Senin, 27 Maret 2017

Opini: Koperasi Sebagai Jalan Keluar Menuju Kesejahteraan Petani

Opini, Setaranews.com - Indonesia merupakan Negara agraris. Lebih dari setengah jumlah penduduknya berprofesi sebagai petani. Negara yang kaya akan sumber daya alamnya ini menjadi primadona yang diidam-idamkan dan menjadi pusat perhatian negara-negara di belahan dunia, pasalnya berbagai macam tanaman pangan yang berada di dunia terdapat di Indonesia. Sebagai negara agraris dengan jumlah penduduk yang besar dan proporsi rumah tangga yang bekerja di pertanian lebih dominan, perhatian terhadap kesejahteraan petani menjadi sangat strategis.

Hasil Sensus Pertanian 2013, sebanyak 26,14 juta rumah tangga merupakan rumah tangga tani. Dari total 26,14 juta rumah tangga petani di Indonesia, 14,62 juta (sekitar 56%) ialah petani gurem. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, angka kemiskinan di pedesaan jauh lebih tinggi, yakni 14,7% jika dibandingkan dengan perkotaan yang 8,34%. Ironisnya, penduduk miskin di pedesaan mayoritas para petani. Maka tidak heran jika setiap tahunnya jumlah petani di Indonesia semakin menurun karena mereka tidak merasa tersejahterakan dengan profesi mereka.

Hasil Sensus Pertanian 2013 (ST 2013) menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga pengguna lahan di Indonesia pada tahun 2013 telah terjadi penurunan sebesar 4.668.316 (15,35%) rumah tangga dalam satu dekade. Artinya, setiap tahun, rata-rata sejumlah 466.800 petani pengguna lahan meninggalkan profesinya. Tidak hanya pada rumah tangga pertanian pengguna lahan saja yang terjadi penurunan, namun juga pada rumah tangga usaha pertanian gurem terjadi penurunan sebesar 4.766.181 (25,07%) rumah tangga.

Penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian dalam angka yang tidak kecil tersebut akan berdampak pada terganggunya stabilitas produksi pangan nasional. Atau dalam kata lain Indonesia berpotensi mengalami krisis pangan nasional beberapa tahun mendatang. Salah satu persoalan besar Indonesia di masa depan adalah bagaimana menjamin ketersediaan pangan yang cukup, harganya terjangkau dan dapat diakses oleh semua warga. Menurunnya jumlah petani sebagai produsen pangan, semakin memperburuk kondisi penyediaan pangan. Menurunnya jumlah petani akan berdampak pada ancaman krisis pangan Nasional.

Krisis pangan adalah kondisi kelangkaan pangan yang dialami sebagian masyarakat di suatu wilayah. Krisis pangan pada dasarnya tidak hanya sebagai akibat dari kelangkaan pangan, tetapi juga ketidakmampuan masyarakat mengakses pangan, sehingga ketahanan pangan masyarakat terganggu. Menurut FAO (2006), ketahanan pangan meliputi 3 aspek yaitu ketersediaan, keterjangkauan dan stabilitas. Sedangkan ketersediaan pangan ditopang dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan Nasional dan impor apabila dari kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Berdasarkan data Konsumsi Statistik Pangan Tahun 2012, pada tahun 2007 hingga 2011, Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan pangan dengan produksi dalam negeri dan cadangan pangan Nasional, sehingga dari tahun ke tahun Indonesia harus terus mengimpor bahan pangan.

Penurunan jumlah profesi petani memunculkan pertanyaan besar bagi segenap kalangan, khususnya bidang pertanian, tentang apa faktor penyebab para petani memilih meninggalkan profesinya?

Faktor Yang Menyebabkan Petani Meninggalkan Profesinya

Kali ini penulis mencoba menguraikan mengenai faktor petani yang setiap hari semakin banyak yang meninggalkan profesinya. Menurut penulis hal ini terjadi karena salah satu bentuk perubahan sosial, yang dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor internal (endogenous) dan faktor eksternal (exogenous) dalam kehidupan petani. Faktor internal yang pertama adalah faktor ekonomi dan mindset petani, sedangkan faktor eksternal adalah faktor alam dan konversi lahan.

Faktor lain yang menyebabkan petani banyak yang meninggalkan profesinya juga disebabkan oleh faktor ekonomi, mereka berpendapat bahwa pendapatan dari hasil bertani tidak bisa menopang kebutuhan hidup keluarga sehari-hari, belum lagi petani harus menanggung resiko ketika mereka harus mengalami gagal panen atau puso sehinnga tidak sedikit petani yang meninggalkan profesinya sebagai petani dan beralih profesi yang minim akan resiko kerugian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2013 melansir bahwa pendapatan petani dari sektor pertanian kurang lebih Rp 1.034.500/bulan.

Dan juga yang menyebabkan petani beralih profesi adalah mindset petani, bahwa profesi petani di Indonesia diidentikkan dengan kemiskinan, kurang pendidikan dan profesi orang tua. Maka tidak aneh kalau anak muda bahkan lulusan Sarjana Pertanian pun enggan berprofesi sebagai petani setelah mereka lulus dari bangku kuliah, ditambah lagi faktor eksternal yang datang dari luar individu petani, yaitu faktor alam dan faktor konversi lahan yang disebabkan oleh kebijakan pembangunan.

Mengingat profesi bertani sangat bergantung pada alam, bencana alam seperti kekeringan, longsor dan banjir, ditambah lagi ledakan hama yang sering terjadi, mengakibatkan petani mengalami gagal panen bahkan kehilangan lahan garapannya. Di Indramayu, Jawa Barat, akibat dari kekeringan yang melanda pada tahun 1990-2008 menyebabkan penurunan produksi (gagal panen) padi sebesar 24.376,4 ton per tahun. Akibatnya petani mengalami kerugian besar. Di titik itulah petani memilih meninggalkan profesinya.

Faktor terakhir adalah faktor konversi lahan, angka konversi lahan di pulau Jawa, sebagai penyumbang 53% pangan Nasional, terus meningkat, rata-rata tiap tahun 7.923 hektar lahan sawah di Jawa harus dikonversi menjadi bangunan. Ironisnya, konversi lahan yang terjadi adalah dampak dari kebijakan pembangunan. Akibatnya, petani kehilangan lahan garapannya, dan terpaksa harus mencari profesi lainnya. Setidaknya, kebijakan pembangunan yang menggusur lahan tersebut harus bertanggungjawab atas menurunnya jumlah petani di Indonesia.

Koperasi Sebagai Gerakan Mensejahterakan Ekonomi Petani

Koperasi Indonesia adalah salah satu badan usaha yang ada dalam perekonomian Indonesia. Keberadaannya diharapakan dapat banyak berperan aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dana kemakmuran rakyat. Runtuhnya negara sosialis dan semakin mengglobalnya sistem ekonomi kapitalis yang menganut sistem pasar bebas semakin memudarkan tentang adanya sistem ekonomi Indonesia. Sebagian besar kaum akademisi Indonesia terkesan semakin mengagumi globalisasi turut berpengaruh besar terhadap sikap kaum elit politik muda Indonesia, yang mudah menjadi ambivalen terhadap sistem ekonomi Indonesia dan ideologi kerakyatan yang melandasinya.

Koperasi yang di pandang sebagai sebuah wadah bagi ekonomi kerakyatan yang memiliki prinsip-prinsip sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan dalam prakteknya cendrung menjadi perpanjangan tangan politik dan ekonomi rakyat tertentu. Koperasi belum dipandang secara menyeluruh sebagai sebuah gerakan ekonomi kaum tani, buruh dan rakyat kecil lainnya, bahkan sering terjebak pada persoalan teknis-teknis belaka.

Koperasi hanyalah sebuah cita-cita, melainkan dari sebuah sistem koperasi ini dapat memunculkan kebersamaan, gotong royong dan menciptakan kemandirian bagi masyarakat sehingga tidak selalu bergantung pada perusahaan-perusahaan atau pemodal, rentenir dan tengkulak yang selalu mencekik petani. Koperasi merupakan bentuk konkret sistem ekonomi gotong-royong tersebut. Yang dituntut dalam koperasi pemerataan kerja dan pembagian hasil, sehinga tak ada lagi ketimpangan ekonomi. Koperasi wadah dan bagian dari upaya petani dalam memproduksi benih, pupuk, permodalan, pengaturan produksi, alat-alat pertanian dan proses pendistribusiannya. Nilai-nilai kerja sama yang terkandung dalam koperasi sudah di praktekan oleh nenek moyang kita pada proses produksi pada zaman dulu, gotong-royong dalam mengerjakan lahan, pinjam meminjam bibit dan tradisi lumbung merupakan nilai luhur yang di wariskan pendahulu kita.

Koperasi memiliki peran penting dalam membangun ekonomi pangan lokal yang berdasarkan pada penguasaan alat produksi, proses produksi dan pemasaran pangan di tingkat lokal. Koperasi petani memiliki fungsi dan peran strategis bersama Bulog dalam menjaga stabilitas dan kedaulatan pangan nasional, dengan keterlibatannya dalam pengaturan produksi dan distribusi pasca produksi untuk menjaga kestabilan harga dan pasar yang di utamakan untuk pemenuhan kebutuhan/kesejahteraan anggota, masyarakat sekitar dan kebutuhan nasional.

Pembangunan koperasi petani tidak sepotong-sepotong hanya pada persoalan bagaimana memasarkan hasil pertanian, mengajarkan petani jadi pedagang dan mencari keuntungan belaka, sehingga tidak terjebak sebagai perpanjangan tangan ekonomi kapitalis. Koperasi petani harus di pandang sebagai alat perjuangan gerakan ekonomi kaum tani dalam mencapai kesejahteraan yang berdasarkan atas keadilan, partisipatif dan kemandirian.

Koperasi petani harus di lihat sebagai kesatuan yang utuh dan tidak terputus dalam hal penguasaan alat produksi, proses produksi dan pasca produksi, dan bagian dari perjuangan kekuatan ekonomi rakyat secara nasional termasuk dalam hal menyikapi kebijakan sistim ekonomi Indonesia yang tidak berpihak. Sebagai wadah perjuangan dan gerakan ekonomi kaum tani yang memiliki nilai dan prinsip ekonomi berbasis kerakyatan, tujuan utama koperasi petani adalah dalam rangka menciptakan kondisi ekonomi yang berkeadilan dan mensejahterakan kaum tani. Keberadaannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari organisasi tani merupakan ujung tombak agar terciptanya peri kehidupan ekonomi petani, rakyat, bangsa dan negara yang mandiri, adil dan makmur.

“Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya.” -Bung Hatta-


Penulis:
Muhamad Syahru (Mahasiswa Pertanian Unswagati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar