Senin, 20 Maret 2017

Opini: Predator Seksual dan Penjahat Kemanusiaan di Lingkungan Pendidikan

Opini, Setaranews.com - Ternyata tidak ada tempat yang aman dan nyaman bagi kaum hawa, sekelas Universitas pun  yang merupakan lembaga pendidikan menjadi sarang predator yang siap memangsa kapan saja dan dimana saja jika mendapat kesempatan. Para predator seksual ini justru bisa berkembang biak, berkeliaran dengan leluasa. Mirisnya, ada saja oknum yang membela dan menjaga predator tersebut.  Baik si pelaku maupun si pembela yang gegap gempita merupakan orang yang menyandang label sebagai kaum terdidik. Miris! Kenapa? Terlihat jelas bagaimana pendidik tidak mendidik dan pendidikan tidak membebaskan, malah menjerumuskan!

Baiklah mari kita bahas bersama soal pradator seksual di lingkungan pendidikan. Sepanjang sejarah peradaban umat manusia di muka bumi, persoalan-persoalan yang berurusan dengan selangkangan bukanlah hal yang baru. Contoh kasusnya seperti adanya perbudakan seksual terhadap perempuan, pemerkosaan terhadap perempuan, dan berbagai jenis kategori pelecehan seksual lainnya sudah ada sedari dulu. Korbannya sudah dapat dipastikan yaitu selalu perempuan, kenapa? Ya, stigma negatif dari dulu terhadap perempuan yang harus dilawan. Dimana perempuan kerap dianggap sebagai objek seksual, dijadikan alat pemuas hasrat, dan dianggap wadah yang harus menampung nafsu birahi lelaki yang bejat.

Perempuan,  tidak dipungkiri memang merupakan perhiasan yang paling indah di dunia. Oleh karenanya keindahan tersebut tidak dapat ditukar dengan apapun, sekalipun oleh tumpukan gunung emas atau samudera berlian, apalagi jika hanya ditukar oleh nilai ujian. Benar-benar merugikan! Ya, sangat disayangkan jika perempuan selalu menjadi tumbal predator yang tak kenal kemanusiaan. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, di Indonesia sendiri setiap 2 jam sekali wanita mengalami kekerasan seksual dan pelecehan seksual. Pelaku dan korbannya, dari usia sangat dini sampai usia sangat lanjut. Memprihatinkan!

Fakta tersebut menampar kita sebagai sebuah negara yang memiliki tuntunan etik maupun moral yang dititiskan turun temuruan dari nenek moyang, baik berupa agama maupun budaya. Ini sebuah bukti kongkrit memang benar nilai-nilai luhur nan agung soal etika dan moral sudah lenyap, kalau adapun hanya dianggap sebuah kitab kusam yang tak bermakna, pajangan belaka, dan ketika diucapkan langsung memuai lenyap di udara. Tidak dipraktikan, apalagi dijadikan pedoman – tuntunan sekaligus tuntutan – dalam kehidupan sehari-hari.

Universitas Sebagai Sarang Predator Seksual

Persoalan pelecehan seksual di Indonesia tersebut berarti sudah menjadi penyakit akut. Ya, tidak dipungkiri memang betul adanya demikian. Universitas, yang merupakan kawah Candradimuka, tempat manusia Indonesia menempuh pendidikan dan menjadi manusia terdidik yang bisa mencerdaskan kehidupan bangsa dan membawa pada kemajuan sebagai bangsa yang memiliki peradaban luhur.  Peranan Universitas secara teoritis harusnya seperti itu, praksisnya bertentangan. Tekstual, dan kontekstual kerap berbenturan.

Di Perguran Tinggi Indonesia tidak sedikit perkara kasus pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan. Pelakunya mulai dari mahasiswa, staf, dosen, sampai ke pejabat-pejabat kampus. Di tempat penulis menempuh pendidikan pun sama, penulis sering mendengar cerita, keluh kesah mahasiswi yang diperlakukan tidak senonoh, dan merasa risih sekaligus tidak nyaman berada di lingkungan Universitas akibat perlakukan seperti itu. Misalnya digoda, disiul-siul dan ucapan verbal lainnya. Ini pun memang bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.

Contoh itu masih sebatas dilakukan sesama mahasiswa, masih ada lagi kasus yang bahkan lebih parah dilakukan oleh salah satu pejabat teras di lingkungan Universitas. Biasanya kesempatan yang diambil oleh para predator tersebut saat musim skripsi tiba. Mahasiswi memiliki kepentingan agar skripsinya bisa dipermudah, dan mendapat nilai bagus. Si oknum memiliki kepentingan untuk bisa memangsanya dengan menggunakan kesempatan sebagai dosen pembimbing yang memiliki hak memberikan nilai. Jika kedua belah pihak bersepakat, maka terjadi pergumulan seksual dengan asas ‘mau sama mau’. Ini sulit untuk dipersoalkan.

Berbeda jika kemudian ada penolakan dari salah satu pihak, dalam hal ini mahasiswi menolaknya. Tapi, si oknum tetap saja memperlakukan (baik verbal ataupun fisik) yang menjurus pada urusan kelamin (pelecehan seksual). Mendapat perlakukan seperti itu  pastinya sangat berpengaruh pada mental dan psikis. Perkara seperti ini yang belakangan sedang menjadi topik panas di lingkungan tempat penulis menempuh studi. Dimana memang kasus pelecehan seksual menyeret nama salah satu pejabat teras.  Dalam kasus ini, penulis sangat kagum, dan salut kepada korban yang berani mengungkapkan apa yang telah dialaminya ke publik. Dan memang seharusnya seperti itu.

Menjerat Predator Seksual

Jarang sekali ada korban pelecehan seksual ini berani melaporkan atau mengadu atas apa yang pernah menimpa dirinya. Bisa karena takut, bisa karena malu, karena berpikir harga dirinya akan hancur. Ini pemikiran yang salah, justru merupakan kewajiban bahwa para predator seksual tersebut harus dilawan, ini demi memperjuangkan dan mempertahankan hak sebagai manusia, dan juga sebagai perempuan.  Dan lebih memprihatinkan lagi, si terduga pelaku pelecehan tersebut tidak sedikit yang membelanya bahkan sampai membawa kerabatnya dari lembaga hukum untuk melakukan pembelaan dan pembenaran atas tindakannya.

Pelecehan seksual yang menimpa perempuan bukan soal melanggar aturan, bukan urusan rok mini, bukan soal penampilan seksi. Melainkan soal OTAK MINI (sesat pikir) para pelakunya.  Apalagi si pelaku merupakan orang yang katanya terdidik, tapi tidak menggunakan akal sehatnya.  Persoalan ini  yang harus digempur habis-habisan. Perbuatan pelecehan tersebut tidak bisa dibiarkan dan berkembang. Para pelaku harus ditindak setegas-tegasnya supaya bisa jera dan tidak melakukan lagi. Terlebih yaitu sebagai contoh bagai oknum-oknum lain untuk tidak melakukan pelecehan yang sama. Dan menjadi pelajaran bagi perempuan (mahasiswi) untuk berani mengungkapkan, berani melawan, berani meyampaikan dan memperjuangkan hak perempuan, biarkan tubuh perempuan menjadi hak otonomnya. Hanya perempuan sendiri yang bisa menentukan.

Kembali penulis disini tekankan bahwa perilaku pelecehan seksual bukan hanya urusan melanggar aturan, bukan soal laki-laki atau perempuan, bukan hanya soal syahwat birahi, terpenting ini soal kemanusiaan. Pelaku pelecehan berarti mereka bisa dinobatkan sebagai penjahat kemanusiaan! Dan Universitas seharusnya menjadi garda terdepan dalam membela hak-hak perempuan, dan juga memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Bukan sebaliknya, menjadi sarang berlindungnya para predator kemanusiaan! Bukan begitu? Maka sangat keterlaluan dan tak bisa ditolerir jika terduga para predator seksual ditempat penulis berada bisa lolos dari jeratan sangsi.  Harkat dan martabat Lembaga Pendidikan  sudah diujung tanduk, dan tentunya yang dipertaruhkan.

 

*Penulis adalah Epri Fahmi Al – Aziz, Mahasiswa FE Unswagati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar