Rabu, 07 Januari 2015

Ayah, Belikan Aku Boneka Baru

Namaku Tri Putri Hutami Sugiharti. Aku lahir di Cirebon tepatnya pada tanggal 22 bulan Desember tahun 1996. Aku tinggal di jalan blok bale desa Bandengan RT 03/Rw 03 No.283. Kecamatan Mundu. Kabupaten Cirebon.


Saat itu Aku duduk di kelas 4 SD, kira-kira umurku 10 tahun. Aku hanyalah seorang anak kecil saat itu. Yang hanya bisa menangis saat semua teman-temanku menggendong boneka barunya.

“Ayah, aku ingin boneka” , ucapku dengan suara tersedu-sedu.

Namun, Sang Ayah hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman. Kemudian Ia menggandengku pergi. Aku pun mengulang kata-kataku barusan dengan sedikit merengek dengan tetap berjalan mengikuti langkahnya.

“ Ayah, Aku ingin boneka baru.”

Tapi jawabannya masih sama, Ia menjawabnya sekali lagi dengan senyuman. Aku tak mengerti dengan semua jawaban yang Ia maksud. Akhirnya Aku pun mengalah dan terdiam.

Sesampainya di rumah, sekali lagi ayah tersenyum dan pergi meninggalkanku. Aku semakin tak mengerti akan maksud dari senyuman itu. Hingga Ibu pun datang membuyarkan lamunanku.

“Kamu lagi apa? Sudah cepat ganti bajumu dan pergi makan!”

“Ia Bu. Ayah mana?”

“Ayah sedang di kamar mandi. Ada apa?”

Aku hanya menggeleng dan beranjak untuk pergi mengganti bajuku. Setelah itu aku tengok ke kanan dan ke kiri menghampiri kamar mandi mencari Ayah. Ku dengar suara seseorang yang sedang mencuci sesuatu. Aku semakin penasaran akan Ayah yang sudah terlalu lama berada di dalam kamar mandi . Saat ku mulai mengintip sedikit ke dalam. Aku melihat sesosok lelaki separuh baya yang sedang mencuci boneka beruang yang berukuran besar. Itu Ayah!

Tanpa terasa air mata ini menetes, mengapa Ia mencuci boneka yang telah usang itu? Itu boneka yang telah memiliki umur, itu boneka yang sudah ketinggalan zaman, itu boneka yang sudah tak ingin aku mainkan lagi, itu boneka tua yang sudah tidak ada orang lagi yang memainkan boneka itu. Aku tidak ingin boneka itu. Tapi tiba-tiba ayah menghampiriku dengan senyumnya. Aku pun dengan cepat mengusap air mataku.

“ Ini ada boneka. Kamu ingin bonekakan untuk bermain dengan teman-temanmu itu”.

Hanya sebuah senyum yang bisa Aku lakukan untuk menjawab pertanyaannya itu. Entah, akankah Aku ingin menangis karna terharu ataukah karna aku tak menginginkan boneka yang Ayah beri itu. Ayah maafkan aku. Aku senang akan sesuatu yang ayah lakukan itu, tapi aku ingin boneka baru. Bukan boneka tua itu.

Ku terus pandangi punggung lelaki separuh baya itu dengan air mata yang selalu ingin menetes karena merasa tak enak hati padanya. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.

“ Sayang, ada masalah apa?”

Aku hanya menggeleng dengan tetap memandang punggung ayah dari kejahuan.

“Oh, itu masalahnya?”

Ibu kemudian tersenyum sambil mengusap rambutku dengan lembut.

“ Sini deh duduk samping Ibu.”

Aku hanya bisa mengikuti perintah Ibu dan duduk disampingnya.

“ Sayang, kamu tau kan sekarang Ayah lagi di rumah? Kamu tau kan Ia belum ada pekerjaan saat ini. Kamu sayang nggak sama ayah?”

Aku mengangguk pelan.

“ Kamu tau? Ayah selalu tidak ingin melihat putri kecilnya sedih atau pun menangis. Ia sayang dengan semua anak-anaknya. Ia ingin mengatakan kalau nanti akan Ayah belikan boneka baru, tapi untuk saat ini Ia belum tau kapan boneka itu bisa Ia beli. Kamu tau kan bagaimana sifat ayah?”

Aku pun mengangguk lagi.

“ Bagus kalau begitu, Ayah tidak ingin hanya memberi sebuah janji yang tidak dapat Ia tepati karena Ia ingin putri kecilnya itu menjadi anak yang tidak ingkar janji, dan tidak mengumbar janji dengan mudah. Kamu tau nggak sayang?”

Untuk kali ini aku menggeleng.

“ Ada satu hal lagi yang Ayahmu itu inginkan.”

Aku terdiam sejenak dan mulai berfikir. Untuk beberapa waktu yang cukup lama akhirnya aku pun menggeleng lagi.

“ Ayahmu itu tidak ingin putri kecilnya ini menjadi seseorang yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dipenuhinya itu. Sekarang kamu mengerti?”

“Hm, ia Bu.”

“ Sekarang kamu tau apa yang harus kamu lakukan?”

Aku tersenyum lebar dan mengangguk. Memeluk tubuh Ibu dengan erat dan beranjak untuk pergi dan berlari menghampiri Ayah yang sedang menjemur boneka disamping rumah. Aku menangis.

Terlihat wajah ayah yang terheran-heran melihatku yang tiba-tiba memeluknya erat.

“ Putri ayah kenapa?”

Aku menggeleng.

“Ayah nanti kita bermain bersama ya?”

“Iaia, nanti kita bermain bersama ya.”

Senyum Ayah terukir sangat indah saat ini. Saat ku mulai mengerti akan semua senyum yang Ia beri saat sepulang sekolah waktu itu. Senyum untuk menjawab jawabanku yang ia sendiri tak tahu cara untuk menjawabnya agar bukan kekecewaan yang aku rasakan, karena Ia tidak ingin putri kecilnya ini menangis kecewa. Senyum yang memiliki sejuta makna.

Kini ku rasakan duduk berdua di teras rumah. Seperti seorang Ayah dengan putrinya. Itu memang benar. Tapi, entah sudah berapa lama Aku tidak merasakan hal seperti ini. Mungkin karena Aku yang terlalu sibuk bermain dengan teman-temanku dan mencari benda apa lagi yang belum Aku miliki. Aku yang terlalu sibuk dengan duniaku. Tanpa Aku sadari, disampingku ada seseorang yang ingin bercanda dan tertawa bersamaku. Harusnya Aku dapat memanfaatkan waktuku dengan baik bersamanya. Saat Ia tinggal dalam waktu yang cukup lama di rumah. Ayahku memang jarang berada dirumah karena sebuah tuntutan pekerjaannya yang mengharuskannya meninggalkan aku dan keluargaku.

“Sayang, nanti kita beli boneka baru ya.”

“ Nggak mau, mau boneka yang itu aja” seruku dengan menunjuk boneka beruang yang sedang berjemur di tengah teriknya mentari.

Ia hanya bisa tersenyum melihat tingkah putrinya itu. Ia pun mengusap-usap kepalaku dengan lembut. Tanpa terasa aku merasakan air menetes di tanganku. Apakah ini air mata bahagia? Karena kini Ia tau bahwa putri kecilnya bukan lagi seorang anak kecil yang harus Ia tuntun dalam setiap langkahnya. Sekarang putri kecilnya mulai beranjak dewasa.

Ayah, sungguh maafkan Aku atas semua tuntutan yang selalu Aku berikan padamu. Maafkan Aku yang terkadang marah saat Kau katakan tidak pada permintaanku. Maafkan Aku yang bahkan membanting pintu saat itu. Maafkan atas ketidak mengertianku Ayah.

 

Oleh : Tri Putri Hutami Sugiharti

Mahasiswa Fakultas Pertanian Unswagati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar