anggotanya yaitu Kejaksaan.

Pihak Kejaksaan Kota Cirebon mengakui memang tim tersebut sudah dibentuk, peran dan fungsinya sangat jelas memastikan percepatan pembangunan infrastruktur publik yang on the track alias tidak menabrak atau berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, peranan dan fungsi dari tim ini tidaklah terasa gaungnya. Seolah-olah menutup mata dan telinga, yang padahal berbagai peroalan berada tepat di depan mata. Dalam polemik DAK 96 M, Kejaksaan sudah mengawal dari awal perjalanan, hingga sampai kepada mencuatnya berbagai polemik yang diduga melanggar hukum yang harus segera dibawa ke ranah meja hijau.

Seperti biasa, alasan klasik selalu muncul dari mulut-mulut bau para penegak hukum. Ketika masyarakat mengeluhkan dan memberikan informasi adanya indikasi dan patut diduga tindakan melanggar hukum, justru tidak ada langkah tegas dan pasti dari pihak Kejaksaan. Alibinya selalu begitu, bicara soal masih dalam tahap mencari bukti, menggali data, fakta dan informasi. Kejaksaan dalam tugasnya memberantas korupsi bisa bergerak tidak hanya ketika ada hasil dari audit BPK. Dari informasi masyarakat atau atas inisiatif sendiri, perangkat hukum yang dimilikinya bisa bergerak leluasa menggali dan menyelidiki. Korupsi merupakan pidana khusus yang tidak bisa disamakan dengan pidana umum. Perbedaannya jelas, pidana umum ditangkap setelah melakukan, sedangkan pidana khusus dalam tahap perencanaan saja bisa dijadikan alat bukti.

Dalam kasus DAK tugas Kejaksaan jelas yaitu menyelamatkan keuangan negara dan menindak mereka yang diduga melanggar hukum yang masih berlaku. Artinya Kejaksaan harus sigap mencegah praktik korupsi sebelum terjadi. Bukannya menunggu korupsi terlebih dahulu baru ditindak, logika yang sangat konyol, salah kaprah, menghina kehormatan lembaga Kejaksaan itu sendiri. Hasil temuan BPK itu diperlukan ketika ada perkara yang tidak diketahui atau tidak jelas unsur pelanggaran hukumnya atau unsur kerugian negaranya.

Sedangkan dalam kasus DAK 96 M bisa terlihat sangat jelas, mata orang awam pun bisa melihatnya. Apalgi dari kaca mata para penegak hukum? Adanya laporan dari kontraktor, adanya laporan dari pengawas, dan fakta dilapangan lainnya bisa dijadikan alat-alat bukti, sampai kepada keterangan-keterangan saksi pun sebetulnya mudah untuk bisa dianalisis. Tapi, dalam hal ini kenapa Kejaksaan tidak segera bersikap tegas, tidak bersemangat, lemah syahwat kah? Wajar jika ada opini yang beredar jika Kejaksaan itu sendiri menikmati hasil ‘bancakan’ atas mega proyek DAK 96 M tersebut!

Mereka yang terlibat dalam kasus dugaan adanya tindakan korupsi DAK memang sakti mandraguna, kenapa bisa begitu? Ya sangat sakti. Kesaktian yang dimiliki membuatnya bisa memakan besi, memakan beton, menggerogoti jembatan, sampai melahap tortoar. Saking saktinya, membuat mereka oknum-oknum yang menikmati hasil dari perilaku dugaan korumnya kebal atas hukum, tidak tersentuh sedikit pun! Kejaksaan disini seharusnya ambil peran, sebagai paranormal yang bisa mengalahkan kesaktiannya.

Hmm sayangnya, justru Kejaksaan dibuat lemah syahwat! Nafsu birahinya untuk memberantas korupsi sebagaimana yang diembannya tidaklah berjalan dengan sempurna. Masyarakat tidak bodoh, bisa menilai kinerja dari para apparat penegak hukum. Seperti diketahui, Cirebon memang sempat mendapat gelar sebagai KOTA TERKORUP. Tidak heran label seperti itu, karena memang peran dan fungsi penegak hukumnya begitu tumpul! Jarang sekali laporan-laporan dugaan korupsi di Kejaksaan ditindak lanjuti sampai selesai dan menjerat pejabat-pejabat publiknya! Dalam kasus DAK 96 M pun tak jauh berbeda, disini bisa terlihat dengan jelas bahwa Kejaksaan MANDUL! IMPOTEN!

Mengakan hukum saja tak sanggup! Penulis sarankan, copot Lambang Pancasila dan Bendera Merah Putih yang ada di Kantor Kejaksaan! Tidak pantas dan sangat hina jika lambang negara yang penuh keberanian dan kibaran merah putih yang suci berada di gedung yang justru menciderai konstitusi, dan mengubur dalam-dalam cita-cita bangsa sesuai dengan amanat kemerdakaan dan UUD 1945! Segeralah berobat, sebelum penyakit yang menjangkit semakin akut membuatnya mati suri!

Oleh: Epri Fahmi Al-Aziz, Kordinator Dewan Pimpinan Kampus
Gerakan Mahasiswa Sosialis (GEMSOS) Cirebon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar